29 January 2015

Senja di Ufuk Timur



Kusapukan blush on warna peach, setelah itu kuoles lipstik rouge menyelimuti seluruh bibirku. Dengan rambut disanggul kebelakang dan dibiarkan sedikit menjuntai, Kusempurnakan penampilanku dengan memakai wedges hitam dan outfit senada. Kulihat sekali lagi penampilan terakhirku di kaca. Hmm perfecto...! Akupun siap menuju kantor.
-----------------------------
Kububuhkan concealer tipis-tipis di bawah sekitar mata lalu kutambahkan setting powder untuk mengurangi penampakan kerut-kerut halus. Kutarik kuas tipis sepanjang upper lines dan mengangkatnya dibagian akhir, membentuk catliner. Kuulangi garisnya sekali lagi agar ketebalannya lebih nampak. Aku beri sentuhan warm white pada inner dan water lines utuk mata terlihat lebih cerah. Sebagai pamungkas aku oleskan mascara waterproof agar saat berwudhu tidak berantakan. Jumat ceria adalah temaku hari ini karenanya kuputuskan memakai baju two pieces berwarna rose pink bermotif  dipadukan dengan scarf polos warna senada. Di kantor, aku  melangkah penuh percaya diri memasuki ruang kerjaku. 
-------------------------------
Aku menyorongkan badanku mendekat ke kaca. Kuoleskan cream berwarna coklat pekat disepanjang forehead, check bone, nose dan jawline. Kutambahkan concealer dan highlight lalu kuratakan dengan menggunakan brush. Aku harus belajar lebih banyak tentang countouring, tehnik membuat wajah tampak lebih slim. Berat badanku naik tanpa bisa ditahan dan sepertinya kelebihan lemak itu berakhir di wajahku yang membulat. Kusikat alisku dan kubentuk sudutnya naik keatas agar ilusinya ikut menarik wajahku terlihat lebih tirus. Satu lagi eksekusi terhadap wajahku yang bulat, kutarik kerudung di kiri dan kanan lebih maju menutup pipi. Setelah kupatut-patut keseluruhan penampilanku didepan cermin, berangkatlah aku ke kantor dengan waktu lima belas menit lebih lambat dari biasanya.
--------------------------------

Dua bulan lagi aku genap berusia empat puluh tahun. Tahun-tahun berlalu dengan cepat dalam senyap. Semuanya masih sama, teratur dan rapi. Terkadang aku menginginkan sedikit kekacauan. Handuk kotor teronggok di sudut kamar atau suara nyaring piring pecah berserakan di dapur atau suara omelanku yang lagi kesal pada seseorang yang membuat kamar mandi keringku berbasah-basah. Satu-satunya suara nyaring yang dapat kudengar hanyalah bunyi mendesis dari ketel pemasak air. Alangkah sepinya…! Aku berdiri memandang cermin yang sama, yang selalu menemaniku dalam kebisuannya. Tertawa, bahagia, menangis, sedih semua kutumpahkan perasaanku didepannya. Aku masih tetap berdiri memandang cermin yang sama. Tampak sosok perempuan dengan tumpukan lemak yang tidak merata, berkantong mata dan kulit wajah berbercak kecoklatan menyaput sebagian permukaannya seperti lelehan coklat diatas roti. Alangkah cepat waktu berlalu. Waktu yang kupunya hari ini adalah ribuan waktuku kemarin.

Dari balkon depan, aku melihat senja diufuk timur. Semburat cahayanya memantulkan keindahan sekaligus kekhawatiran akan hilangnya mentari. Akankah hari-hari mendatang memberi perbedaan untukku?

-----------------------------------------

Aku dan Alysa
Selalu ada awal untuk segalanya. Alysa menelpon minta bertemu. Tidak ada topik khusus yang ingin dibicarakannya padaku.  “Dirumah tak ada yang dapat diajak bicara” Begitu katanya ketika aku agak kaget dengan permintaannya. Sejak itu, setiap weekend Alysa sering berkunjung ke apartemenku (sepertinya aku lebih dekat dengan Alysa dibanding dengan As, ibunya) Kita berdua mempunyai hobi dan selera makan yang sama. Bak gayung bersambut akupun menerima ajakannya. Aku menyanggupi bertemu dengannya jum’at, hari ini.
Kuarahkan mobil kesebuah café disekitar kampus. Aku sengaja datang lima belas menit lebih awal agar lebih leluasa memilih tempat duduk. Café ini masih sepi meski jam makan siang sudah tiba. Untunglah. Aku segera memesan menu favorite kami. 
Sesosok wajah cantik dengan rok panjang bermotif stripe dipadu  kemeja polos hitam melangkah memasuki café. Aku segera memanggilnya dengan lambaian tangan. Alysa, gadis cantik ini sedang berjalan kearahku. Setiap orang yang melihat pasti mengira Alysa adalah putriku, selain selera yang sama, wajah kami begitu mirip. Dengan bentuk hidung yang sama, kami  bak pinang dibelah dua. Seandainya saja dia milikku. Akankah anakku berwajah seperti Alysa? Pertanyaan yang terabaikan. Rahimku sudah tak ramah lagi untuk sebentuk janin.
Ketika kusinggung ingin menjadi apa dia kelak setelah lulus dari fakultas sastra inggris. “Aku ingin mengajar, menjadi guru atau apalah. Aku hanya tidak ingin  menjadi seperti mama” katanya mengawali ungkapan hatinya. “Hampir seluruh harinya dihabiskan dengan mengeluh, terjebak dalam keputusasaan sebagai istri yang tidak bahagia”.
Tak dinyana, pertanyaan singkatku itu membuka mataku akan sosok Alysa dan bagaimana kedewasaannya tumbuh ditengah konflik kedua orangtuanya yang kekanak-kanakan.
Sebenarnya aku bukanlah pendengar yang baik, khusus untuk Alysa aku berusaha keras. Alysa hanya memerlukan seseorang yang mau mendengar tanpa perlu membuka mulut panjang-lebar dengan nasehat. Lagipula aku hanya ingin menjadi sahabatnya, bukan  guru spiritualnya.
“Mama selalu mendorong aku menjadi seseorang seperti tante. Lihat tante Rin, dia cantik, mandiri dan sukses. Mama selalu menyebutkan tante Rin begini-tante Rin begitu. Pokoknya tante Rin terus yang disebut”
Aku terperangah, As menganggapku sangat beruntung? Bagaimana bisa seseorang menganggapku beruntung sementara aku sendiri merasa amat tidak beruntung? 
Memakai terminologi keberuntungan As, dia hanyalah seorang istri yang tidak beruntung dalam memilih suami. Bram, seorang pengusaha sukses yang terpikat pada perempuan lain. Mereka menikah siri dan kemudian bersikap seolah-olah hanya ada mereka berdua didunia ini. Bram tak pernah pulang, hanya selembar cek yang dikirimkannya rutin untuk menandai keberadaanya di dunia ini. Sungguh menggelikan, kejahatan yang dilakukan oleh dua orang dewasa yang sedang kasmaran. Sebelumnya aku menganggap seorang laki-laki yang sukses adalah laki-laki yang bertanggung-jawab sampai aku mempunyai kakak ipar seperti Bram.

Menurutku, dalam ketidakberuntunganya As beruntung memiliki Alysa. Anak ini sangat peduli pada ibunya.  Baru sekarang aku mengerti, kalimat  yang selalu dikatakan ibu, keberuntungan dan ketidakberuntungan ada dalam satu paket kehidupan.
Disela-sela perbincangan kami, Alysa dengan lugunya bertanya, “Mengapa tante Rin tidak menikah? Apa menurut tante, tidak ada laki-laki yang baik?”
Ternyata Alysapun tak luput menanyakan sebuah pertanyaan yang sudah beribu-ribu kali kudengar dan ingin kuhindari. Pertanyaan ini tidak mengagetkanku, hanya sedikit membuatku tersinggung. Aku belum menikah bukan tidak menikah karena aku tidak pernah mengambil keputusan untuk tidak menikah. Sampai detik ini aku tidak pernah lepas berharap, suatu saat aku akan menemukan seseorang tempatku bersandar, tempatku bercerita, tempatku bertanya. Tapi… Bukankah pada kenyataannya tak ada seorang laki-lakipun yang bisa kupilih? Apakah itu berarti tak ada laki-laki yang baik untukku?
“Selalu ada laki-laki yang baik, hanya saja tante masih belum menemukannya” Itulah jawaban singkatku yang juga ingin kupercaya. Aku harus bijak, demi untuk Alysa…!
-------------------------------------------- 


Aku dan Ibu
Sore itu As datang dengan membawa segala cerita sedihnya tentang Bram. Kami terdiam, mencoba merenungkan kata demi kata yang terucap maupun yang tidak terucap. Kadang berdehem atau mengambil napas dalam-dalam untuk menunjukkan kami masih bersamanya. Rasanya aku ingin menyela melihat reaksi As, terlalu lemah dan berlebihan. Tetapi aku cukup sabar menahan diri. Ibu terlihat tidak dapat menunggu lagi. Lalu katanya,
“Berhentilah mengeluh. Kamu masih harus membesarkan empat anak yang butuh perhatianmu. Apa yang bisa diharapkan dari seorang ibu yang tidak bahagia? Apa kamu pikir perempuan itu sangat beruntung mendapatkan Bram? Seorang laki-laki seperti Bram hanya peduli pada dirinya sendiri, bagaimana bisa orang berbahagia hidup dengannya. Berhentilah menangis…! Jangan sia-siakan air matamu! Seruan ibu membuat kami tersentak terlebih As yang tidak mengira ibu bisa berkata sekeras itu. Ibu benar. As tidak pantas menangisi Bram.
Sepertinya hari ini ibu menemukan kekuatan baru untuk berbicara dengan kedua putrinya, aku dan As. Setelah menegur As, Ibu mendekatiku dan menyampaikan pendapatnya.
“Kamu tidak butuh laki-laki sukses sebagai pendamping. Yang kamu butuhkan seseorang yang menyintaimu dengan tulus. Tanggung-jawab seorang laki-laki tidak diukur dari hasil akhir atau uangnya tapi pada prosesnya. Banyak laki-laki yang sukses tapi berakhir seperti Bram. Jadi jangan silau dengan sesuatu yang semu. Seorang laki-laki yang tulus, dia akan bertanggung-jawab dan itu sudah cukup. Jangan  berharap lebih. Allah sudah memberi jatah kebahagian setiap orang tinggal kita yang mengatur porsinya. Apakah kita bisa bahagia dengan porsi yang sedikit?” Kalau kita sabar dan syukur, Insyaallah Allah akan menambah nikmat yang diberikan”. Ibupun  menambahkan setangkup kalimat yang membuat mulutku serasa terkunci, tak dapat berkata-kata.

“Kalau kamu merasa nyaman hidup sendiri, menikahlah untuk membahagiakan ibu. Apa yang kamu khawatirkan? Hal terburuk dalam perkawinan akan tergantikan dengan kehadiran seorang anak. Jangan sia-siakan rahimmu. Pikirkanlah..!” Tegas sekali kata-kata ibu seolah merupakan sebuah perintah bagiku. 

-----------------------------------------------
Aku dan Nina
Siapa orang pertama yang akan kutemui ketika aku merasa gundah seperti ini? Sudah lama tak kusadari bahwa tak seorangpun bersamaku ketika aku membutuhkannya. Egoku menahan semua desakan untuk bercerita bahkan pada sahabatku. Nina..! Nama itu selalu muncul pada urutan pertama dari orang yang ingin kuhubungi selain ibu. Diantara teman-temanku, Nina layak diunggulkan karena dialah yang paling tahan menghadapiku. Nina satu devisi denganku selama dua tahun yang membahagiakan kemudian dia mengundurkan diri karena lebih mementingkan karier suaminya yang sedang melejit. Bagi Nina menjadi ibu rumah tangga adalah sebuah pilihan hidup. Keputusan yang menurutku sangat gegabah. Bukankah mereka berdua dapat sama-sama sukses? Mengapa bila harus memilih, perempuan harus mengalah?
Pada sebuah tikungan, kubelokkan setir mobil memasuki area perumahan asri dengan pohon palem berjejer gagah dikanan-kiri di gerbang depan seolah bersiap menyapa hangat para tamu yang datang. Kali ini aku aku tidak butuh sapaan hangat, aku butuh sebuah petuah bijak yang kan kujadikan selimut untuk menentramkan jiwaku yang tengah gundah gulana.
Nina menyambutku dengan gembira. Katanya sudah lama dia ingin menghubungiku tetapi niat itu selalu saja dapat dibatalkan dengan alasan tidak ingin menggangguku. Aku berbasa-basi menanyakan khabarnya dan kesibukannya sekarang.
“Aku hanya ibu rumah tangga yang sedang belajar bisnis. Sejak resign, aku punya banyak waktu luang. Aku belajar berkreasi membuat pernak-pernik penghias rumah. Kecil-kecilan saja, lumayan bisa nambah-nambah tabungan” katanya merendah. Aku antusias melihat beberapa hasil karyanya. Sarung bantal sofa, lukisan dinding, wallcover  bergaya vintage, terlihat antik dan cantik. Sedetik rasanya aku ingin bertukar tempat dengannya. Dapatkah sebuah kekuatan menukarku sebagai Nina dan Nina menjadi senior branch manager, suatu jabatan yang menjadi impian banyak orang. Lamunanku buyar ketika Nina memintaku bercerita, apa yang membuatku datang mengunjunginya.
Nina memandangku dengan tatapan datar. Ekspresi wajahnya yang tidak menghakimi dan selalu begitu, membuatku nyaman mengeluarkan segala keluh-kesahku. Kesabaran Nina hanya bisa dikalahkan oleh ibu. Aku tak kuasa menemui ibu karena aku terlalu malu untuk mengakui kelemahanku.  
“Rin, sangat mudah menerima kelebihan seseorang sebaliknya meski sulit, kita juga dapat belajar menerima kekurangannya. Banyak orang berkata, menikah itu seperti berjudi. Kita menikah dengan laki-laki yang baik, seiring waktu dia bisa menjadi tidak baik. Menurutku sih tidak seekstrem itu. Semua tergantung dari niatnya. Menikah harus didasari niat baik. Insyaalah bila kita menikah dengan niat baik membentuk keluarga sakinah, pernikahan kita akan mawaddah warrahmah”.Ninapun menambahkan.

“Mungkin tanpa kamu sadari, alam bawah sadar menuntunmu pada sebuah pemikiran yang rancu tentang seorang laki-laki yang harus lebih sukses dari perempuan. Bukankah kariermu melesat melampaui rekan kerjamu yang laki-laki? Itukah sebabnya kamu selalu menepis laki-laki yang mendekatimu yang tidak berhasil melampaui kecermelanganmu?

Benarkah begitu? Pertanyaan ini tak perlu kujawab, Aku tahu seharusnya aku menitipkan egoku kesebuah tempat dan mengambilnya lagi jika keadaan membaik. Hanya saja aku tidak tahu kapan keadaan akan membaik.
“Rin, cobalah berpikir terbalik, sebagai seseorang yang diberi kelebihan, apa yang kamu khawatirkan ketika sesuatu yang buruk menimpamu? Kitalah yang harus pegang kendali atas kehidupan kita, jangan berharap bersandar pada orang lain meski itu suami sendiri atau keluarga terdekat. Jangan merisaukan hal yang belum terjadi dan belum tentu terjadi. Dalam kehidupan ini, semua berjalan sesuai takdirNya. Pasrahlah dalam doa karena hanya doa yang bisa mengubah takdir buruk”.
Rasanya aku tak mampu mengangkat wajah. Benarkah aku sangat khawatir ataukah aku sudah terlalu lelah dan hanya ingin bersandar? Dalam tundukku, kumainkan sepotong kenangan akan Ar, seorang laki-laki baik yang Tuhan kirimkan terlalu dini. Ar adalah orang yang tepat di waktu yang salah. Aku tak bisa menerimanya karena dalam pikiran kerdilku,  seorang laki-laki adalah penyempurna egoku.  Ar, hanyalah sosok laki-laki sederhana yang disodorkan ibu. Ketika semua orang mendecak kagum akanku, Ar adalah sebuah titik balik.
Senja diufuk timur memancarkan semburat merahnya, berkilau membagikan keindahan dan harapan. Suatu hari nanti aku akan menemukanmu. Sekarang aku hanya ingin bertemu ibu. 



originally posted by: Layla Fachir Thalib

No comments:

Post a Comment