15 January 2015

Warisan Pembelajaran...

Sadarkah kita ada bagian dari yang kita ajarkan ke anak-anak adalah hasil dari pembelajaran menurun (warisan) orangtua? Tidak selalu menyangkut hal besar seperti norma atau nilai-nilai kehidupan yang sangat bermanfaat, tapi juga merasuki a little things, for example: kebiasaan. Ada satu kebiasaan yang membuat aku mengerti kenapa aku tidak pernah menyukai telor rebus. Pada saat lampau dikala kecil, kalau ada anak yang sakit maka mom mengharuskan  kita menghabiskan waktu seharian dikamar, berbungkus selimut, minum teh panas dan makan telur rebus dengan kuning yang masih meleleh, setengah matang. Ohhh...
Atau saat abi (panggilan untuk ayah), mengantarkanku kuliah di hari pertama, nasehat yang selalu kuingat adalah: jangan pernah menerima permen (saat itu lagi marak permen bius) dari teman laki-laki. Ohh...
Dua contoh diatas sepertinya ajaran yang over tapi daripada berbuntut panjang, aku terpaksa menurut. Believe it or not, oops I did it...!!! Again.
 
Sewaktu Sirin masih berumur dua tahun, berbekal ide warisan yang telah dikreasikan, aku mencampurkan telur setengah matang ke botol susunya. Sirin yang terbiasa dengan susu  kedelai (yang mungkin rasanya lebih gak enak) meminumnya tanpa protes. Warisan pembelajaran ini terpaksa kuhentikan ketika putri sulungku menderita alergi yang lumayan parah. Dari anamnesa, dokterpun tahu apa yang kulakukan. Dengan geleng-geleng kepala sang dokter bertanya "Ibu dapat ide darimana mencampurkan susu dengan telor setengah matang?" 
Bila ada dalam persidangan maka terdakwanya adalah Mom... ;)
Masih dengan korban yang sama (sepertinya syndroma anak pertama) ketika melepas Sirin tinggal di kos, aku wanti-wanti menasehatinya panjang-lebar tentang keselamatan. Salah-satunya ya soal permen warisan itu. Mau tahu jawaban putri sulung? "Aduh... mama koq lebay banget sih...memangnya Sirin anak kecil !''
Aku hanya bisa berdehem-dehem...Bener juga ya, sayang waktu itu aku hanya diam saja. Coba dijawab, bisa gak pernah kuliah...!
Selain kedua hal sepele diatas, warisan pembelajaran juga menjadi alibi kenapa aku tidak pernah bisa bersikap konsisten. 
Untuk urusan konsisten, bersikap aj susah apalagi mendidik. Saat melakukan kesalahan, abi tidak pernah bisa menghukumku lebih dari satu jam. Setelah itu, keadaan berbalik, aku yang semula pesakitan, menjelma seketika menjadi penuntut, meminta sejumlah hadiah penebus. Aku pandai bermain memanfaatkan rasa bersalah abi yang sudah menghukum anak kecil imut berusia sepuluh tahun...! 
Untuk kedua putriku, mereka sudah hapal. Habis marah, tidak sampai setengah jam (bukan saja ajarannya yang ditop up tapi waktunya juga, oops...) aku akan mengentuk pintu kamar dan seditik kemudian tampak kedua putriku saling berpandangan dan mengerling...then, too much hug & kiss. Suami sering mengingatkan panjang-lebar tentang keburukan inkonsistensi Tapi...masuk telinga kanan-lolos lagi ditelinga kiri. Aku hanya berharap suatu saat kedua putriku itu menyadari ditengah ketidakkonsistenan ibunya bersikap, ditengah kemarahan dan pelukan, ada kasih  sepanjang jalan dan cinta ibu tanpa syarat untuk mereka.  
Tak cukup hanya berharap, sebagai orangtua, aku juga menambah segala kebaikan untuk mereka melalui doa-doa disepertiga malam. Semoga mereka menjadi anak yang sholehah dan pribadi yang kuat. Dengan doaku, aku berharap Allah SWT, melemahkan semua keburukan dalam caraku mendidik anak dan menggantikannya dengan semua kebaikan. Amin YRA.
Dan pesan khusus untuk kedua putriku,  semoga warisan pembelajaran ini tidak dibiarkan menetes turun-temurun, cukup hanya sampai di ibu dan anak saja. 
Dan terdakwa untuk sikap inkonsistensi adalah: abi... ;)
Bagaimana dengan anda...?
See you in next topic...

No comments:

Post a Comment