27 February 2013

Ibukusayang, ayahkusayang. Sebuah catatan... (bag:1)






Beberapa hari ini saya tidak bisa update tulisan karena ada beberapa kesibukan lain yang harus segera diselesaikan padahal ide di kepala sudah menumpuk.
Ada beberapa catatan yang akan saya share disini. Dimulai dengan sebuah catatan ketika membesuk teman yang sedang sakit. Karena kondisi teman yang tidak memungkinkan untuk saling berbalas sms maka saya putuskan untuk langsung membesuknya. Kebetulan juga saya masih harus terkait dengan rs yang sama karena masalah claim insurance.
Dikamar saya disambut seorang perempuan paruh baya yang memperkenalkan diri sebagai ibunya. Teman saya sedang tidur dan karena saya tidak mau mengganggu maka saya cukupkan berbincang-bincang dengan ibunya. Ternyata...
Lebih mudah bagi saya untuk bertemu langsung dengan teman saya dibanding bertemu dengan ibunya. Saat saya sakit kemarin,  pertanyaan anak saya seperti ini, “Mama sakit apa...” sudah cukup membuat mata saya berkaca-kaca. Apalagi melihat anak terbaring sakit, saya bisa merasakan betapa hancurnya hati seorang ibu.
Selama perbincangan saya tak hentinya membayangkan wajah ibu saya. Ini meneguhkan keyakinan saya bahwa seorang anak dalam kehidupannya selalu membutuhkan sosok ibu. Kasih sayang seorang ibu memang luar biasa. Itu adalah sebuah anugrah yang diberikan Allah terhadap seorang anak. Bagaimana dengan sosok ayah? Tiba-tiba terlihat wajah laki-laki paruh baya menyembul berusaha melihat siapa yang datang.
Subhanallah... mereka berdua datang dari jauh khusus menjaga anaknya. Bagi orang tua, anak adalah anak berapapun usia mereka. Bila anda mempunyai orang tua yang masih lengkap bersyukurlah dengan selalu melantunkan doa-doa baik dan bahagiakan mereka dengan apa yang anda bisa. Bagi yang orang tuanya sudah meninggal, doa anda adalah wujud dari rasa syukur anda mempunyai mereka dalam kehidupan anda. Maka doakanlah mereka semampu yang anda bisa. Saya berdoa semoga teman saya diberi kesembuhan dan semoga kedua orangtuanya diberi ketabahan dan kesabaran. Dengan terbata-bata saya pamit pada ibunya.
Catatan kedua  diilhami pertemuan saya dengan seorang ibu yang hidup sendiri.

Sewaktu saya tanya kenapa tidak ikut salah-satu anaknya ( anaknya ada enam, tiga laki-laki, tiga perempuan. Semuanya ada diluar kota). Dia mengungkapkan keengganannya karena menurutnya kehidupannya seperti sekarang ini sudah cukup menyenangkan.
“Rumah sebesar ini ibu hanya tinggal sendiri apa tidak takut kalau malam hari bu...?”
“Tidak..saya selalu baca surat yasin sebelum tidur”
“ Bagaimana soal makan ? Apa ibu memasak sendiri?”
“Kalau masalah makan gampang saja, saya cukup beli di warung depan, semua ada disana”
“ Oh...”
Saya lihat berkeliling, tampak gambaran sebuah rumah besar yang kurang terawat. Kamar mandi yang kotor, debu dimana-mana dan penampilan nyonya rumah yang sangat sederhana. Ditengah rumah tergantung foto berukuran besar. Dengan kebanggaan khas seorang ibu, ibu tersebut menunjukkan masing-masing anaknya.
Dihari yang sama (kebetulan lagi survey rumah...:) saya bertemu juga dengan seorang bapak yang hidup sendiri.
Seperti ibu yang tadi, saya juga terlibat pembicaraan dengan sang bapak.
“Pak , kalau rumah ini disewakan, bapak akan tinggal dimana?”
“Kalau saya gampang saja. Tahun kemarin saya tinggal disebuah desa di yogya, beternak ikan. Saat merapi meletus saya balik kesini lagi”
“Kenapa tidak tinggal sama anak-anak pak?”
“ Lebih enak tinggal dirumah sendiri, juga saya tidak mau merepotkan anak-anak”
“ Bagaimana soal makan pak?”.
“Saya memasak sendiri...”
Dan ketika saya melongok dapurnya memang terlihat ada aktivitas memasak. Berbeda dengan rumah ibu tadi yang kurang terawat, rumah bapak ini cukup terawat. Ketika saya menawar harganya, sang bapak ini menyatakan keberatannya. Katanya uang itusebagian akan dibagikan kepada anak-anaknya untuk mensuport kehidupannya. 
Oh...mulianya hati sang bapak ini.  
Bagaimana sikap kita sebagai anak terhadap keinginan orang tua yang berkeras hidup sendiri?
Dalam fase kehidupan, bayi-anak-remaja-dewasa-orangtua-kembali ke bayi lagi. 
Seorang teman pernah bercerita kalau ayahnya seorang dokter mania. Seminggu sekali pasti touring ke dokter-dokter padahal tidak sedang sakit hanya ada sedikit keluhan yang biasa dialami orang usia lanjut. Yang menggelikan, disalah-satu tournya, seperti biasa sang dokter menyarankan untuk banyak istirahat dan hanya perlu kontrol saja. Tetapi ayah teman saya itu memaksa untuk rawat inap dengan alasan khawatir nanti keluhannya bertambah parah. Tentu saja kondisi ini membuat dokter terheran-heran karena biasanya pasien meski sakit minta untuk dirawat dirumah saja tapi ini malah sebaliknya, sehat malah minta MRS, hhh....
Teman yang lain lagi bercerita, selain dokter mania ayahnya juga tour mania. Hobinya pergi kemana saja, dari desa ke desa, kota ke kota bahkan antar propinsi padahal ayahnya adalah penderita parkinson yang otomatis menyulitkan kalau terlalu mobile begitu. Untuk mengontrol supaya tidak terlalu sering maka sopir dialihkan dengan pekerjaan lain di kantor dan anak-anak mereka secara bergantian membawa ayahnya tour, seminggu dua kali. Mereka pikir cara ini sudah cukup dan aman tetapi ternyata ayahnya berakal panjang....:)  Sering secara diam-diam ayah mereka menelpon sopir panggilan dan janjian minta diantar ketempat-tempat yang terpencil, hanya bertiga, sopir, ayah mereka dan perawat. Mereka baru tahu setelah si sopir panggilan pagi-pagi sudah standby dan bilang  mau pergi kedaerah mana gitu....Oh lala...:)
Orang tua kembali ke fase bayi lagi. Mereka tidak mudah dibujuk dan  bila keinginannya tidak dipenuhi mereka juga bisa ngambek...;) 
Dalam kasus orang tua yang bersikeras memilih hidup sendiri, benar-benar sendiri tanpa pembantu seperti kedua contoh diatas, pendapat saya , i will say no. Mengapa?
Ada banyak alasan untuk tidak setuju terutama yang menyangkut kesehatan dan keamanan.   
Apa yang kita makan menentukan berapa usia kita. Apa yang saya tangkap, sepertinya terkesan mereka makan hanya untuk sekedar kenyang. Selain itu, meski mereka masih terlihat kuat dan sehat, bagaimanapun penyakit selalu mengintai termasuk serangan jantung bisa terjadi kapan saja. Sebagai anak kita selalu mendoakan semoga mereka diberi usia panjang yang barokah. Memang betul umur ditangan Tuhan. Tetapi bukankah kita ingin menemani atau menuntun mereka mengucapkan kalimat-kalimat suci disaat-saat terakhir.
Alasan keamanan juga bukan masalah sepele. Orang jahat berkeliaran dimana-mana. Kejahatan timbul karena faktor x dan y. Saya tidak berani membayangkan jika faktor x dan y bertemu dimana orang tua kita tinggal sendirian. Semoga Allah menjauhkan kita dari kejahatan manusia dan kejahatan syaitan.
Siapakah yang paling bertanggung-jawab merawat orang tua? Anak sulung atau anak bungsu? Anak laki-laki atau anak perempuan? Anak atau menantu?
Anak tersayang atau anak tersukses?


Menurut beberapa adat, kewajiban terhadap orang tua jatuh ke anak laki-laki atau anak sulung. Tetapi dijaman yang tidak dibatasi dengan adat seperti sekarang ini, kewajiban menjaga orang tua merupakan kewajiban semua anak-anaknya. Contoh bagus dari kewajiban ini ada di film berjudul: Hanging Up yang dimainkan Meg Ryan.
Kisahnya tentang sebuah keluarga yang terpecah namun akhirnya dipersatukan kembali oleh sebuah tragedi. (sumber: http://www.indosiar.com/sinopsis/hanging-up_1415.html)
 
Alkisah sebuah keluarga yang terdiri dari seorang ayah pemabuk, Lou Mozell (Walter Matthau) dan tiga putrinya yaitu Georgia (Diane Keaton), Eve (Meg Ryan) dan si bungsu Maddie (Lisa Kudrow).
Hanya Eve yang tinggal bersama Lou untuk mengurusnya. Selain Eve yang merupakan putri kesayangan ayahnya, sibuk menjalankan usaha penyelenggara pesta. Namun Eve sangat stres mengurus Lou yang selain alkoholik, pun sangat sukar diatur dan pun kesal karena kakak dan adiknya tidak banyak membantunya. Georgia, seorang penerbit majalah sukses yang bernama sesuai dengan namanya, sangat egois dan hanya peduli pada dirinya sendiri.
Sedangkan Maddie yang merupakan bintang opera sabun televisi yang cukup sukses pun enggan membantu langsung Eve dan Lou karena lebih mementingkan kariernya. Georgia dan Maddie lebih suka mengurus Lou dari jarak jauh. Ketiga wanita  bersaudara ini memang sangat jarang bertemu satu sama lain dan hanya berhubungan melalui telepon. Itupun buru-buru dan suka ditutup. Ketika sebuah tragedi tiba karena Lou mengalami stroke sehingga umurnya tidak lama lagi, Georgia, Eve dan Maddie pun harus bersatu untuk berdamai satu sama lain dan juga berdamai dengan ayah mereka.
Yang menarik adalah perbincangan antara Meg Ryan sebagai anak yang merawat ayahnya dan Georgia sebagai anak pertama yang sukses kariernya di RS tempat ayah mereka dirawat.
Awalnya Meg Ryan curhat betapa sulit menjaga ayahnya. Untuk mengatasinya dia selalu berusaha mengenang saat-saat indah bersama ayahnya ketika mereka masih kecil. Kemudian lanjut Georgia yang curhat karena sedari dulu ayahnya kurang memperhatikannya seperti perhatiannya pada adiknya (Meg Ryan).
“He didnt need me. He just need you” kata Georgia pada Meg Ryan

“Maybe he didnt need you but I need you to take care him” Jawaban yang sangat menyentuh karena Meg Ryan merasa sendirian merawat ayahnya yang sakit sementara Georgia sudah merasa merawat ayahnya dengan melunasi tagihan rumah sakit dan Maddie hanya sesekali datang menjenguk seperti tamu yang sedang berkunjung.  
Moral dari kisah ini adalah: kewajiban terhadap orang tua bukan saja terletak pada salah satu anak dimana orang tua kita tinggal disana. Semua anak wajib untuk turut serta terlibat dalam mengayomi orang tuanya.  
Contoh lain di film berjudul” Father” (sayang saya searching di google belum ketemu sinopsisnya karena data yang saya ingat minim sekali...:(
Dikisahkan seorang anak laki-laki (A) yang merawat sendiri ayahnya (B) yang sedang sekarat karena menderita kanker dan alzheimer (tanpa istri, hanya ditemani anak laki-lakinya (C) yang sesekali berkunjung karena sekolah diluar kota). Ibunya yang juga sakit dirawat oleh saudara perempuan.. Dikisahkan juga meski mereka saling menyintai tapi hubungan ayah dan ibunya kerap diwarnai selisih pendapat mengenai hal-hal yang sepele karena itu mereka memisahkan perawatannya. A tampak kesulitan merawat ayahnya yang sulit diatur apalagi ia juga harus bekerja dan sedang bermasalah dengan C.
Tapi A pantang menyerah, dia tidak mau mengalihkan perawatan ayahnya meski hal tersebut dapat dilakukannya.
Singkat cerita: sewaktu menunggu ayahnya di RS, terjadilah dialog yang mengharukan  antara ayah(B) dan anak (A)
“Saya tahu bahwa banyak kesalahan dalam cara saya membesarkanmu. Tetapi melihat bagaimana kamu memperlakukan saya sekarang ini,  saya sadar telah melakukan hal yang benar”
“I love you Dad” kata A seraya memeluk dan tidur disamping ayahnya.
Dan ketika si anak (C) melihat bagaimana ayahnya (A) sangat menyintainya kakeknya (B) dan memperlakukannya dengan baik, segera si C sadar atas kekerasan hatinya begitu juga si (A) yang telah menyadari kesalahannya. Maka terjalinlah kerjasama yang baik antara ayah (A) dan anak (C) dalam merawat B.
Moral dari cerita ini adalah: disini terlihat ada kerjasama yang baik antar saudara kandung dalam merawat kedua orangtuanya yang sakit. Juga terlihat kecintaan seorang anak pada ayahnya bahkan sang ibu yang merasa tidak sanggup merawat suaminya dapat merasakan bahwa anaknya bersungguh-sungguh merawat ayahnya. Cucunya (C), oleh A juga dilibatkan untuk menyintai ayahnya (B). Ini juga merupakan pelajaran moral yang sangat bagus.