28 October 2020

LDR, say Yes or No

Seorang ayah berlutut dihadapan  gadis kecil yang tengah terisak di kursi. Sang ayah membisikkan sesuatu yang ajaib langsung meredakan isakan si gadis. Di kala lain, sang gadis kecil membisikkan sesuatu dan sang ayahnpun terangguk.

-------------------------

Seseorang membawa rekaman perjalanan hidupnya sepanjang keberadaannya. Rekaman yang paling  powerfull adalah contoh nyata dalam keseharian. Begitupula dalam berumah tangga, aku membawa semua contoh itu dan menyimpannya dalam kotak memori dikepalaku. Ketika menikah aku masih berumur 23 tahun, usia yang sekarang dianggap kedinian untuk menikah. Secara psikologi dua puluh tiga tahun masuk dalam range dewasa awal, meski begitu penampakanku yang mungil dan culun cukup membuat tukang rias (sekarang lebih hits dengan sebutan Mua) dan bridal boutique menyangkaku baru lulus SMA.

"Nih...kecil-kecil koq sudah nikah, dijodohin ya..." 

He..he...Iya sih betul tapi sudah cukup umur koq... Hanya secara psikologis, persiapan mental menuju pernikahan memang hanya setara sekolah lanjutan atas jadi bisa dibilang underachiever gitu...😏

Ketika akan menikah atau saat menikah, tidak ada wejangan khusus dari ortu. Abi dan mama adalah tipe ortu klasik yang menganut  paham, menikahlah sebagaimana orang-orang terdahulu (baca: sepupuku) menikah.  Pernikahanku seperti pernikahan umumnya akan berjalan searah jarum jam. Diawali dengan perjodohan, baca fatehah, lamaran dan diakhiri dengan pernikahan. Kehidupan setelah menikah itu seperti apa, tugas tanggung-jawabnya seperti apa tak pernah ada yang mengulas. Aku hanya menerima wejangan sepotong-sepotong dan remeh-temeh misal tentang kopi. Beberapa amati dan halati (tante) mewanti-wanti untuk membuatkan kopi suami dengan tangan sendiri, pamali pembantu yang membuat. Ada juga wejangan lain yang intinya, suami adalah prioritas nomer satu.  

Subhanallah, aku yang tidak terbiasa minum teh atau kopi (apalagi membuatnya) bertemu dengan seseorang yang kusebut suami yang juga tidak terbiasa dengan teh atau kopi. Gugurlah klausul number one. Alhamdulillah, pak suami ini ternyata  penganut persamaan gender, artinya kemana-mana bersama-sama, ke pasarpun kita bersama...πŸ˜… Lha gimana, seumur-umur gak pernah ke pasar, mau kepasar sendirian takut jadilah minta ditemani.

Setelah menikah, aku ikut kemanapun suami bertugas ya seperti mimi lan mintuno, ke hulu-hulu sungaipun ikut...😊 
Kisah LDR  dimulai saat suami sudah menyelesaikan pendidikan spesialis orthopedinya. Saat itu mendapat dua tawaran, Madiun dan Bojonegoro. Dipilihlah Bojonegoro dengan pertimbangan jarak lebih dekat dan disepakati juga aku akan menyusul bersama anak-anak, paling tidak sampai sekolah si sulung sudah bisa dipindah. Ternyata...manusia hanya bisa sebatas berencana. Tahun berganti tahun, kondisi abi mulai menurun yang mengharuskannya bolak-balik perawatan dokter di Surabaya. Sebagai satu-satunya anak yang tinggal di Surabaya, aku merasa harus mengambil peran menjaga abi. Aku kebagian tugas mendaftarkan  sekalian menemani abi masuk keruang periksa dokter. Maklum abi kalau tidak ada saksi sering melanggar pantangan dokter, nasehat mama sering diabaikan. Dan biasanya sehabis dari dokter, abi bermalam dua atau tiga hari di Surabaya. Aku merasa harus stanby di Surabaya untuk menjaga abi. 
Setelah berunding dengan suami, dia tidak keberatan hanya saja jadwal pulangnya  atau jadwal kunjungaku ke Bjn dipersering. Rencana tiga tahun aku menyusul ke Bjn, dirubah menjadi suami yang akan pindah ke Surabaya. Tak terasa waktu berlalu seperti angin, sampailah pada tahun ke enam LDR.  Suami  mengambil   pendidikan lanjutan menjadi Konsultan Hip and Knee. Dan setelah selesai suami berupaya masuk Surabaya tapi sayang terkendala dengan ijin dan formasi yang tersedia di tempat tujuan. Tunggu-menunggu ijin dan formasi tak terasa menginjak empat belas tahun LDR...πŸ™ˆ
 
Dari Abu Hurairah ra, Nabi SAW, bersabda: “Barang siapa yang melepaskan satu kesusahan seorang mukmin, pasti Allah akan melepaskan darinya satu kesusahan pada hari kiamat. Barang siapa yang menjadikan mudah urusan orang lain, pasti Allah akan memudahkannya di dunia dan di akhirat.
Seandainya lebih banyak orang yang tahu tentang hadist ini ya...πŸ˜‰

Waktu empat belas tahun tak terasa lama karena kita tetap sering bertemu paling tidak seminggu dua kali, apalagi kalau ada seminar atau pelatihan aku selalu turut serta serasa gak LDR deh. Apalagi banyak temen sepertiku juga, berpisah rumah dengan suami dengan pelbagai alasan.  Aku masih merasa LDR baik-baik saja sampai...

The virus taught me...

Saat virus covid-19 bergentanyangan di udara, saatWFH berlaku, saat melockdownkan diri dari kegiatan tak mendesak dan tak penting ada banyak waktu dirumah untuk saling bertinteraksi, suami-istri, kakak-adik, ayah-anak-ibu-anak, ayah-ibu dan anak-anak. Ternyata nikmat ya berkumpul sebagai satu keluarga yang utuh. Nikmat ya bisa melihat suami setiap harinya. Nikmat ya melakukan hal kecil bersama-sama, ayah-ibu-anak. Nikmat ya memberi kesempatan anak ngobrol sepuasnya dengan ayahnya, bisa besok bisa besoknya lagi, bisa kapan saja  (saat LDR khan terbatas, wakty efektif untuk anak-anak paling cuman minggu saja).Ternyata nikmat ya melihat anak-anak bercengkerama dengan ayahnya. Nikmat ya melihat ayah mengajarkan sesuatu pada anak-anak perempuannya. Ternyata banyak kenikmatan lain yang aku baru menyadarinya kembali. Sebelumnya aku khan pernah merasakan kehangatan keluarga yang utuh sampai LDR membuat kita lengah...😭

I have to say No for LDR

Ada suatu kondisi dimana LDR tak bisa dihindari, misal: saat salah-satu pasangan terikat kedinasan atau kontrak yang mengharuskan menetap di daerah tersebut atau saat pasangan dipindahtugaskan kerja ke daerah baru atau saat salah-satu pasangan menempuh pendidikan di luar kota atau luar negeri atau ada sebab lain yang lebih personal. Untuk alasan-alasan shahih seperti diatas, LDR sah-sah saja hanya ada catatan: waktunya dibatasi, tiga atau empat   tahun sudah cukup, kalau lebih mohon ditinjau kembali....sayaaaang bangeeeet waktu-waktu yang terlewat.

Sebelumnya aku tidak menyadari ada sesuatu yang terlewat sampai sesuatu yang lain menyapaku lewat kehangatan sebuah keluarga yang utuh. Narasi diawal tulisan menggambarkan interaksi seorang gadis kecil dengan ayahnya. Menggambarkan seorang gadis yang sedih karena akan ditinggal pergi oleh ayahnya keluar kota. Dan setelah dibujuk akan dibawain oleh-oleh makanan atau mainan kesukaannya maka si gadis kecil menjadi riang kembali. Keadaan berulang, si gadis tak sedih lagi ditinggal karena dia sudah punya permintaan yang dia tahu akan dikabulkan oleh ayahnya.  Paragarap berikutnya itulah yang terjadi padaku dan suami. 
Kotak memoriku dipenuhi contoh nyata bagaimana pelajaran hidup kudapat dari abi dan mama sementara suami juga menyimpan kotak memorinya sendiri. Suami berasal dari keluarga yang terdiri dari tujuh saudara laki-laki dan satu saudara perempuan. Struktur gender yang demikian membentuk karakter yang tangguh bagi tiap-tiap anak. Kalau fokus suami mendidik keluarga lebih pada kemandirian, kalau fokusku lebih kearah reward and punishment. 
Kenapa aku tidak merasa berat melalui LDR sampai empat belas tahun? Ya karena, titik fokus hanya pada hubunganku dan suami akan baik-baik saja. Alhamdulillah memang baik-baik saja...πŸ‘
Tapi...Bukankah keluarga tidak hanya dilihat dari hubungan suami dan istri yang baik-baik saja...? 
Keluarga juga melibatkan anak-anak. Bagaimana mereka berinteraksi dalam sebuah kehangatan yang utuh. Bagaimana mereka berproses, belajar, bersikap, bertindak dll...yang mereka lihat dan duplikasi dari kedua orangtuanya. Sebagai satu-satunya anak perempuan (saat itu) aku lebih memilih dirumah didalam kamarku membaca buku-buku. Profileku memang begitu, tidak suka pergi sampai-sampai seorang sepupu menjulukiku perawan Kubu. Bukan salah bunda mengandung kalau sifat ini menurun secara genetis ke anak bungsu. Sementara anakku yang sulung tenggelam dengan dunianya sendiri tanpa melibatkan kita (karena sifat mandirinya) dan sangat menikmatinya.  
Ila kecil melihat abi dan mama selalu bersama, kemana abi pergi selalu ada mama. Akupun begitu, selalunya aku menempel kek perangko, kemana suami pergi aku ikut. Bahkan terkadang hanya aku satu-satunya ibu-ibu sebaya yang ikut...πŸ™ˆ 
Lalu...Aku memperlakukan dua putri dewiku sepertiku dulu. Aku berusaha memenuhi kebutuhan dan memberi mereka reward karena menjadi anak yang manis dan tidak merepotkan. Memberi apa yang mereka minta kecuali menghadirkan kehangatan ayah ditengah mereka selain diwaktu-waktu tertentu, week-end atau liburan...Ini yang kita lengah... 😭😭😭

Kita lengah dengan LDR. Meski anak-anak sangat dekat dengan ayahnya, akan tetapi mestinya lebih banyak lagi nilai-nilai yang bisa dicopas atau yang seharusnya bisa ditransfer dengan mudah jadi terdelay, tidak connect atau tercancel. Ya iyalah mesti ada beda antara yang seutuhnya bersama-sama setiap hari dengan yang bersama pada saat tertentu saja. 
Bukankah kwalitas lebih penting daripada kwantitas...?
Hmm...Menurutku kwantitas sangat penting bahkan ada kalanya kwantitas bisa menentukan kwalitas terutama dalam menanamkan keimanan pada anak-anak. Misalnya: membaca quran bersama sehabis sholat magrib, tahajud bersama, mendengarkan kajian bersama-sama dll.
 
I have to say no to LDR
 
LDR tidak sederhana dan semudah pengucapannya. Ada banyak tantangan dan konskwensi yang harus dihadapi pasangan yang melakukannya. Masalah ini menghantui layaknya momok. Ada tiga momok yang terekam berdasarkan pengalamanku.

Momok kesatu dalam LDR adalah Miskomunikasi   yang merupakan embrio dari perdebatan # perselisihan # pertengkaran.
Dan terbukti, momok komunikasi kita adalah Signal Hp...πŸ˜ͺDuh...gimana gak kesal, lagi kangen pengin ngobrol, suara terdengar terputus-putus atau pas ada info penting, mau kasih khabar, e...malah gak nyambung atau pas emergency call, telpon malah gak diangkat padahal nadanya masuk. Sidin punya selidik gak tahunya si doi lagi diruang operasi. Ya pantesan telponnya gak diangkat tapi akunya sudah kadung kesel dan pegel duluan...πŸ˜₯
Penghalang komunikasi yang kedua adalah ritme pertemuan. Bagi yang LDR antar pulau atau bahkan antar negara yang ketemuannya hanya bisa sekali-sekali, ini juga berpotensi jadi pemicu miskomunikasi. Tapi mungkin kalau LDR berjauhan begini tgt juga pada komitment yang dibuat. Percayalah seberapa sering menelpon atau vidcall, pertemuan fisik tetap harus diagendakan. 
Momok kedua dalam LDR adalah cemburu.
Aslinya aku itu bukan orang yang gampang cemburu tapi kalau dikomporin ya terkadang kesulut juga sih. Perempuan memang aneh, kadang mimpi aja bisa memanaskan tungku.
"Dapat khabar dari mana itu ?"
"Ini bukan khabar tapi mimpi..."
"Hah...! Mimpi koq dipercaya..."
"Ini seperti nyata..."
"Istigfar bu...Jangan sering nonton drakor ya"
πŸ™ˆ
Cemburu itu seperti kompor kalau sudah meleduk, apinya kemana-mana, susah padamnya. Setiap pasangan punya caranya sendiri untuk mengatasi sindroma ini karena sebetulnya cemburu adalah paket komplit dalam pernikahan sebagaimana sedih, bahagia, marah, khawatir, takut dll.
Pengalamanku mengatasi cemburu saat LDR adalah dengan mengkampayekan slogan glasnost dan perestroika. Saling terbuka dan reformasi diri. Bersifat terbuka (baca: jujur) itu maha penting karena ini mengartikan adanya kerjasama yang baik antar pasangan. Dan bila ada masalah bisa diatasi lebih dini.

Tips menangkal serangan rumor atau bila ada yang julid dengan LDR, biasanya aku akan berakting calm n cool. Ntar dirumah suami mau diinterogasi, mau dihipnotis atau disihirpun gpp yang penting jangan kasih makanan sama orang yang julid. Keenakan dong yang julid,  bisa bobo nyenyak sementara kitanya masih perang tanding. 
Memang sih, tak dapat disangkal godaan saat LDR lebih besar dibanding pasangan yang serumah. Ibarat pagar, kalau serumah itu pagarnya tertutup rapat tapi kalau LDRan, dipagarnya terlihat ada celah yang mengintip. Dan itu adalah sasaran empuk bagi pengikut-pengikut Dasim (nama setan yang bertugas khusus merusak hubungan rumah-tangga seseorang). 
Disinilah pentingnya reformasi diri menjadi lebih baik, lebih mendekatkan diri kehal-hal religi, mempersiapkan husnul khotimah, akhir kehidupan yang didambakan setiap muslim. Saat LDR, benteng pertahanan diri memang harus dibooster dengan keimanan yang lebih baik.

Momok ketiga dalam LDR adalah, penyesuaian
Hubungan suami-istri adalah hubungan yang bersifat unik, personal yang tidak bisa dibandingkan antara pasangan yang satu dengan pasangan yang lain. Anak aja unik apalagi suami-istri yang notobene adalah dua kepribadian yang dibesarkan dengan cara berbeda, dipersatukan dalam satu ikatan sakral, pernikahan. Menilik keunikannya maka dibutuhkan adaptasi dan penyesuaian  sepanjang rentang perkawinan.
LDR dapat menyebabkan proses penyesuaian ini terganggu dapat ringan, sedang atau berat tergantung hubungan yang terbina sebelumnya.
Contoh kecilnya: masalah kebiasaan. 
Aku sih mahfum kalau si ayah tidak sekufu denganku dalam masalah clear and clean. Untuk menjaga suasana aman-tentram-damai, aku menyediakan baju dan pernak-perniknya sebelum si ayah mengambil sendiri. Atau kalau dalam kondisi out of service, paling tidak masih ada empati untuk tidak mengacak-ngacak isi lemari dll. Nah  LDR  menyebabkan insting survive in the junglenya  si ayah kambuh. Kalau sudah sebulan aku gak sempat visit (karena suami yang riwa-riwi sby) pas saat datang, si ayah menyambut dengan kalimat pembuka 
"Bagaimana sudah rapih khan...? Aku semua yang beresin lho..."  
Rapika sih sekilas. Coba kita lihat lebih detil, isi lemari jangan ditanya deh, bukan hanya baju tapi kaleng biskuit, sambal sachet dan popmie juga bisa nangkring disana. Dan yang membuatku tak bisa berkata-kata saking terharunya pemasangan seprei dan bantal gulingnya ketuker-tuker serinya...πŸ˜‘
 
Contoh kategori sedang: Karena tidak ada istri dan anak bersamanya, si ayah sifat workaholicnya tak terbendung. Akibatnya kerugian material: jatuh sakit sedang kerugian immaterialnya, saat wakuncar keluarga, kelelahan dan kurang sensitif dengan keinginan liburan dan yang sejenis. 
Masalah penyesuaian sesudah LDR bukan saja rumit bagi pasangan tapi juga berimbas ke anak-anak.  Dari yang awalnya ada setiap hari menjadi terbatas dan kembali lagi ada. Perlu waktu untuk memetakan sosok yang tiba-tiba hadir kembali dalam keseharian aktivitas. Tidak seperti saat awal menikah sih tapi jika tak segera diatasi, kehadiran kembali pasangan akan dirasakan sebagai gangguan terhadap privacy (misal: bakal ada yang minta pin hp, atm atau bahkan kk, hhh... ) Bagi anak-anak, kehadiran kembali sosok ayah yang selalu ada seperti mendapat bulan, bintang dan matahari sekaligus. Ini berarti tersedianya kehangatan, kebahagian include peraturan-peraturan baru.
 
Nah setelah melihat ulasan berikut contoh-contoh diatas, masihkan say Yes terhadap LDR? 
Me: I will say No...

Note: 
Ada juga sharing info dari seorang teman yang menjalani LDR dengan ibunya yang sakit. Secara rutin si teman yang sholehah ini mengunjungi ibunya meski harus menempuh jarak tigaratus kilometer untuk datang ke kota tempat si ibu tinggal. Stay dua atau tiga hari disana kemudian pulang. Gak capek...? Ya capeklah tapi setimpal koq dengan yang dia rasakan...😊 
Btw:
Tulisan ini tidak bermaksud  menonjolkan penyesalan. Just sharing and caring, mungkin bisa dijadikan masukan sebelum mengambil keputusan. Bagiku, apapun itu (baca: LDR) jika karena/untuk Abi adalah sangat berharga jadi tak ada yang perlu disesali...😊
 
Semoga bermanfaat, see you in the next post...πŸ™

23 October 2020

Antara Kampus Impian dan Kota Legenda.

Ketika terbaca tiga huruf ini, UGM, umumnya apa yang ada dibenak setiap orang? Hanya ada satu kata, Keereennn...
Untuk kampusnya dan untuk kotanya. Begitu juga yang tersirat di benak si bungsu ketika pada suatu hari mengikuti presentasi kakak kelas yang mempromosikan kampus UGM dengan aneka fakultas dan kemegahannya. 

"Mama boleh gak Rana kuliah diluar Surabaya? Tak sampai sedetik akupun menggeleng tanda tak setuju.

"Di UGM masa sih gak boleh?" Aku menatapnya sejurus. Aku tahu gadis remaja didepanku ini berusaha membangkitkan sensasi masa lalu yang diingatnya melalui cerita-ceritaku dikala senggang. 

Aku tetap menggeleng. Dan diapun berhenti berkata-kata. Hanya untuk sementara...! 

Setelah hari Rabu itu, yang akupun tak ingat lagi tanggal berapa, si bungsu tak henti menggodaku dengan obsesinya pada tiga huruf yang pernah juga menghiasi isi kepalaku. UGM memang kampus impian.

Subhanaallah...Dejavu. Tuhan tolong aku...Katakan padanya...πŸ˜•πŸ˜­

"Bi, bolehkah Ila kuliah di Yogya.." Abi menggeleng. "Di UGM...?" Kedua kalinya abi menggeleng. Aku masih memaksa, aku bilang jurusan yang kupilih hanya ada di UGM. Abi tetap menggeleng dan keluarlah kalimat pamungkasnya "Pilih jurusan apa saja asal di Surabaya atau di Malang. Abi tidak akan membiarkan anak perempuan jauh dari Abi" Dan akupun meleleh...

Kalimat sakti itupun kupake ke anak bungsu. "Mama tidak bisa jauh dari Rana..." Ntar kalau dibilang Rana gak bisa jauh dari mama malah dia pengin ngebuktikan kalau dia bisa, ambyar khan. E...gak mempan. Rana lebih pintar, dia malah yang bilang mama harus siap melepasnya. 

"Nanti kalau Rana nikah gimana...?" or
"Rana harus belajar mandiri. Kalau sama mama, Rana jadi anak kecil terus..." or
"Rana pengin ngekos kek kakak Sirin" bla...bla...
Untuk sesaat aku merasa jadi anak kecil yang sedang dituturi ibunya...πŸ˜…
Tak kurang akal, aku menawarkan opsi, kalau diterima kuliah di Surabaya boleh ngekos. Tidak seperti kakaknya yang pandai dan lihai merayu, si bungsu lebih memilih untuk menurut. Sementara aman...

Dalam membantu si bungsu sukses menjadi pejuang UTBK, kita saling bahu-membahu mengatur strategi. Pilihan sekolah swasta kita tutup. Kita fokus ke PTN (surabaya dan malang) dengan beberapa pilihan jurusan dan pilihan jalur masuk (mandiri dan internasional). Si bungsu beda dengan kakaknya yang lebih mandiri dan pedhe dalam memilih jurusan. Rana sering terjebak bimbang dalam memilih jurusan. Galau memilih FK, Psikologi, Farmasi atau FKG. Meski memiliki sifat yang beda, Rana  ngefans ke kakaknya, finally dia memilih jurusan yang sama. Sebelumnya kita juga ikutkan tes bakat-minat dan konsultasi ke psikolog untuk mengatasi hambatan belajar. Rana ini orangnya perfect, organized dan detil. Ini bisa jadi kekuatannya tapi juga bisa jadi penghambat karena dia mendorong dirinya terlalu keras. Ditambah sifatnya yang moody, kombinasi yang pas untuk membuat was-was. 

Sebagai persiapan belajarnya, selain ikut bimbel di SSC, Rana juga ikut les private fisika, kimia  dan  matematika dirumah. Salah-satu guru favouritenya adalah pak Edwin. Ketiga les itu  hanya sempat berjalan dua bulan dan terhenti total  karena pandemi (juga karena kebijakan yang meniadakan kedua pelajaran itu dari UTBK) kecuali les matematika yang tetap berlanjut setelah lebaran sampai saat ujian tulis UTBK. Les online kurang greget, akhirnya diputuskan les offline dengan memakai protokol kesehatan, masker, face mild, pembatas, social distancing dll, lengkap deh. 
Jadwal belajarnya padat merayap...Dan gangguan yang sering muncul adalah faktor kebosanan apalagi karena pandemi pelaksanaan tes berubah-ubah, mundur terus. Sampai tibalah pelaksanaan test UTBK...Alhamdulillah lancar sampai hari H (sebelumnya diwajibkan rapid, gak kebayang kalau ternyata hasil rapidnya reaktif. Info yang beredar tidak menjelaskan bagaimana jalurnya kalau ada anak yang hasil rapidnya reaktif)

Sambil menunggu pengumuman, waktu antaranya digunakan untuk persiapan tes jalur mandiri dan internasional. Nah disinilah takdir berjalan...Kalau si sulung kepandaian merayu bikin hati meleleh, kalau si bungsu sifat penurutnya itu yang bikin hati lumer. Saat si bungsu request, 

"Mama boleh gak Rana daftar UGM...Gak pake test lagi, dilihat dari nilai UTBK saja..." Mata beningnya bekerjab-kerjab penuh harap. Satu kali...dua kali...sepuluh kali dilontarkan, kitapun mulai melemah dan inilah prosesnya. "Cuman daftar aja ya..." Aku mewanti-wanti untuk tidak berharap lebih. 

Saat UTBK, Rana memilih Unair dan UNS sebagai pilihan kedua. Penginnya Unair dan UB biar sama-sama di jawatimur tetapi dengan pertimbangan FK Unair tidak bisa disandingkan dengan FKUB (entah benar entah hoax tapi ini yang diyakini selama bertahun-tahun) akhirnya kita memilih FKUnair dan FK UNS. Nanti UB dikejar melalui jalur mandiri. Alhamdulillah Rana diterima di pilihan kedua, di UNS Solo. Gpplah Solo khan deket ada tol, cuman 2,5 jam dari Surabaya.  Rana juga tampak sumringah  masuk dalam group Wa, maba FK UNS. 

Pas weekend, kita meluncur ke Solo untuk tilik kampus dan hunting kos-kosan. Dalam memilih kos-kosan, aku mengandalkan rekomendasi teman dan dapat di Wisma Handayani. Ibu kosnya baik banget jadi sreg nitip anak disana. Disaat sudah memantapkan hati menuju Solo,  takdir tengah berproses mendekati Rana. Saat itu kita lagi makan sahur, tetiba Rana dengan teriakan girangnya berkata kalau dia diterima di UGM. Subhanallah... Aku yang terkaget-keget kena serangan maag, mual dan muntah- muntah di sepertiga malam...😒

Panic Attack, aku seperti linglung. Bersikap menolak, gak tega, akhirnya abstain  untuk menghormati perjuangan anakku. Untunglah si Ayah tanggap situasi dan memberi ucapan selamat pada si bungsu. Rana dapat menangkap keberatanku tapi kali ini lain dia menunjukkan teritorinya, kekeuh memilih UGM. 

Singkat cerita...Rana tak bisa pindah ke lain hati, bahkan ketika dinyatakan diterima di UBpun Rana bergeming. UGM benar-benar sudah memikat mata dan hatinya. Aku mengandalkan power antar saudara. Ternyata si kakak yang juga merangkap si pembisik, kena sindroma solidaritas antar saudara kandung. Sang kakak malah menyakinkan kita kalau Rana lebih baik kuliah di UGM, kalau kuliah di Malang ntar mama n Rana masih  saling merecoki n Rana gak belajar menjadi dewasa. Duh...mau dibantah tapi keknya bener juga...πŸ˜•

Setelah mewawancarai hampir separuh penduduk bumi, meminta  pertimbangan mama, umi, sedulur, sahabat, teman dll. kita mencoba legowo dengan pilihan si bungsu. Meski untuk itu aku harus menahan airmata, berdamai dengan deburan dada yang tak beraturan, insomnia dan serangan maag berhari-hari setiap mengingat putri kecilku itu akan jauh dari sisiku. Untuk menenangkan hatiku, si ayah memintaku merubah rasa khawatir itu dengan mendoakan yang terbaik untuk Rana. Sementara si sulung mengajukan usul yang kontradiktif.
"Ma, ntar Sirin ambil Spnya di UGM aja jadi bisa sekalian jagain Rana..." Hah...langsung jatuh mosi tidak percaya...😎

Satu-satunya pemberat bagi Rana adalah teman-temannya yang tergabung dalam maba FK UNS. Aku ikutan baper juga...terharu ketika teman-temannya mengucapkan selamat.

Setelah sempat tertunda, berangkatlah kita ke Yogya...hunting kos-kosan dan tilik kampus. 

UGM dan Yogya

UGM dan Yogya saling bersinergi menyumbangkan nama besar. Ketika memasuki area kampus UGM, aku bisa merasakan daya magnit yang membuat seorang Rana tak bisa berpaling. Akupun begitu, bertahun-tahun lalu selepas SMA, aku menyimpan semua ketertarikanku pada UGM khususnya pada fakultas Hubungan Internasional. Maklum pada saat itu bacaan favouriteku majalah Tempo dan tokoh populer saat itu adalah Bapak Amin Rais. Keduanya berkolaborasi di kepalaku membentuk image tentang sebuah masterpiece. Dan itu berawal dari sebuah kampus yang dijuluki sebagai kampus biru. Sayang cintaku bertepuk sebelah tangan...
Dan kini Rana mewakili segenap hatiku melanjutkan rajutan benang-benang cinta itu. Cintaku kembali bersemi di kampus biru...πŸ˜ƒ
 
Acara visit kampus selesai berlanjut ke cari kos. Satu-persatu kos-kosan rekomendasi temen, saudara, didaerah pogung dicoret dari daftar. Rana sekali lagi menunjukkan teritorinya, dia hanya mau rekomendasi kosan dari temannya didaerah Sadewo. Kitapun langsung cek ke lokasi dan disambut hangat oleh ibu kosnya. Ya...kita memang cari kos yang ada ibu kosnya atau paling-tidak  penjaga kosnya memenuhi persyaratan aman dan bisa dipercaya. Alhamdulillah...πŸ‘Œ
Berkali-kali ke Yogya selalunya bersentuhan dengan Mallioboro, Bringhardjo, Raminten, Kasongan, sentra bakpia, sentra batik, sentra kuliner dan sentra wisata. Yogya memang kota legenda, dari sudut manapun selalu memukau. Daerah ini memang Istimewa
 
Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku bersahabat
Penuh selaksa makna
Terhanyut aku akan nostalgi
 
Semoga bermanfaat, see you in the next post ..😊



 

 

08 October 2020

Move On..

 

Seorang gadis kecil memandang sekeliling dengan pandangan penuh haru. Itu adalah hari terakhirnya di sekolah, sesudahnya dia akan meneruskan ke jenjang sekolah lebih tinggi yang hanya berjarak beberapa meter saja dari rumahnya. 

Dan setelah tiga tahun, kembali si gadis remaja menatap nanar sekolahnya karena dia harus melanjutkan ke jenjang atas. Kali ini sekolahnya yang baru berhadap-hadapan dengan rumahnya. Dan berpuluh-puluh tahun kemudian, si gadis tanggung telah menjadi ibu dua orang anak, melanjutkan hidupnya di kota yang berbeda. Tahun-tahun yang terlewati, kehidupan baru yang  lebih menantang tak membuat perbedaan pada memori yang tersimpan tidak saja di kepala tapi juga di hati. Setiap ingatan itu menyeruak, perasaan membuncah dan aku harus menahan  bulir-bulir hangat yang siap menetes. Lewat depan sekolah anak, lihat rumah atau toko jadul, bahkan mengingat hari kemarinpun bisa membuat hatiku terharu-biru.

"Mama gak bisa move on...."Mama baperan" begitu selalu dan selalu begitu komentar kedua anakku setiap mereka memergoki ibunya lagi termangu-mangu memandang sesuatu atau teringat sesuatu.

Begitupun kemarin saat guru les yang sudah bertahun-tahun mengajar si sulung dan si bungsu, datang bersilahturahmi (tentunya dengan menerapkan protokol kesehatan) duh rasanya pengin nangis.

"Pak Edwin sering-sering datang ya nengok Sirin n Rana..." kataku senang menyambut kedatangannya. Saking senangnya bisa melihat pak Edwin lagi sampai-sampai bilang ke suami pengin cepet-cepet punya cucu supaya bisa dileskan sama pak Edwin (suami: emang cucunya bisa langsung SD gitu...)πŸ˜… 

Seperti ada yang hilang, biasanya tiap pak Edwin datang ikut mikir nyediaian kuenya atau makannya atau nanya-nanya perkembangan belajar anak-anak. Bukan saja pada guru les anak, saat si sulung mau pamit balik boyongan ke surabaya pada penjaga kos, koq keknya aku yang lebih terharu. Saking cocoknya aku ma penjaga kos si sulung  sampai-sampai aku memaksa si bungsu untuk kuliah di malang saja. (tentunya plus faktor-faktor pengaman yang lain, diantaranya jarak yang lebih dekat, banyak saudara di malang dibanding di Yogya yang nihil).

Kebetulan (alhamdulillah...) Rana diterima di dua PTN, Malang dan Yogya jadi bisa milih. Setelah melalui pertimbangan panjang-lebar dan alot, dibumbui linangan airmata segala, akhirnya ngalah deh, demi impian anak yang sudah kesengsem sama UGM dan Yogya. Gak habis mikir, nih anak belum pernah pisahan ma ibunya koq bisa-bisanya milih kuliah di luar kota, gak ada tolnya pula...πŸ˜” (next story). Duh...Apa ini yang disebut baperan?

Si sulung Sirin, sudah kembali ke rumah setelah menyelesaikan Isipnya di Rs di Malang. Si bungsu Rana memang kuliah di UGM tapi sementara juga masih dirumah karena belajarnya daring. Suami juga sudah gak LDRan karena sudah pindah kerja ke Rs di Surabaya (next story). Apa ini yang disebut sindroma sarang kosong?

Sebetulnya semua ada dan masih dirumah. Sementara sindroma sarang kosong adalah: Istilah yang biasa digunakan pada orangtua yang memiliki rasa gelisah dan kehilangan karena anak-anaknya menempuh pendidikan atau menikah.
Mungkin ya...Mungkin juga tidak.

Ternyata gen tidak bisa move on atau baperan ini menurun alamiah ke anak bungsu. Kalau sih sulung mah persis ayahnya, cool and calm. 

Tetiba si bungsu masuk kamar dengan mata berkaca-kaca,  membawa baju yang tak pernah  terpakai, gegera corona tak ada lagi acara perpisahan kelas/sekolah yang bahkan sudah direncanakan jauh-jauh hari sebelumnya. Kalau yang ini, bukan cuman anaknya, emaknya juga jadi ketularan baper... 

Atau:

"Mama...Rana kangen ma sekolah..."

"Rana kangen ma temen-temen..."

"Ma...Gimana pak yang jualan depan sekolah.."

Kebetulan  sehari sesudahnya aku baca di koran, ada anak SD yang nangis pengin jenguk sekolahnya dan dibawa oleh ortunya malam-malam ke sekolah. Walau cuman dipagernya saja gak bisa masuk, rindu anak itupun sudah terobati. Koq mirip ya ...πŸ˜‰

Pernah sehari (baca: satu hari) setelah tiba dirumah dari acara homestay EF di London, si bungsu nangis sesunggukan bermenit-menit...sampai si ibu bingung. Waktu ditanya kenapa..? 

Katanya, "Rana kangen London..." 

Lho koq sama ma ibunya saat baru sehari dateng dari haji/umroh sudah berurai airmata pengin balik lagi dan lagi....😒

Keknya untuk emak-emak, tiga rangkai kata ini bisa sangat berhubungan, sarang kosong, baperan dan gak bisa move on. But untuk anak muda baperan dan gak bisa move on mempunyai arti khusus berkaitan dengan urusan hati. 

Aku sebagaimana kebanyakan ibu-ibu yang lain sangat kepo ma urusan anak-anak. Alhamdulillah...kita dan anak-anak saling follow di ig, fb dll. Meski terkadang aku suka nyinyir kalau ada postingan (terutama) foto anak-anak yang kurasa kurang elok. Baru semenit post di ig, aku sudah langsung dm untuk dihapus. Supaya tidak menimbulkan perdebatan, aku sering menambahkan kata-kata horor, "Cepet dihapus sebelum baba lihat". Kata-kata ini manjur banget, gak pake a...i...u.e..o...langsung postingannya dihapus. Sebelumnya, kalau ditulis begini, "Cepat dihapus mama gak suka..." Tuh postingan masih sempet bertengger beberapa jam sampai satu hari. Begitu dikaitkan dengan si ayah, langsung deh hilang dari pandangan. Powerfull ya sosok ayah dimata anak gadisnya. Monggo bisa dicobaπŸ˜€ 

Setelah dihapus, muncullah catatan kaki yang intinya mempertanyakan kenapa mama n baba terlalu masuk "ranah pribadi". Rupanya anak-anak juga malu sama temen-temen di Ig kalau ada postingan yang direvisi. Kalau bagian jelas-menjelaskan begini, aku memberi kesempatan seluas-luasnya pada Yang Dipertuan Agung untuk memberi pencerahan pada putri-putrinya.  Alhamdulillah mereka akhirnya mengerti, kalau memposting foto yang antara iya dan tidak, dikirim ke emaknya dulu. Nanya boleh-gak diposting?

Kalau curhatan berupa tulisan, boleh-gak? Hmm...keknya gak bakalan curhat deh soalnya si ibu fans berat media sosial anak-anaknya (baca: dalam pengawasan...πŸ˜‰) Untungnya juga si sulung termasuk tipe berdarah dingin, susah sekali mo curhat dan si bungsu termasuk tipe statis di media sosial.

Terlepas dari undang-undang domestik,  kalau baca curhatan di media sosial terkadang aku ikutan baper juga Ada yang bikin sedih, bisa ngakak atau bisa gemes/marah. Anak-anak sekarang memang kreatif mengungkapkan perasaannya. Reaksi tergemes kalau baca curhatan kekasih yang tak kunjung melamar atau yang tak setia. 

Untuk kekasih yang tak setia, hanya ada satu nasehat terbaik yang bisa kuanjurkan adalah lepaskan dengan dp nol persen,  alias tanpa syarat. Gak usahlah dicari alasan dibalik batu atau berusaha bijak dengan memahami kekhilafannya atau memberi kesempatan kedua dll. Tidak setia pada hakekatnya suatu perilaku merendahkan diri sendiri yang tersusun, terencana dan terstruktur. Termasuk dalam kategori perbuatan yang paling tidak menyenangkan dalam sebuah hubungan. Sebelum menikah, satu-satunya  yang terdampak dalam sebuah perselingkuhan adalah ananda, tidak ada pemberat lain seperti anak. Jangan pikirkan orangtua karena yang ada dalam otak orangtua jika dibelah hanya ada satu kalimat yang terukir disana,  kebahagian anak-anaknya. So pertimbangan melepaskan lebih mudah daripada mempertahankan. Galau sebentar aja boleh selanjutnya move on lah...Akan ada suatu masa, bahkan ananda tak pernah lagi mengingatnya.

After married, nasehat ekstrem ini harus dilihat dari berbagai sudut pandang, ada banyak hal yang harus dipertimbangkan. Kalau untuk kekasih ada lyrik, "Kejarlah selingkuhanmu..." kalau untuk suami/istri, ada beberapa dalih kuat yang bisa meredam niat extrem untuk melepaskan pasangannya. Masalahnya lebih rumit, harus dilihat case by case dan solusinya juga personal tidak bisa digeneralisasi. Dan untuk keputusan final perlu waktu untuk meneduhkan hati yang porak-poranda akibat badai yang tak terundang.

Ali bin Abi Thalib berkata “Jangan membuat keputusan ketika sedang marah, jangan membuat janji sewaktu sedang gembira".

Dalam sebuah rumah tangga selayaknya ada sebuah lemari besar  dengan banyak laci. Disisi kiri lemari, dalam tiap lacinya tersimpan kartu "Maaf" dan disisi kanan dalam lacinya tersimpan kartu "Maafkan". Kartu-kartu itu saling bergantian muncul, durasinya bisa perhari,  perjam atau bahkan permenit. Awal terbentuknya dari penyeseuaian diri yang masih prematur selanjutnya berproses untuk sebuah kesalahan dan bahkan bisa bersandar pada sebuah kekhilafan. Maaf dan Maafkan adalah perwujudan dari karakter pasangan. Masing-masing dapat dimainkan sesuai peran dan porsi yang disepakati. Bila melewati batas, sabar adalah kata kuncinya dan pelengkapnya adalah tawakal. Bagi orang yang sabar dan tawakal,  kata khawatir dan takut sudah terhapus dari direktorinya. 

Seberapa siapkah ananda menjadi orang yang sabar dan bertawakal? 

Tidak ada pembenaran untuk sebuah penghianatan...Berhati-hati lebih baik. Salah-satu upaya yang bisa dilakukan adalah seleksi calon secara ketat, yang utama adalah soal agamanya. Selingkuh itu masuk dalam ranah zina. Diasumsikan sosok laki-laki yang alim tidak akan berdekat-dekat dengan ranah ini. Syukur banget kalau nilainya ++, asal jangan minus ya. Kalau yang lain-lain baik banget tapi sholatnya kek kain perca, tambal-sulam,  gimana? Aku sering jumpa pertanyaan seperti ini. Dari urutan ahlaq, shalat itu nomer satu. Jangan mau dilamar ah...sampe sholatnya bener.

Bagaimana dengan kekasih yang tak kunjung melamar...?

Thrick or Threat. Beri aku mahar atau kulepaskan kau.

Post "Halalin dulu" berseliweran di media sosial. Kalau sudah berani memanggil sayang, halalin dulu. Kalau sudah berani bilang rindu, halalin dulu dong. Slogan ini ditujukan untuk membatasi ruang/space saling mengenal antar pasangan dan mendorong mereka  menuju jenjang yang lebih serius yaitu pernikahan. Kalau kelamaan gak dihalalin akhirnya terbitlah kata mantan, keburu diambil orang...😭

Sebenarnya semua orang sudah sangat tahu, durasi penjajakan (baca: pacaran) yang lama tidak menjamin akan berakhir di pelaminan. Mengapa...? Apa durasi yang lama menjamin penyesuaian yang lebih baik? Tidak juga. Menjamin kesamaan visi, misi? Tidak juga. Menjamin kelanggengan hubungan? Tidak juga. Tidak ada jaminan dari orang lain karena sebenarnya yang menjamin adalah diri  sendiri, dari niat. Kalau niatnya membina hubungan untuk menikah beda penampakan dengan membina hubungan untuk bersenang-senang. Kalau yang pertama status jelas, perlakuan terarah, koridornya terang dan restupun sudah ditangan. Kalau yang kedua, bagi pihak cewek: status meragukan, membuat galau dan rawan perundungan. Sementara bagi pihak laki-laki nothing to lose.

Wanita tidak bisa mengubah pria hanya karena mereka menyintai pria tersebut. Pria akan berubah dengan sendirinya jika ia benar-benar menyintai wanitanya.  -Steve Harvey-

Kalau sudah digunakan berbagai pendekatan masih tak ada tanda-tanda membawa mahar...So wake up ananda, mesti jeli dan cermat dalam memilih pasangan. Lebih baik bersabar dan memperbaiki diri untuk mendapatkan jodoh yang sekufu daripada cepat dapat pasangan tapi status digantung. Move on dan jangan baperan ntar jadi emak-emak...πŸ˜…

Ada satu  video yang bagus sekali isinya, lihat ini

Semoga bermanfaat. See You in the next post