10 September 2016

Ada Apa dibalik sebuah pernikahaan?

Kalau belum dibuka pintunya hanya bisa ditebak-tebak kalau sudah dibuka baru ngeh...Ternyata ada senang, sedih, gembira, galau, gundah, ada kasus, ada krisis ada macem-macemlah. Yang lagi pengin dishare disini adalah masalah kasus dan krisis. Kalau yang menyenangkan gak usah dibahas deh...Kesedihan itu beda-beda rasanya tiap orang kalau kebahagian rasanya sama.
---------------------
Seperti teori psikologi perkembangan anak, lima tahun pertama adalah sangat penting. Lima tahun awal dimasa perkawinan adalah juga masa penting. Ini adalah tahapan penyesuaian diri dari dua orang dengan dua karakter dan dua pola asuh yang berbeda. Kasus dan krisis (kdk) biasanya berawal dari masa ini.
Kdk bisa melibatkan duo, bisa juga trio atau bahkan bisa multiple kalau masalahnya meluber kemana-mana (ketahuan ortu, mertua, kakak, adik, ipar dll). Bisa kebayang khan semakin banyak yang tahu, semakin ribet penyelesaiannya (apalagi punya ortu atau mertua yang kurang bijaksana (bisa terlalu sayang sama anaknya, terlalu sensitif, terlalu gengsi, terlalu...). Alamak...masalah sepele bisa jadi besar, bisa gak pake tahapan 1,2, 3 dah, langsung masuk keeksekusi :(
Masih keinget pengalaman jadul, habis nikah langsung pindah rumah (kontrak, terpisah dari ortu dan mertua) padahal masih nerusin kuliah, gak bisa masak, gak biasa bikin kopi, teh dll. Ruwet, ribet, capek, pusing, stress de-el-el. Ternyata disinilah seninya. Lambat tapi pasti belajar banyak hal yang berhubungan dengan tanggung-jawab. Juga positipnya: kalau pengin ngambek seharian dikamar gak keluar, gak ada yang tahu...:) Btw: biasalah pasangan baru masih suka ngetes eq masing-masing. Seberapa besar cintanya padaku, de-el-el... Alat tesnya, itu tadi pake: ngambek ;)
Yang masih tinggal sama mertua, pernah gak punya pengalaman diketuk kamarnya? 
"Sayang... Koq gak keluar-keluar dari kamar, gak makan?" 
Yang namanya menantu yang baik khan harus sigap, lompat dari ranjang, buka pintu n pasang senyum.."Enggak ma, lagi diet or lagi puasa or..." What everlah yang penting kasih jawaban.
Yang susah itu, aktingnya. Kalau pernah kebetulan belajar seni peran, mungkin gampang tapi kalau gak pernah, pas bete disuruh pasang wajah cooll n calm....Duh...susahnya...:(
Nah...ketahuan deh. 
Sekarang...konon, mertua bisa dijadiin temen. Setuju? 
Setuju-setuju saja, dalam artian merasa dekat, tidak perlu ditakutin akan menggigit :) tapi tetap ada bedanya. Kalau temen bisa dicuekin, disalahin, kadang dimarahin. Kalau mertua??? Enggak bisalah...!
Jaman bisa berubah, aturan baku tetap berlaku. Mertua harus dihormati dan tidak pernah salah (dalam artian tidak bisa diungkapkan secara asertif, harus bermain halus dan cantik atau melalui perantara). Jadi gak bisa nih kalau ada menantu yang gak suka basa-basi dan dia bangga karena selalu berkata apa adanya, terus tiba-tiba dalam sebuah perbincangan bilang ke mertuanya "Mama salah..." Hmm...Bukan bunda salah mengandung kalau anaknya kepedean begini.
Oh ya dalam rangka tinggal sama mertua dan mertua # teman, jangan terlalu sering curhat ke mertua ya. 
Lho kenapa? kalau sesekali sih gpp, kelihatan lucu. Biasanya tanggapan awal mertua kalau dicurhati tentang tingkah anaknya adalah: tertawa renyah. Tapi kalau hampir setiap ketemu si menantu yang cantik nan manjaaaa ini selalu berkeluh-kesah tentang anaknya, yang suka mendengkur, pake sikat gigi bergantian, yang pakaian dalemnya gak ganti-ganti...Bisa-bisa si mertua tawanya berubah jadi senyum kecut, nyengir dan akhirnya buat laporan gagal paham ke anaknya. Finally, masalah gak selesai malah bisa nambah masalah baru.
Positipnya tinggal di PIM (Pondok Indah Mertua/Mama): enak banget, iriit mikir. Semua tanggung  beres, tinggal nunggu weekend terus jalan-jalan berdua, asikk :)
Pelajaran pertama: Menimbang mudharatnya lebih banyak dari manfaatnya (dilihat dari segi kecenderungan terjadinya gesekan karena masih dalam tahap penyesuaian diri n masa trial & error. Sebaiknya setelah menikah langsung memisahkan diri dari ortu atau mertua. 
Ada beberapa kondisi yang disepakati hingga terpaksa bergabung dengan ortu atau mertua, sebaiknya ditentukan batas waktunya. Jangan kelamaan ntar keterusan, soalnya enak banget, dari segi irit mikir :) Yang juga harus diingat harus pintar-pintar membawa diri. Sekali waktu berperan sebagai anak (terutama kalau mertua lagi kasih nasehat atau sedang gak enak ati. Seorang anak khan gak boleh musuhan sama ortunya gara-gara ditegur/dimarahin. Konon juga sekarang mertua gak bisa marah-marah sama menantunya, ntar dilaporkan ke polisi, gimana ;) 
Terkadang berperan sebagai teman (teman ngobrol#terkecuali saling curhat, kalau mertua curhat boleh, dengerin aja tapi jangan ikutan curhat juga ntar mertuanya naik tekanan darahnya ketahuan khan habis dicurhatin menantu #gak berani ketemu ipar :(
Bisa berperan sebagai teman shopping atau teman travelling. Atau berperan sebagai menantu (terlibat aktif dalam acara-acara keluarga besar, luwes membawa diri dan membaur, menjaga citra dan nilai-nilai keluarga de-el-el)  
Ada apa dengan lima tahun kedua dalam perkawinan?
Lima tahun pertama adalah masa penyesuaian diri, baik antar pasangan maupun dalam keluarga besar. Dalam lima tahun kedua berbagai kasus sudah mulai muncul dan contoh soal sudah keluar previewnya menanti tahap evaluasi. Bila periode awal, masalah muncul dipicu masalah-masalah sepele, karena salah-paham atau kekurangan uang. Dalam periode lanjutan ini justru kasus muncul karena kelebihan uang atau berkaitan dengan status ekonomi yang mulai membaik. Ibarat pepatah, semakin tinggi pohonnya semakin kencang anginnya. Pohon tidak akan goyah oleh angin bila akarnya kuat. Sebenarnya masalah ini akarnya adalah pada perbedaan pola asuh. Bagaimana dua anak manusia yang berjanji sehidup semati  itu dibesarkan dalam keluarganya masing-masing. Nilai-nilai apa yang sudah ditanamkan sebelumnya, tentang uang dan turunannya (semua masalah yang bisa ditimbulkan oleh dan karena uang), tentang nilai keluarga (apa artinya ibu, ayah, kakak,adik, nenek, kakek, paman, bibi, saudara, de-el-el), tentang nilai kejujuran, kebijaksanaan, dan nilai-nilai baik lainnya (kalau nilai-nilai buruk yang terekam sudah otomatis diduplikasi)
Bila ekonomi keluarga mulai meningkat, siapa yang duluan terimbas? 
Mestinya keluargalah, termasuk didalamnya: ada istri, anak dan orangtua/mertua. Jadi gak salah kalau suami sukses, istri dan anak-anaknya langsung klinong-klinong 'berpendar'. Yang salah yang silau :) Nah benang merahnya disini. Arus pendek kdk, sering terjadi karena ketidakseimbangan cahaya yang berpendar.
Didalam perkawinan, hubungan keluarga bisa terdistraksi oleh kehadiran keluarga baru (baca: istri atau anak). 
Bagaimana bisa?
Bisa saja karena para suami itu seringnya malas mikir dan banyak hal yang diserahkan mentah-mentah ke istri. Jadi selain diserahin bahan masakan mentah, istri juga diserahin bahan bakar mentah (baca: uang). Sampe-sampe ada lho yang dompetnya juga diserahin ke istri ;) Siapa yang gak suka seperti ini, angkat tangan? Pasti pemirsa banyak yang gak angkat tangan :)
Pada dasarnya ini menyenangkan selain menyangkut kepercayaan penuh juga menyangkut citra sang istri: disayang suami, suami yang royal dan suami yang gak neko-neko. Gimana mau neko-neko jika gak ada modal dasar melamar ;) 
Pemirsa yang punya anak laki-laki jangan salahin istrinya (baca: menantu) kalau ntar anaknya punya kasus begini. Mengapa?
Laki-laki itu adalah Imam, istri adalah makmumnya. Sifat dasar makmum adalah mematuhi Imam. Nah kalau yang salah imamnya, jangan nunjuk maknum duluan dong. Ini namanya gak fair and 
lovely :) 
Seorang suami yang males mikir akhirnya terjebak melakukan pembiaran pada istrinya. Kalau istrinya cukup bijak  tidak akan berakhir dengan notice atau sp (surat peringatan). Kalau kebetulan istrinya agak telmi juga, khan bisa berujung somasi :(
Btw: diawal-awal pernikahan biasanya agak susah menjadi bijak bagi kedua belah pihak karenanya justru para orangtua dituntut untuk lebih bijak bila terjadi kdk.
Seorang suami yang melakukan pembiaran pada istrinya, artinya melakukan kesalahan awal yang fatal.  
Contoh soal: suami yang biasa memberikan semua uangnya dikelola istri, apakah tidak boleh? 
Boleh saja asal tahu juga resiko unpredictablenya. Misal nih orangtua sakit (gak pake sakit, ortu sudah seharusnya mendapat bagian dari kemakmuran anak-anaknya), saudara butuh bantuan, teman kena musibah de-el-el. Bagaimana harus bersikap? Siapa yang akan mentransfer uangnya, an siapa pengirimnya? Kalau kita nih jadi orangtua, ilfill gak kalau uang yang ditransfer bukan an anak kita? Gpp khan yang penting uangnya nyampe. Kalau punya mertua yang "gampang" begini, ya memang enak, tapi kalau mertuanya, orang banjar bilang, paharitan (jawa: sungkanan) bisa ngenes, ntar takut lagi ketemu ipar, part 2 :)
Sikap pembiaran imbasnya bisa berkaitan dengan hubungan intern atau ekstern. Bisa sih dikoreksi tetapi khan sudah terjadi gesekan yang tidak mengenakan.
Berkenaan contoh diatas, orangtua khan gak bisa  bisa ngomong: "Nak nanti kalau kamu sudah menikah, kalau kirim uang jangan tahu istrimu ya" Meski esensinya benar tapi bukan contoh yang tepat (bukan karena pamit dan tidak pamit, tidak tepat karena kalimat diatas mengandung "sianida" yaitu: sudah ada prejudice bahwa istri sang anak tidak bakal suka ada rencana kliring oleh keluarga. Sebenarnya belum tentu, bisa setuju bisa tidak. Daripada berprasangka, nambah dosa, better pake aja hak prerogatif suami #hak berbakti pada orangtuanya. Lebih baik untuk semuanya. Kalau anak kita anak sholeh, khan sudah ngerti sendiri cara menangani soal essay model begini.
Notice: beda ya bila yang melakukan anak perempuan yang sumber keuangan semata dari suaminya, semua tindakannya harus seijin suami.
Jadi inga-inga ya ibu-ibu, sebaiknya mempersiapkan setiap anak laki-lakinya atau anak perempuannya untuk menjadi imam/makmum sekaligus menjadi anak sholeh/sholehah bagi keduorangtuanya. 
Menjadi anak yang sholehah untuk orangtua banyak orang yang sudah mahfum (kalau bersikap baik pada orangtua, surga menanti dan sebaliknya, nerakanya menanti). Menjadi sholehah untuk suami meski sulit (karena merasa sama-sama setara dan sederajat saat proses pdkt atau taaruf tiba-tiba setelah akad nikah setara dan sederajad mempunyai makna yang beda) banyak orang yang juga sudah mahfum.
 The next question is bagaimana menjadi sholeh antar saudara?
Jawaban paling tepat adalah: fokus menjadi anak yang sholeh dulu.  Menjadi saudara yang sholeh berkaitan erat dengan ketaatan terhadap orangtua. 
Distraksi dalam perkawinan, imbasnya paling berasa dalam keluarga besar, terutama antar saudara kandung. 
Kenapa? 
Seperti yang sudah disebut diatas, kalau tidak berbakti pada orangtua atau suami, surga nerakanya sudah jelas tapi kalau dengan saudara kandung,eit... wait and see. 
Kita nih kalau ngasih wejangan ke anak-anak tentang "keakuran" , selalunya direpeat  seperti radio rusak, itu lagi-itu lagi. Sebagai orangtua, kita gak akan pernah bosan mengingatkan, walau anak-anak yang dengerin bosen.  Si sulung suka protes "Mama, cerita ini sudah yang ke xx..kalinya Sirin denger.." Untung selalu sama ceritanya...;) kalau gak dia bisa protes lagi :)
Si sulung dan si bungsu (punya anak cuman dua gelintir, tidak ada anak tengah :) bedanya delapan tahun tapi masih ada aja saling cemburu antar saudara. Masih lucu sih, masih ringan cemburunya masalah remeh-temeh tentang hadiah, oleh-oleh atau uang saku. Meski begitu, kita sebagaimana layaknya orangtua lainnya penuh kekhawatiran tentang segala hal yang akan terjadi dengan anak-anak ketika mereka menikah atau sepeninggal kita nanti. 
Salah satu nasehat yang selalu aku ingat dan selalu kurepeat order  adalah:
"Saudara kandungmu itu berada dalam rahim ibu yang sama. Dan jika kamu akan membahagiakan ibu, baik ketika dia hidup atau sudah meninggal adalah dengan cara saling menjaga antar saudara. Jangan yang satu berlebihan dan yang satunya kekurangan. Dan jika muncul perselisihan, selesaikanlah dengan cara yang baik. Ingatlah kakak atau adikmu sebagaimana kalian mengingat ibu"
"Saudara kandungmu itu berada dalam rahim yang sama" Kalimat ini mempunyai makna yang sangat dalam. Seorang ibu berjuang untuk melahirkan anak-anaknya dengan mempertaruhkan nyawa. Secanggih apapun tehnologi persalinan, pertaruhan nyawa tetap ada disetiap kelahiran. Karenanya bagi seorang ibu seorang anak mempunyai nilai yang sama. 
Beda perlakuan bukan karena berat sebelah tapi lebih karena keunikan masing-masing anak yang memerlukan sentuhan beda.  Atau didorong naluri keibuannya yang kuat sudah seharusnya seorang ibu berusaha melindungi/over protective/ lebih sayang (baca:perhatian) pada anaknya yang berbeda, misal: berkebutuhan/perlu perhatian khusus bukan sebaliknya anaknya yang tercantik/tampan atau yang paling sukses yang mendapat perhatian khusus. Biasanya seorang ibu tidak begitu. 
Dari contoh dan uraian diatas, kalau disingkat ada tiga point, yaitu: 
1) Ibu menyanyangi semua anak-anaknya. 
2) Ibu akan bersedih bila ada salah-satu dari anak-anaknya yang menderita atau hidup kekurangan. 
3) Yang mengkaitkan kita dengan saudara adalah rahim ibu yang sama.
Kesimpulannya: 
Kalau ingin menyenangkan ibu sebagai salah satu item menjadi anak sholeh adalah dengan saling menjaga antar saudara kandung.

Teori hanya bisa menjadi pedoman awal pada prakteknya ada banyak variasi kasus yang kadang memerlukan penafsiran beda atau bahkan bersebrangan dengan teorinya.
Contoh kasus:
Kisah dua bersaudara laki-laki. Yang satu hidup berkecukupan (kakak) dan sebagai tulang punggung keluarga (membantu ibunya dan saudara perempuannya, ayahnya sudah meninggal). 

Sementara saudara yang satunya hidup kekurangan dikarenakan akhlaknya yang kurang baik (suka berhutang, malas bekerja, dan kriminal). Setiap kali adiknya berbuat onar, kakaknya mendapat bagian membereskannya. Berulang-ulang begitu. Bertahun-tahun dilakukannya atas permintaan sang ibu. Sampai suatu saat ibunya meninggal dan dalam waktu yang hampir bersamaan adiknya membuat ulah yang mengharuskannya masuk penjara.
 Apa yang dilakukan sang kakak? 
Membebaskannya?

Tidak, dia malah meminta adiknya segera dimasukkan ke penjara.  Mengapa bisa begitu? Bukankah seharusnya sang kakak melakukan hal yang sama seperti saat masih ada mendiang ibunya?
Ketika orang mempertanyakannya, inilah jawaban sang kakak yang mengatakan bagaimana dia harus menahan diri untuk bersikap keras pada adiknya dikarenakan semata-mata tidak ingin membuat ibunya bersedih melihat anaknya tersayang   masuk penjara atau dalam kesulitan.  Dan ketika ibunya sudah tidak ada lagi, sang kakak punya cara sendiri untuk memberi pelajaran  pada adiknya agar adiknya kembali ke jalan yang benar dan menjadi anak yang sholeh (bukan pembiaran atau penelantaran, niatnya beda, hasilnya juga beda). Dengan tindakannya ini sang kakak, justru membantu ibunya menyelesaikan pr, menjadikan adiknya anak yang sholeh dengan caranya. Dan alhamdulillah terbukti, adiknya sekeluar dari penjara berubah menjadi lebih baik.
Ada banyak varian kasus lainnya yang penyelesaiannya tidak bisa mengacu pada teori baku. Kalau mengalami hal ini, pakilah nasehat bijak, diselesaikan dengan cara yang baik. 

Pelajaran yang kedua:
Perbaikan ekonomi dalam keluarga harusnya menjadi sesuatu yang disyukuri bukannya malah menjadi fitnah. Ada yang merasa sesak napas karena gak kebagian sinaran, akibatnya timbul kdk dari keluarga besar yang menganggap, istri adalah pengendali keuangan suami.  
Catatan:Berbaik-baiklah dengan mertua, ipar atau paman atau tante dll karena mereka bisa menjadi supporter dalam kebaikan atau keburukan yang sedang terjadi. 
Kalau suami/istri akan membantu saudaranya, biarkan saja jangan dihalangi. Membantu ngasih masukan boleh tapi bukan yang menentukan. Biarkan keputusan ada ditangan suami/istri itu sendiri. Ikatan mereka lebih kuat, mereka satu rahim, tidak bisa ditalak dan tak punya surat cerai.  Keluhan yang sering terdengar (belum tentu lebih banyak terjadi) seorang suami yang ringan tangan membantu keluarga besar istri sementara sang suami "berat sebelah" terhadap keluarga besarnya.  
Mengapa bisa begitu?  
"Wanita dijajah pria sejak dulu. Dijadikan perhiasan sangkar madu. Namun ada kala pria tak berdaya. Tekuk lutut di sudut kerling wanita"  
Itulah penggalan syair lagu sabda alam yang dipopulerkan kembali oleh Yuni Shara.  
Untuk mengantisipasi distraksi dalam hubungan antar saudara kandung, kita sebagai orangtua punya kiat khusus (terutama bagai orangtua yang punya anak perempuan). Yang utama adalah pembekalan. Ilmu memegang peranan lebih penting daripada materi. Kalau materi (perlu juga dibekali jika memang ada) bila tak pandai mengolah juga akan habis berjalan dengan waktu. 
Dengan ilmu, otomatis materi akan datang sendiri. Itulah yang coba kita tanamkan pada anak-anak. Pemahaman ini direspon dengan baik oleh si bungsu. 
Ada cerita kecil berkenaan dengan topik pembekalan:   
Disekolah si bungsu coba-coba berjualan makanan hasil olahannya bersama teman atau menjualkan makanan ringan, kulakan dari sepupunya. Merepotkan sih karena si ibu harus siap dengan uang receh untuk pengembaliannya.  Belum lagi si ibu harus berdoa keras semoga dagangan si anak laku semua hari itu. Jadi deg-degan juga kalau menunggu si bungsu, pulang sekolah. Ibunya stress...
Si ayah hanya bilang, laku atau tidak laku itu bukan esensinya. Yang terpenting jiwa wirausahanya yang harus dikembangkan. Toh dagangannya laku atau tidak tetap ada yang bisa diambil pelajaran. Alhamdulillah doa si ibu terkabul, dagangan selalu sold out :)
Lain bakat si bungsu lain juga dengan si sulung. Kalau si sulung bakatnya ditarik suara. Bukan menyanyi bukan...tapi cuap-cuap memberi materi atau presentasi. Wah kalau yang ini sudah kelihatan sedari kecil, semua ditanyakan dan didebat :) 
Itulah sebabnya si ibu memberi keleluasaan si sulung eksis dengan bakatnya.
Dari contoh cerita yang panjang lebar diatas, mengisyaratkan pentingnya membekali anak perempuan baik materi atau ilmu terutama sebelum mereka menikah. 
Bila anak perempuan kita sudah menikah, imam dan surganya sudah berpindah. Kekuatan kita hanyalah doa. Doa yang tak putus untuk kebahagian mereka membentuk keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah. Seseorang bisa pada awalnya baik dan berakhir tidak baik atau begitu sebaliknya. Karenanya kita selalu berdoa tetap dalam nikmat iman, Islam dan kesehatan. 
Semua orangtua punya cara tersendiri mendidik anak dalam usahanya menjadikan mereka menjadi anak baik/sholeh. Kita, salah satunya ingin menjadikan anak-anak sholehah pada orangtua, suami dan saudara kandungnya.
Seorang laki-laki  sehebat apapun dia jika berpikiran sempit,  hanya mementingkan diri dan kelnya,  dia tidak akan pernah bisa masuk kerumah kami dengan sambutan sebagai calon menantu, kalau tamu biasa bisalah :)
Pelajaran yang ketiga:
Pelajaran kesatu dan kedua, berhubungan erat dengan faktor eksternal. Pelajaran ketiga ini bisa dibilang menyangkut internal partai, cara mendidik Anak :)  
Point penting dalam berkeluarga adalah mendidik anak. Perbedaan cara dalam mendidik anak antar orangtua atau kel besar bisa menyebabkan kdk dalam perkawinan.
Saat anak masih kecil umumnya menjadi area ibu untuk mendidik dan menjaganya. Saat anak beranjak remaja, banyak permasalahan sehubungan dengan cara mendidik anak, terutama karena kondisi remaja yang labil juga karena sang ayah mulai turun tangan.
Menurut teori psikologi, orangtua harus kompak dalam mendidik anak atau dengan kata lain konsisten. 
Kalau ayah sudah bilang jangan, si ibu seharusnya ikut mendukung. Begitu juga sebaliknya sehingga anak tidak melihat ada celah yang bisa dimanfaatkan yang pada akhirnya bisa menimbulkan pertengkaran diantara ayah dan ibu. 
Teori memang dibuat untuk kondisi sempurna. Pada prakteknya susah mendapatkan kondisi sempurna dengan grade A, ya kurang-kurang dikit gpplah, A- atau B+. 
Salah satu point yang bisa membuat grade anjlok adalah jika sampai terjadi kondisi si ibu tahu segalanya tentang anak sementara si ayah tidak (ada faktor invisible yang ditutup oleh ibu, biasanya memang bagian penutup adalah ibu, mungkin karena secara naluri ibu memang siap melindungi  anak-anaknya). Nah faktor-faktor invisible inilah yang nantinya dapat menjadi katalisator atau muncul sebagai bom waktu. 
Contoh kasus:
Anak melakukan pelanggaran atau kesalahan cukup berat, misal: kecelakaan (menabrak atau ditabrak), berkelahi dengan temannya (biasanya anak laki-laki), prestasi menurun, tidak mau memakai jilbab atau berbaju ketat saat keluar rumah, backstreet-boys dengan calon yang berbeda keyakinan. dll. 
Bagaimana kita bersikap?  
Sebaiknya cukup ibu yang tahu atau ayah juga harus tahu?
Aku memilih ayah juga harus tahu (didelay hanya untuk mencari waktu yang pas untuk bicara, paling sehari-dua hari). Apa yang terjadi pada anak-anak, orangtua harus tahu, tidak ada yang harus ditutup karena khawatir ayah marah atau ibu marah. Pemahaman seperti ini harus ditransformasikan ke anak sedini mungkin. Percayalah, yang begini, lebih banyak manfaatnya dibanding mudharatnya.
Permasalahan anak-anak kalau dirating bisa menempati posisi teratas dalam konflik rumah-tangga. Sebelum terlambat, bicarakan dan sepakatilah bagaimana cara mendidik anak. Apa landasan utamanya?  
Kalau sepakat memakai landasan agama, maka terkadang kita harus bersikap otoriter, tidak bisa selalu demokratis. Kalau pake landasan  demokratis, maka kita harus berbesar hati jika suatu saat anak-anak memilih jalannya sendiri (terutama menyangkut masalah keimanan). 
Bukankah kita tidak mau sampai terjadi ironi, anaknya menikah, orangtuanya malah bercerai. Mudah-mudahan dijauhkan dari hal-hal yang demikian.
Sedikit catatan:
Orangtua yang sempurna hanya ada di text book, semua orang tua punya kekurangan begitu juga dengan anak-anaknya (sambil menulis ini aku berusaha menyakinkan diri bahwa kalimat ini  memang benar adanya soalnya aku memang gampang terintimidasi oleh "gambaran ibu yang sempurna"). 
Inget gak, pada tulisan terdahulu contoh kasus telp bergaya mukidi, pengin nitipkan bayi sebulan di rumah sakit :(
Kita (terutama, aku si ibu) juga contoh sempurna kegagalan bersikap konsisten pada anak. Tapi alhamdulillah, anak-anak tahu si ibu tidak pernah bisa diajak berkongsi menyembunyikan sesuatu dari sang ayah. 
Btw: untuk menekan rasa bersalah atas ketidaksempurnaaku maka aku cukup menyakinkan diri bahwa kelak mereka akan tahu bila semua itu terjadi karena rasa sayang seorang ibu yang tidak biasa :)   
Apa pelajaran keempat?
Upgrade your personality.
Saat menikah, anggap posisi personality kita ngepass banget di angka enam (untuk perumpamaan saja didiskripsikan sebagai angka). Seiring berjalannya waktu (baca: umur dan pengalaman) upgradelah kelevel yang lebih tinggi.  
Dalam hubungan suami/istri yang paling diutamakan adalah keterbukaan /kejujuran dalam segala hal: keuangan, perbuatan, ucapan dll.
Ada banyak contoh kasus masalah keuangan yang kerap menimbulkan konflik. Misalnya: Suami merasa si istri terlalu boros. Suami merasa istrinya tidak jujur sehubungan dengan caranya mengelola keuangan. Atau dari segi istri merasa suami yang rada pelit, tandanya gak mau kasih cash tapi selalu reimbes. Atau istri merasa suami tidak adil kalau belanja keluarga penuh limitasi tapi kalau ngasih kekeluarga besarnya no limit de-el-el. Jujur dalam masalah keuangan hukumnya mutlak, tak ada komanya. Seseorang baru dikatakan baik jika rating kelulusannya dalam uji kejujuran tentang uang, nilainya A. 
Sebagai catatan: pengalaman teman-teman yang bekerja sangat jarang merequest sesuatu pada suami. Kalau mereka pengin, mereka tak segan mengeluarkan uang pribadi, katanya risih mau minta-minta ke suami. He..he...enak bener ya suaminya, mimpinya cuman diganggu nyamuk aj, gak ada request istri yang bikin insomnia ;) 
Btw: meski kita  ibu RT, jangan segan-segan juga untuk mengeluarkan uang pribadi (tabungan) untuk membantu suami disaat yang tepat. Sebaliknya kalau sering-sering minta ganti # rugi, mereka pusing juga lho.  Coba aj buktikan :) 
Upgrade personality bisa juga dalam soal religi, misal: Kalau melihat suami sudah wira-wiri sholat lima waktu ke masjid atau istri pake jilbab syar'i maka sebaiknya pasangannya segera menyesuaikan diri. Idealnya imam duluan tapi untuk mempertebal keimanan siapapun bisa duluan.
Jangan sampai nih, si bapak ada niatan untuk ijab-qobul kali kedua dengan dalih pengin membentuk keluarga yang samara karena merasa keluarganya sekarang tidak sakinah :( 
Atau si ibu sudah anggun berjilbab syar'i, si ayah masih bergaya coolboy :(
Pelajaran kelima, 
keenam dan ...
Monggo pemirsa bisa menambahkan sendiri, tulisan diatas hanya GBHNnya saja.  
Semoga tulisan ini bisa membantu terutama bagi pasangan-pasangan muda yang akan/sedang membina rumah-tangga. Semua dari kita masih belajar menuju rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Insyaallah...Amin YRA

See you in the next post :)