11 May 2017

Rekam Peristiwa...

Hiii, Iam back...:)
Setelah hampir enam bulan atau sama dengan setengah tahun (uft...lamanya) menganggurkan blog, akhirnya mulai sadar menulis adalah salah-satu terapi mengobati diri sendiri. Ya paling tidak daripada menggerutu atau mengomel gak jelas pada siapa mending membagikan sesuatu yang bermanfaatlah. Merasa berguna, adalah terapi bahagia yang paling sederhana :)
Sebenarnya pengin pake alasan sibuk sebagai full housewife atau sibuk diundang jadi pembicara atau sibuk mengurusi bisnis property atau sibuk sebagai pengusaha cafe.Keren khan...! Ternyata alasannya cuman sepele aja karena: kesel gaptek bener masalah internet dan social media (ngerti khan kenapa tulisan-tulisan diblog ini sepertinya gak diedit langsung dipost apa adanya. Padahal sudah diedit tapi gak berhasil merepair malah kelihatan kacau...#angkat tangan #tembak ditempat alias ngambek. Duh...sebegitu keselnya sampe mogok gak nulis setengah tahun :(
Bukannya tanpa usaha untuk menanggulangi kelemahan satu ini yang sangat mengganggu, mulai diajari adik, kakak, sepupu, teman sampai belajar sendiri, tetap aja masih gaptek (paling berubah dikit). Langkah terakhir, daftar kursus private (rela lho diketawain temen) e...koq nyusun jadwal kapan kursus dimulai kebentur ma jadwal shooting (baca: gangguan) yang padat merayap. Mulai dari gangguan belum pasang Wifi, speedy on-off, sampe gangguan kondangan manten (bukan seminar) yang gak berhenti. Alhasil sampe sekarang, basic internet skillsnya pas-pasan banget :( :( :(

Saking banyaknya yang mau dipindahkan ke dalam tulisan sampe bingung mau nulis yang mana dulu. Yang pertama, nulis masalah ringan-ringan dulu deh. 
1) Bahagia itu sederhana...Bahagia itu tidak berlebihan. Apakah sama artinya? Artinya bisa sama bisa juga beda. Sama dalam arti sederhana dapat diartikan sama dengan tidak berlebihan. Tapi bisa juga beda artinya jika bahagia itu sederhana bisa diartikan perasaan bahagia itu bisa muncul dari hal-hal yang sederhana, misal: sarapan berasa nikmat (baca: bahagia) hanya dengan lauk  tempe penyet dan sambal pencit. Untuk arti bahagia itu tidak berlebihan, pas sekiranya dicontohkan dalam kalimat berikut. Saya merasa bahagia ketika membeli tas seharga rp: 300.000 dan bukannya seharga rp: 3 jt. Hehe...Karena bukan ahli bahasa indonesia, terjemahannya personal sekali ya.
Ceritanya sampe pada kesimpulan ini ada kisah tersendiri. Ketika dirumah masih ada tiga asisten, rumah aman-terkendali, masuk kualifikasi A. Ditambah lagi, salah satunya pinter sekali masak (masih inget dengan Husna?) Punya asisten yang pinter masak menyebabkan akunya jadi males ke dapur. Meski Husna tidak pernah  kuajari masak tapi ternyata diam-diam dia selalu memerhatikan ketika aku masak. Hanya dengan sekali lihat  si Husna ini sudah bisa menyontoh dengan taste mendekati. Akibatnya, anak yang suka protes (suami sih malah abstain-abstain saja :) Rupanya protes anak and abstainnya suami, tanpa  kusadari menyublim menjadi guilty feeling. Perasaan ini menjadi jelas ketika, si Husna mengundurkan diri bersama suami yang sudah siap menjemput. Sempat sih kelimpungan, mau kemana-mana ketahan harus masak dulu...Nano-nano  rasanya ditinggal si Husna, kesel kenapa pembantu yang dua lainnya gak mau belajar masak dari Husna. Kenapa sepertinya aku, belain si Maya ketika bertengkar ma Husna, kenapa gak nahan Husna dll...
Gak tega  ngasih anak bekal nuget terus atau ngasih makananan orderan dari resto meski kesukaannya maka mau gak mau turun lagi ke basic training. Memasak, bersih-bersih  dan menata rumah. Hasil berbanding lurus dengan jerih payah. Ketika melihat anak makan dengan lahap udang kesukaannya atau suami tanduk dua kali makannya, nah...disitu aku merasa bahagia :)
Satu lagi contoh ketika hunting sopir yang menginap. Oh...ampun susahnya bikin mati kutu. Sudah dimasukin surat kabar segala yang melamar cuman tiga orang dan tiga-tiganya tidak memenuhi kriteria. Akhirnya dengan sedikit perubahan, dibuatlah iklan lowongan pekerjan driver tanpa ditulis harus menginap. Hasilnya....OMG...diluar perkiraan, sampe sedih bacanya. Gimana tidak, ada yang melamar pake bahasa inggris, ada yang diketik computer rapi, sistematis, complete seperti melamar pekerjaan kantoran. Yang paling bikin sedih, yang diminta hanya lulusan smp atau sma, yang datang rata-rata kuliah, jurusan psikologi, tehnik informatika, ekonomi dll...Padahal jelas-jelas tertulis dibutuhkan sopir pribadi.
Berbekal pengalaman sebelumnya mencari sopir yang pas, saat dilakukan wawancara dan test drive, intuisiku semakin peka, mana yang kira-kira serius kerja. Bukankah semua serius ingin kerja? Eit..tunggu dulu, ternyata meski ada tambahan kalimat cantik: bersedia bekerja lembur, bersedia bekerja keras, bersedia bekerja sesegera mungkin Atau kalimat menghiba, seperi: tlg pak/bu, saya sangat membutuhkan pekerjaan ini, dll...Ternyata-oh ternyata....Itu hanya kalimat fiktif, ketika sesi wawancara (belum masuk ke ranah gaji) kelihatan sekali mereka tidak punya etos kerja seperti yang dituliskan. Ada yang masih terikat kerja, ada yang tidak bisa kalau nyetir ke luar kota, ada yang tidak bersedia bekerja lembur, dll...(Mestinya kalau butuh pekerjaan gak ada excuse ya...tapi ya begitulah...)
Selain pelamar melebihi dari tingkat pendidikan yang disyaratkan juga banyak pelamar mantan sopir taxi. Kalau dari taxi bluebird, keren deh penampilan dan aturan sopan-santunnya, sudah tinggal pakai saja. Setelah melalui proses seleksi akhir, terpilihlah sopir yang cvnya biasa saja sesuai standart. Yang bikin terpilih karena dia bersedia memenuhi syarat tambahan yang aku ajukan, bersedia bekerja lembur, tentunya dengan tambahan gaji). Sebenarnya syarat tambahan yang aku ajukan adalah hasil negosiasi dengan diri sendiri (baca: perenungan) kenapa sih butuh sopir yang standby 24 jam padahal sehari-harinya dipakenya menthok sampe jam 5 sore aja. Paling sekali-sekali keluar kota, sekali-sekali ada keperluan keluar malam, sekali-sekali ada family dari jauh yang menginap dan minta dianter-anter keliling-keliling. Come on, make it easy...Khan sekarang lebih mudah, ada uber, ada gojek dll...
Duh, bersyukur sekali ada penemuan uber, gojek, grab, sangat membantu mempermudah hidup. Bahagia itu tidak berlebihan...:) Btw: dalam rangka bahagia itu tidak berlebihan, kutemukan juga satu frase kalimat majemuk setara. Meski pendapatan bertambah,  terasa lebih nikmat jika list kebutuhan tidak ikutan bertambah...Ha..Ha...Ya iyalah, anak Sd juga tahu ;)
2)  Anak-anak sekarang jauh lebih pintar... 
Biasanya aku jarang sekali menemai anak belajar. Bukannya tidak mau tapi memang jarang diminta. Seingatku, aku berhenti membuat soal-soal try out sejak mulai hamil anak kedua, saat anak pertamaku, Sirin duduk di kelas 3 SD, begitu juga dengan Rana. Wah...sudah lama sekali ya...Alhamdulillah, anak-anak mandiri dalam hal belajar dan tugas-tugas sekolah (supportku lebih kearah, doa yang kupanjatkan setiap shalat, membangunkan mereka shalat tahajud dan menjaga kesehatannya dengan menyediakan makanan kesukaan dan menyediakan vitamin)
Saat membaca status teman-teman yang pada heboh soal unas atau unbk, akupun terdorong untuk menemani si bungsu Rana, menyambut unas SMPnya. 
Mengintip soal-soal unas terdahulu.

Sebenarnya si bungsu Rana, lebih banyak berdiskusi dengan ayahnya dalam belajar khususnya matematika dan IPA. Aku sih cuman denger-denger aj celotehan mereka. 
 serius didepan komputer
 serius but nyantai
 ketahuan belajar tulang-belulang ;)
Ketika aku setengah-hati protes, "Mama koq gak pernah ditanya-tanya nih, dulu mm ranking satu lho waktu SMA"
E...begitu ditunjukin contoh-contoh soalnya..., diam seribu bahasa.  Gak mau kelihatan nyerah, aku asal saja bicara, 
"Coba mm mau lihat soal bahasa indonesia". Lihat sebentar, angkat alis...pass...
"Coba lihat soal bahasa inggris", pening kepala...pass...
"Coba lihat soal matematika", baru baca sebentar sudah mati kutu...pass ...Rana langsung ketawa cekikan...
OMG... ini yang pinter team yang buat soal atau murid-muridnya ya? 
Bener deh susahnya kebangetan. Bedaaaa bagai langit dan bumi ma jamanku sekolah dulu. Kalau ulangan bahasa indonesia, PMP, agama hampir dipastikan belajarnya lumayan nyantai. Untuk matematika dan yang lain memang belajarnya setengah mati-matian. Khusus bahasa inggris, soal-soalnya hanya berkisar tenses dan vacobulary...udah segitu aja. Saat nemenin Rana belajar kemarin, aku baru nyadar, hebatnya Indonesiaku. Pinter-pinter...baik yang senior, pembuat soal-soal unas begitu juga yang junior yang jawab.  
3) Orang yang shaleh, jujur dalam bisnis akan mendapat rezki yang berkah.
Kebiasaan suami kalau pulang shalat dari masjid selalu menenteng sesuatu, entah makanan, alat pijat, senter atau apa saja yang ditemui disepanjang jalan menuju atau dari masjid. Nah suatu ketika suami pulang dengan membawa dua senter. 
"Tahu gak berapa harga dua senter ini?" Kalau ada pertanyaan begini, hampir dapat dipastikan pasti dapetnya murah. Tapi supaya  seru, aku menaksir dengan harga yang tinggi. Lalu katanya:
"Dua ini aslinya cuman rp: 50 rb lho"
"Oh ya ? Murah sekali..." ;) Tapi koq aslinya, memangnya ada sesuatu?
Suami berkisah kalau tadi, senter dua ditawarkan dengan harga 100 rb. Kemudian setelah terbeli, si penjual mengembalikan uang rp 50 rb karena katanya keuntungannya berlebihan. Lalu ganti suami yang mengembalikan lagi uang rp: 50 ribu pada si penjual karena menurutnya dia sudah rela membeli dua senter itu dengan harga rp:100 rb.
Aku mangut-mangut, terkesan sekali. Ternyata ada ya orang yang menolak mendapat keuntungan terlalu banyak. Terbukti dia malah mendapat keuntungan yang sepadan dengan kejujurannya. Rizkinya langsung datang dari Allah, kebetulan saja suami yang jadi alat penghantarnya.
4) Meletakkan sesuatu pada tempat yang tepat.
Hampir sama dengan rekam peristiwa no:1, bahagia itu tidak berlebihan hanya beda kasus. Saat mengantarkan bibik yang sudah kerja selama 30 tahun untuk foto MRI disebuah RS (terdiagnosa ada batu di ginjal), aku ketemu dengan teman suami. Kebetulan dia sedang ada waktu jadi kita ngobrol sebentar.  Biasalah obrolan emak-emak dan bapak-bapak, topik tidak jauh seputar anak dan keluarga. Pertanyaan yang saling terlontar,
"Apakah sudah mantu atau masih persiapan mantu?"
 Hmm... 
Kami terlibat obrolan seru seputar persiapan mantu kelak (padahal dua-duanya, masih belum punya calon mantu, jadi pembicarannya masih seputar wacana ;)  
Sepertinya idenya menarik, aku menyimak penjelasannya. Ternyata, si bapak ini sudah mendeklarasikan pada anak perempuannya bahwa menikah itu cukup akad nikah saja. Resepsi hanya mengundang keluarga dekat yang berasal dari satu kakek saja. 
"Jadi teman-teman sejawat tidak diundang?" Saking tertariknya sampai gak nyadar kalau memotong pembicaraan.
"Tidak...nanti kita hanya kirimkan pemberitahuan saja. Atau kita kirimkan souvenirnya. Khan yang penting doanya "
Pendekatan ini mendasarkan pada pemikiran untuk tidak berlebihan karena esensi dari pernikahan adalah akad nikah bukan resepsinya. Bahagia saat mantu itu karena kita sudah mendapatkan imam dunia-akhirat untuk anak perempuan kita. Bahagia untuk disyukuri  bukan bahagia untuk di wujudkan dengan pesta mewah. 
Wah... Betul juga ya.
Hmm...ide baru, bisa dicoba untuk mulai disosialisasikan di keluarga nih.
Selama ini yang sudah aku sosialisasikan keanak sulung adalah tidak boleh pacaran-pacaran gak jelas, yang boleh taaruf. Itu juga dengan syarat-syarat 1,2,3...(diantaranya yang paling utama: tidak boleh berduaan) Yang kedua, tidak pernah ada kamus foto prewedding berdua. 
"Lho Ma, khan cuman foto aja.." protes sisulung
"Kalau seperti ini boleh..."
Foto prewedding jadul ;)
"Foto sendiri-sendiri aja ntar ditempel berdekatan. Kalau mau foto berdua, ya harus postwedding..." kataku tegas
Aku memang gak pernah setuju dengan foto prewedding dan juga pesta mewah (pesta dengan undangan mencapai 1000 orang) untuk resepsi pernikahan. Kenapa? 
Menurutku yang paling berhak ditampilkan dalam foto prewed adalah: foto cinta pertamanya, foto keterdekatan anak perempuan dengan ayahnya, lebih menyentuh.
Setiap menyaksikan akad nikah, rasanya sekujur tubuh mendadak jadi panas-dingin, bawaannya pengin nangis saja sampe malu kalau kepergok kerabat yang duduk disebelah kiri dan kanan. Kenapa?
Gimana gak pengin nangis, pada saat akad itu kita menyerahkan anak perempuan (yang kita pertaruhkan nyawa waktu melahirkannya, yang kita sayangi dengan segenap hati, yang kita jaga perasaannya, badannya dan segenap jiwanya) pada seseorang yang baru saja dikenalnya atau yang kita kenal. Surga dan nerakanya sudah berpindah ketangan laki-laki yang telah menjadi imamnya itu. Subhanallah...
Aku masih ingat ketika abi berusaha menguji keteguhan hati saat keluarga suami berniat meminang. Abi melakukan serangkaian tanya-jawab yang alhamdulillah dapat kujawab dengan lancar dan tegas. Kemudian kuingat, abi berkata, "Subhanallah... Inshaallah jodoh dunia-akhirat". 
Katanya menjelaskan, aku kenal calon suami baru beberapa bulan saja tapi sudah membela mati-matian...;)
Dengan banyaknya contoh di kehidupan yang nyata yang bisa dengan mudah terakses dari sos-med,  pikiran was-was sering menyergap. Bagaimana kalau anak kita mendapat suami/kita mendapat mantu yang salah? Baru nikah sehari/sebulan/setahun/ dah bubar...
Nah disinilah, aku sependapat dengan teman suami diatas, untuk meletakkan sesuatu ditempat yang tepat. Belum-belum sudah berpesta wah...padahal belum teruji. Nanti waktu dan doa yang akan membuktikannya. 
Semoga semua yang mengucapkan  akad nikah menjadi keluarga yang sakinah mawaddah warahmah. Amin Ya Robbal Alamin.   
Ketika sosialisasi pertama aku bicarakan dengan mama, apa reaksinya?
Mama bilang, ntar dipikir orang pelit lho kalau cuman ngundang orang segelintir. Haha...Tantangan pertama sudah ditemui.
5)Pengin masuk ke lorong waktu 
Ada dua alasan yang mendorongku berkhayal tentang lorong waktu. Yang pertama, berkenaan dengan keinginan menjadi ibu yang lebih baik terutama bagi si sulung tersayang, Sirin. Seperti yang sudah kutulis sebelumnya, nih anak overload dalam mengelola keuangan. Kalau aku masuk lorong waktu, pengin tahu apa sih peristiwa/pola asuh atau sikap yang salah yang menjadi pencetusnya. Ntar kalau sudah tahu, aku akan merubah sikapku. Waktu suami tahu hal ini, dia cuman ketawa aj dan bilang, mestinya yang masuk lorong waktu bukan aku tapi Sirin (ceritanya, dua-duanya saling berkhayal bahwa lorong waktu itu ada ;)
Btw: Lho koq bisa sih? 
Iya karena kalau aku yang masuk ya tetep aja gak bakalan ngerubah dan gak ada yang berubah. Gitu katanya. Aku pikir-pikir lagi bener juga perkataannya. Kesimpulannya: Sirin harus bisa merubah dirinya sendiri, mulai bersikap dewasa dan bertanggung-jawab penuh akan kehidupannya kelak. Karenanya , dia perlu dikasih lagi satu senjata dari tiga senjata kehidupan, selain iman dan kasih-sayang juga kepercayaan.Tapi...
"Ma, boleh gak Sirin exchange sebelum kelulusan"?
"Ha...Lagi...?!" Speechless...Termenung, apakah ini termasuk range kepercayaan atau...? (geleng-geleng kepala... )
Selain masalah intern partai, pengin masuk lorong waktu ketika membaca kisah tepatnya berita: si A bunuh diri karena...si B bunuh diri karena...
Duh...pengin nangis rasanya. 
Siapapun pelakunya, apakah  remaja atau  orang dewasa yang sudah berkeluarga tidak seharusnya mereka memilih jalan pulang menghadap sang Khaliq dengan cara kembali yang paling buruk. Bagaimana perasaan orangtuanya, bagaimana perasaan anak/suami/istrinya? 
Meski begitu, menurutku kita tidak bisa  menghakimi mereka dengan label bunuh diri karena kita tidak pernah tahu, saat-saat terakhir kehidupan seseorang. Mungkin saja, iman yang tersisa menyelamatkan mereka. Hanya saja kesadaran yang tiba-tiba itu tidak bisa merubah kondisi yang sudah sangat terlambat. Penampakannya mereka bunuh diri namun sebenarnya...  Wallahu A'lam Bishawab. Insyaallah kita semua meninggal dalam keadaan khusnul khotimah, termasuk juga mereka yang sudah dilabeli mati bunuh diri. Amin YRA.
Ada kisah, contoh dari keluarga sendiri. Seorang kel bernama A, dikhabarkan bunuh diri melompat kelaut (kalau tidak salah, dia sedang dalam perjalanan dari banjarmasin ke surabaya). Saat dia melompat, waktunya diatas magrib, pertolongan yang dapat dilakukan juga sangat terbatas. Maka dikhabarkanlah  pada keluarga bahwa, si A bunuh diri. Hebohlah berita ini diseantero keluarga. Subhanallah... Dua hari kemudian si A muncul dirumahnya. Padahal kel si A sudah melakukan shalat gaib karena menganggapnya sudah meninggal (berenang ditengah laut yang luas seperti itu dikegelapan malam lagi, hanya Allah yang menjaganya). 
Ketika ditanya, kenapa dia melompat kelaut, jawabannya juga tidak bisa dipertanggung jawabkan (si A, punya riwayat skizophrenia, mungkin pada saat dia melompat, ada bisikan yang menyuruhnya melompat, entahlah...ajal belum sampai padanya, sampai sekarang dia hidup sehat-walafiat bersama istri dan anak-anaknya). Nah, pasti penumpang yang lain yang tidak mengetahui riwayat si A, akan menceritakan kisah ini dengan versinya, yang intinya si A bunuh diri dengan terjun kelaut.

Orang yang kehilangan harapan dan memilih mengakhiri hidup,   alasan terbanyak yang jadi pemicunya adalah: depresi.
Tidak semua orang bisa melihat jalan keluar dari sebuah persoalan dan tidak semua orang juga tanggap akan persoalan orang lain. Bila anda membutuhkan pertolongan, say HELP...
Alangkah baiknya kalau ada layanan hotline pencegahan bunuh diri (apa sudah ada ya cuman akunya yang gak tahu). 
Bila anda atau seseorang yang anda tahu, punya persoalan yang membuat anda/dia hopeless, dengan segenap hati, saya bersedia membantu. Silahkan dm saya di facebook villa dleyla atau Ig laylafachirthalib. Saya bukan psikolog terkenal atau milyuner yang dapat membantu anda dengan kekuatan uang tapi saya hanya ibu rumah-tangga biasa yang sangat peduli dengan hidup sesama. 
Bersambung...