05 January 2012

Yang (tak) Tergantikan...


WindaAdakah sebuah dunia baru tanpa ada tangis duka? Hanya ada gelak tawa dan senyum kebahagian. Hanya ada peri dan bidadari? Dapatkah kau membawaku kesana? Aku adalah mempelaimu. Kita akan bersanding lagi meretas kasih yang tak selesai. Aku akan meminta matahari menunjukkan arahnya, purnama menerangi jalanku dan pelangi menjemputku. Akan kuukir namamu diatas awan dan kuperlihatkan pada dunia betapa besar cintaku padamu.
-------------------------------------
Tanganku menengadah keatas, ingin menjangkau langit dan mengetuk pintuNya. Katakan, doa yang bagaimana lagi yang harus kurangkai, tentang sebuah keluarga bahagia dengan anak-anak yang lucu, berlari melesak kesana-kemari? Semua doa-doa baik sudah kupanjatkan. Mengapa tak ada satupun yang terjawab?
Kenapa aku yang Kau pilih?
Ada berjuta-juta makhluk di dunia ini kenapa Engkau memilihku untuk menanggung beban yang tak kuat kusandang?
----------------------------------------
Aku bergidik menyadari betapa banyak orang yang kukenal dan tidak kukenal memenuhi seisi rumah. Tatapan mata itu sungguh aku tak menyukainya. Sangat kasar sekali jika aku mengatakan membencinya. Tapi itulah yang kurasakan. Aku benci sekali tatapan mata mereka yang diarahkan padaku. Aku tak butuh belas kasihan. Aku tak butuh apapun.
Sekarang aku hanya ingin tidur dan tak ingin membuka mata. Biarkan senandung mimpi membungkus rasa sedihku. Apa kalian tak ingin pulang?
Aku lelah..
“Berhentilah berduka Win, Gi tak akan suka melihatmu luluh lantak begini”.
Kalimat simpati yang terus didengungkan bagai tumpahan air dari ketinggian.Mereka sungguh baik hati berniat menghiburku. Tapi bisakah mereka mengatakan itu jika semua kesedihan ini menimpanya? Aku ingin berteriak…memaki…melolong…tapi yang bisa kulakukan hanya menelungkupkan wajahku lebih dalam kebawah bantal.
Diluar sana, kehidupan terus bergerak. Matahari masih menjalankan tugasnya terbit dan terbenam, kemacetan masih berlangsung di jalan-jalan, antrian orang mengular di bank. Hanya aku yang diam, membeku dikamar, membiarkan kelima indraku mati rasa. Ingin rasanya membunuh waktu, mencengkeramnya erat untuk menghentikan detakannya atau mungkin memaksanya berputar lebih cepat dari yang seharusnya. Diriku seolah sebuah titik yang terjebak dalam sebuah kumparan. Hanya waktu yang mampu menghentikan kedukaan ini, waktu jugalah yang dapat membunuhku.
------------------------------------------
Dia datang lagi…lagi dan lagi. Setiap minggu, di waktu yang sama. Sade, kegetiran masa lalu melekat di sosoknya. Mestinya aku mengusirnya atau lebih sopan menyuruhnya pergi tapi aku membukakan pintu dan menyuruhnya duduk di ruang tamuku yang nyaman.
Kenapa dia datang?
“Aku siap membantu apa saja. Kamu bisa mengandalkanku” katanya dengan penekanan pada kata apa saja. Kelak, kalimat ini selalu diulang-ulangnya tiap kali dia datang, diikuti dengan sebuah amplop putih tipis yang digelungkan kehadapanku.

Sebetulnya aku ingin sekali menghardik dan menampar kesombongannya. Tapi, selalu saja kegamangan menyergapku. Semua kata yang berada diujung lidahku tertelan kembali. Akhirnya kupaksa mulutku bersuara.
“Kamu tidak perlu melakukan ini. Aku tidak kekurangan apapun. Simpanlah untuk keluargamu”.
Kutelusuri wajahnya, laki-laki ini berusaha menyakinkanku bahwa dia adalah sebuah pelukan, dada yang bidang dan tangan yang kokoh untukku. Seakan dia dapat membaca diriku. Kupalingkan wajah berusaha meredam pesonanya yang liar menguasai rasa cemasku.
Sade berdiri dengan gelisah. Sesekali irama napasnya terdengar seperti gumam suara dan gerakan tangannya yang meremas-remas pertanda ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.
“Duduklah…!”
Rupanya dia tak biasa mengalami penolakan juga sebuah perintah. Dia terlihat jengah begitu menyadari aku melakukan keduanya.
Mengapa dia datang? Apakah dia datang dengan membawa rasa iba? Kedukaanku terekspos dalam berbagai ekspresi di media beberapa waktu yang lalu.
Apakah sebaiknya kutanyakan?
Ah! Aku tak ingin menahannya lebih lama diruang tamu.
“Pulanglah” sekali lagi aku menyerunya dengan kalimat perintah. Aku sudah mulai bangun dari tempat dudukku dan menunggunya melakukan hal yang sama.
“Aku tak akan pulang sebelum mendengar jawaban darimu” katanya kokoh tak beranjak dari sofa, tempatnya duduk.
“Apa yang ingin kaudengar?”
“Dengan cara apa aku bisa menebus kesalahan sehingga kau mau memaafkanku?
Aku mendehem, berusaha meregang waktu.
Oh...Kalau saja pertanyaan ini diajukan sebelum aku sempat mengenal Gi, mungkin aku memilih untuk lebih lama menyiksanya dengan perasaan bersalah. Tapi setelah bertemu Gi, kusadari, ketidaksetiaan Sade adalah pintu masuk kebahagianku bersama Gi.
Haruskah kukatakan apa yang kurasakan?
Tidak! aku hanya ingin secepatnya menutup pintu. Maka sebuah kalimat klise meluncur dari bibirku, “Aku sudah memaafkanmu jauh sebelum kau memintanya. Sekarang, pulanglah! Aku lelah…”
Kuelungkan kembali amplop putih kehadapannya. Aku tak perlu lagi membukanya. Saat pertama dia memaksaku menerimanya, kurasakan darah mengalir lebih cepat dibawah lapisan kulitku. Apalagi setelah kutahu nilai nominal yang tertera, terlalu berlebihan untuk sebuah ucapan belasungkawa. Akupun mengembalikannya.
“Terimakasih…Kau baik sekali memikirkanku tapi ini terlalu berlebihan”
Diwaktu lain aku mengatakan
“Terimakasih…Aku tak akan bisa membalas kebaikanmu”
Sejujurnya bagiku, jauh lebih mudah untuk menyerah, bersekutu dengan kecemasanku daripada bertarung dengan bisikan hati nurani. Kehilangan ini membawa serta begitu banyak ketakutan. Apa sulitnya menerima dan mengucapkan terimakasih?
“Win…Win…! serunya kesal.“Sudah kukatakan berulang-ulang, kau tak perlu membalasnya”. Dia tampak kehilangan kesabaran. Mungkin dimatanya aku terlihat angkuh, mengabaikan semua kebaikannya. Sebenarnya tidak, hanya saja aku terlanjur meyakini amplop putih itu bagai nada sumbang yang keluar dari sebuah piano antik. Melumat nilai artistiknya ketitik nadir.
Sade pergi dengan membawa semua kemarahannya. Sosoknya melesat menjauh dan hilang dikegelapan malam. Kuyakin, laki-laki ini tak akan kembali. Sedikit kesadaran menuntunku, Sade hanyalah sebuah fatamorgana.
---------------------------------------------------
Aku muntah lagi untuk yang kesekian kalinya. Tak ada isi makanan dalam perutku kecuali sebentuk berudu yang meringkuk aman didalamnya. Seandainya aku bisa mengeluarkannya semudah aku mengeluarkan kupu-kupu yang terperangkap dalam gelas kaca. Aku mengusap-usapnya, sebentuk berudu itu seolah menghisap semua kekuatan yang tersisa. Badanku semakin lemah…
--------------------------------------------
Aku akan bercerita tentang Gi. Gi adalah seorang pilot. Kami baru menikah tiga bulan ketika pesawat yang dikemudikannya jatuh dalam penerbangan rute Malang-Jakarta. Aku tidak tahu siapa yang patut disalahkan. Human error, cuaca buruk atau takdir. Bagiku alasan tak penting terkecuali bisa membuatnya kembali hidup.
Kematian,tak menunggu waktu. Andai saja ada waktu yang tepat…! Terlebih dulu aku akan belajar kekuatan pada akar pohon yang kokoh menyanggah apapun yang tumbuh diatasnya. Belajar kesabaran pada embun yang semalaman menggantung diujung daun, mengintip fajar. Belajar ketabahan pada tanah yang selalu menerima apapun yang dilakukan diatasnya.
Ah…! Aku tak tahu kapan saatnya aku siap membolehkan kematian menjemputnya. Bukankah lebih mudah begini?
Kematian selalu menyisakan janji-janji yang tak terpenuhi. Janjinya untuk menghitung jumlah uban yang mewarnai rambutku atau menandai setiap kerutan diwajahku sama dengan janjiku untuk menghitung helai rambut yang mulai berjatuhan dari kepalanya atau mengira-ngira ketebalan kacamata minusnya. Tak akan ada lagi sebuah pelukan, ucapan selamat datang atau kado kejutan. Reka wajahnya tak mampu kubingkai disaat ultah perkawinan kami yang pertama, yang kelima atau pada ultah perkawinan emas kami nanti. Yang masih tertinggal hanyalah kenangan masa-masa indah yang terlalu singkat dilalui.
---------------------------------------
Aku selalu menyebutnya berudu karena aku tak henti berpikir bahwa keberadaannya menggantikan Gi. Bagiku ,Gi tak tergantikan. Selama pikiran itu hinggap dikepalaku, aku tak pernah merasa dia bagian dari diriku. Bukankah si berudu ini juga bagian dari Gi, laki-laki terkasih dalam hidupku? Tuhan menitipkan seorang anak dalam sebuah kantong dirahimku. Sebuah karunia yang memungkinkan catatan kehidupanku dengan Gi berlangsung terus mengikuti putaran waktu yang tak pernah berhenti.
Aku mulai memikirkan untuk mengganti kata berudu dengan kata buah hati seiring dengan rasa cinta yang menjalar menguasai hatiku. Rasa cinta itu mendesak untuk membelai perutku, melindunginya dan mempertaruhkan nyawaku untuknya.
-------------------------------------
“Bumil cantik deh…Sudah berapa bulan Win?”
“Masuk bulan keempat”
Kami berdua, aku dan Maia sedang menikmati makan siang di mall. Sebenarnya aku tidak suka makan dikeramaian, melihat orang berlalu-lalang tapi membosankan juga makan seorang diri di rumah. Suasananya terlalu hening untuk sebuah ritual yang kulakukan lebih dari tiga kali dalam sehari.
Sudah sepekan ini aku bangun pagi dengan perasaan berbeda. Seolah apa yang kulihat adalah keindahan yang baru terbaca. Apa yang terjadi pada tubuhku? Kusadari, serangan mual yang tak henti menyergapku sudah tak ada. Kurasakan sumbatan di otak kecilku mulai membuka. Ah... Sebentuk harapan terbingkai, kehidupan yang sedang berlangsung pada sebuah kantong diperutku mulai mengajak berdamai. Lembayung merah di ufuk timur siap menyambut pagi bersama gairah dalam diriku yang mulai tumbuh.
--------------------------------------------
VionaSebuah ruang tampak penuh sesak dengan orang-orang yang berusaha melihat informasi yang ditempel di papan pengumuman. Sementara diluar ruangan, orang-orang berwajah sendu berlalu-lalang dengan gelisah. Dari tempatnya berdiri, Viona dapat melihat burung-burung besar parkir berjajar, sayapnya yang bergaris-garis terlihat gagah, siap menukik membelah awan.
Viona berteriak-teriak kegirangan. Dia melompat-lompat riang seakan tak terganggu dengan keberadaan ayahnya yang memandang dengan tatapan kosong. Raut ayah terlihat keruh, kedua tangan menyanggah dagunya. Kedukaannya kontras dengan Viona. Gadis kecilnya itu bersuka ria, menemukan sebuah permainan baru yang terbangun dalam imaginasinya. Viona memiliki keterbatasan untuk menghubungkan satu fakta terdahulu dengan fakta berikutnya yang sedang dilihat. Dia tak bisa mereka-reka apa yang sedang terjadi. Dia juga tak sepenuhnya mengerti topik apa yang sedang ramai dibicarakan orang-orang dewasa disekitarnya.
Pesona burung-burung besar itu menuntunnya untuk bergerak mendekat. Disaat yang sama, ayah berdiri, menarik erat tangannya dan mencoba membuatnya sedikit tenang. Ayah mengeluarkan stiker dari tas kecil yang diapitnya. Stiker dan buku gambar adalah permainan favoritnya. Tak sampai lima menit,Viona sudah asyik menempel-nempelkan stiker dengan jari-jarinya. Ayah memandanginya dengan haru. Dia menahan diri untuk tidak menyampaikan sebuah kabar buruk tentang bunda. Pesawat yang ditumpangi bunda jatuh karena cuaca buruk. Sedianya bunda akan mengikuti seminar tentang anak berkebutuhan khusus yang digelar siang ini disebuah hotel diJakarta. Bagi Viona butuh waktu untuk memahami penjelasan ayah dan menghubungkan alur cerita itu dengan dirinya. Viona tak pernah khawatir bunda pergi meninggalkannya. Dalam rekaman Viona, apa yang terjadi hari ini adalah sebuah kesempatan mempelajari hal baru tentang burung-burung besar yang baginya sangat menakjubkan.
------------------------------------------
Lima bulan kemudian…Diantara botol-botol minuman warna-warni yang berjajar mengepungnya, pandangan Viona tertumbuk pada segunduk tonjolan setengah lingkaran yang ada didepannya. Pemikiran spontan yang melintas dibenaknya, mengarahkan tangannya terulur, berusaha meraba perut yang membentang berjarak setengah inci darinya. Dia menekannya untuk mengetahui apa yang bersarang disana. Winda dengan sigap memegang tangan kecil yang menempel kuat di perutnya. Kata-kata kekesalannya hendak meluncur ketika pandangannya menangkap sosok wajah tak berdosa. Winda menaksir, gadis cilik ini berumur lima tahunan. Dia bermaksud menanyakan nama tapi sepertinya gadis cilik ini tak mengindahkan sedikitpun kecuali perut buncitnya yang begitu menarik perhatiannya.
Sebentar…Dia melihat emblem melekat didada kirinya, tertulis nama Viona dan sebuah nomer handphone.
“Viona ingin punya adik ya?”. Winda berusaha mengalihkan perhatian si gadis cilik.
Sedari tadi dilihatnya Viona tak mengeluarkan sepatah katapun dan sepertinya gadis cilik ini memiliki pemikiran yang tidak biasa mengenai perut buncitnya. Dia terlihat sangat ingin meraba dan bilaWinda tak waspada, dia pasti meremasnya. Winda mengulangi kalimat larangannya, tetap saja reaksi Viona seakan tak menggubrisnya. Winda menyangka Viona bermasalah dengan pendengaran karena itu dia mengajaknya berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat sederhana. Cara ini agak berhasil, meski masih sulit meminta sedikit perhatian darinya. Viona menurunkan tangannya. Mulutnya menggumam pelan, “Bunnndaa…Bundaa…”
Pandangan Winda menyusur sekeliling melihat kemungkinan ada seorang Ibu yang kebingungan mencari anaknya. Tak dilihatnya seorangpun di area supermarket yang sedang mencari seorang anak. Winda terus memegang tangan Viona, dia khawatir tangan itu akan meremas perutnya seperti yang dipikirkannya. Viona terus meronta berusaha membebaskan tangannya, Winda tak melepasnya. Setelah menunggu lebih dari lima belas menit dan tak ada tanda-tanda Viona akan ditemukan , Winda mulai kewalahan. Dia berinisiatif menelpon nomer handphone yang tertera di emblem Viona. Segera jarinya menekan tuts sepuluh angka dihandphonenya, tak menunggu lama dia terhubung dengan siempunya nomer.
--------------------------------------------
Menurut perkiraan dokter, rentang hari kelahiran bayiku sudah dekat, tinggal menghitung hari. Semua perlengkapan yang dibutuhkan telah rapi kususun dalam tas. Menurut hasil USG, jenis kelamin bayi yang kukandung, laki-laki. Ada beberapa kandidat nama yang sudah kusiapkan tapi belum kupilih, juga sebuah nama panggilan “Gi” untuknya.
Aku mengibas-ibaskan rambutku yang basah. Pagi ini aku bersiap-siap menerima kunjungan tamu kecilku yang sangat suka mengamati ikan menari-nari dalam akuarium. Dia bisa duduk tenang selama satu jam didepan ikan-ikan itu, seolah sedang mengajaknya berbicara dari hati kehati. Dia juga suka dibacakan sebuah cerita. Didalam tas berlogo tokoh-tokoh Disney yang dibawa pengasuhnya, selain berisi aneka camilan bebas gluten, ada banyak stiker dan buku cerita bergambar didalamnya.
Tiiit…tiiit…Sebuah pesan masuk, dari Maia di bbm.
• Tahu gak siapa Hera Pambudi?
Keningku berkerut. Aku sempat bercerita padanya tentang Viona, gadis kecil penderita autis yang setiap pekan kerap mengunjungiku. Segera kubalas bbmnya,
 Gak tahu banyak…
 Yang kutahu, dia ayah Viona.
 Memang kamu kenal?
Segera kubaca pesan Mira berikutnya.
• Kliping koran tentang kecelakaan itu masih ada?
Kurasakan jantungku luruh berada diantara kedua kakiku ketika kubaca pesan Mira. Kira-kira apa hubungan kecelakaan itu dan Hera Pambudi?
Pesan Mira berikutnya,
• Coba buka kliping korannya, disitu ada foto si Hera Pambudi.
• Betul-tidak dia orangnya?
Kurang dari dua menit, kliping koran yang dimaksud sudah kutemukan. Ketika menariknya dari tumpukan map dilemari, bukan saja tangan tapi hampir seluruh tubuhku bergetar hebat. Aku hamparkan koran yang memuat peristiwa kecelakaan itu. Terbaca headline dihalaman pertamanya dengan huruf dan gambar yang langsung dapat kukenali.
“Istri pengusaha ternama, Hera Pambudi termasuk dalam salah-satu korban jatuhnya pesawat Rajawali Airlines”Foto Viona, ayah dan ibunya terpampang disana. Aku masih mengingat senyumnya ketika bertemu disupermarket dan dia mengenalkan dirinya sebagai ayah Viona.
Hamburan pesan masuk dari Maia kubiarkan tak terjawab ketika sebuah ketukan bik Yam di pintu membawa pesan dari seseorang yang sedang menunggu diruang tamu. Viona datang bersama ayahnya!