Kusapukan blush on
warna peach, setelah itu kuoles lipstik rouge menyelimuti seluruh bibirku.
Dengan rambut disanggul kebelakang dan dibiarkan sedikit menjuntai, Kusempurnakan
penampilanku dengan memakai wedges hitam dan outfit senada. Kulihat sekali lagi
penampilan terakhirku di kaca. Hmm perfecto...! Akupun siap menuju kantor.
-----------------------------
Kububuhkan concealer tipis-tipis
di bawah sekitar mata lalu kutambahkan setting powder untuk mengurangi
penampakan kerut-kerut halus. Kutarik kuas tipis sepanjang upper lines dan
mengangkatnya dibagian akhir, membentuk catliner. Kuulangi garisnya sekali lagi
agar ketebalannya lebih nampak. Aku beri sentuhan warm white pada inner dan
water lines utuk mata terlihat lebih cerah. Sebagai pamungkas aku oleskan
mascara waterproof agar saat berwudhu tidak berantakan. Jumat ceria adalah
temaku hari ini karenanya kuputuskan memakai baju two pieces berwarna rose pink
bermotif dipadukan dengan scarf polos
warna senada. Di kantor, aku melangkah
penuh percaya diri memasuki ruang kerjaku.
-------------------------------
Aku menyorongkan
badanku mendekat ke kaca. Kuoleskan cream berwarna coklat pekat disepanjang forehead,
check bone, nose dan jawline. Kutambahkan concealer dan highlight lalu
kuratakan dengan menggunakan brush. Aku harus belajar lebih banyak tentang
countouring, tehnik membuat wajah tampak lebih slim. Berat badanku naik tanpa
bisa ditahan dan sepertinya kelebihan lemak itu berakhir di wajahku yang
membulat. Kusikat alisku dan kubentuk sudutnya naik keatas agar ilusinya ikut
menarik wajahku terlihat lebih tirus. Satu lagi eksekusi terhadap wajahku yang
bulat, kutarik kerudung di kiri dan kanan lebih maju menutup pipi. Setelah kupatut-patut
keseluruhan penampilanku didepan cermin, berangkatlah aku ke kantor dengan
waktu lima belas menit lebih lambat dari biasanya.
--------------------------------
Dua bulan lagi aku
genap berusia empat puluh tahun. Tahun-tahun berlalu dengan cepat dalam senyap. Semuanya masih sama, teratur dan rapi. Terkadang aku menginginkan sedikit kekacauan. Handuk kotor teronggok di sudut kamar atau suara nyaring piring pecah berserakan
di dapur atau suara omelanku yang lagi kesal pada seseorang yang membuat kamar mandi
keringku berbasah-basah. Satu-satunya suara nyaring yang dapat kudengar hanyalah bunyi mendesis dari ketel pemasak air. Alangkah sepinya…! Aku berdiri memandang cermin yang
sama, yang selalu menemaniku dalam kebisuannya. Tertawa, bahagia, menangis,
sedih semua kutumpahkan perasaanku didepannya. Aku masih tetap berdiri
memandang cermin yang sama. Tampak sosok perempuan dengan tumpukan lemak yang
tidak merata, berkantong mata dan kulit wajah berbercak kecoklatan menyaput
sebagian permukaannya seperti lelehan coklat diatas roti. Alangkah cepat
waktu berlalu. Waktu yang kupunya hari ini adalah ribuan waktuku kemarin.
Dari balkon depan, aku
melihat senja diufuk timur. Semburat cahayanya memantulkan keindahan sekaligus
kekhawatiran akan hilangnya mentari. Akankah hari-hari mendatang memberi
perbedaan untukku?
-----------------------------------------
Aku dan Alysa
Selalu ada awal untuk
segalanya. Alysa menelpon minta bertemu. Tidak ada
topik khusus yang ingin dibicarakannya padaku.
“Dirumah tak ada yang dapat diajak bicara” Begitu katanya ketika aku
agak kaget dengan permintaannya. Sejak itu, setiap weekend Alysa
sering berkunjung ke apartemenku (sepertinya aku lebih dekat dengan Alysa dibanding dengan As, ibunya) Kita berdua mempunyai hobi dan selera makan yang sama.
Bak gayung bersambut akupun menerima ajakannya. Aku menyanggupi bertemu
dengannya jum’at, hari ini.
Kuarahkan mobil
kesebuah café disekitar kampus. Aku sengaja datang lima belas menit lebih awal
agar lebih leluasa memilih tempat duduk. Café ini masih sepi meski jam makan
siang sudah tiba. Untunglah. Aku segera memesan menu favorite kami.
Sesosok wajah cantik
dengan rok panjang bermotif stripe dipadu kemeja polos hitam melangkah memasuki café. Aku
segera memanggilnya dengan lambaian tangan. Alysa, gadis cantik ini sedang
berjalan kearahku. Setiap orang yang melihat pasti mengira Alysa adalah
putriku, selain selera yang sama, wajah kami begitu mirip. Dengan bentuk
hidung yang sama, kami bak pinang
dibelah dua. Seandainya saja dia milikku. Akankah anakku berwajah seperti Alysa?
Pertanyaan yang terabaikan. Rahimku sudah tak ramah lagi untuk sebentuk janin.
Ketika kusinggung ingin
menjadi apa dia kelak setelah lulus dari fakultas sastra inggris. “Aku ingin
mengajar, menjadi guru atau apalah. Aku hanya tidak ingin menjadi seperti mama” katanya mengawali ungkapan hatinya. “Hampir seluruh harinya dihabiskan dengan mengeluh, terjebak dalam
keputusasaan sebagai istri yang tidak bahagia”.
Tak dinyana, pertanyaan
singkatku itu membuka mataku akan sosok Alysa dan bagaimana kedewasaannya
tumbuh ditengah konflik kedua orangtuanya yang kekanak-kanakan.
Sebenarnya aku bukanlah
pendengar yang baik, khusus untuk Alysa aku berusaha keras. Alysa hanya
memerlukan seseorang yang mau mendengar tanpa perlu membuka mulut panjang-lebar
dengan nasehat. Lagipula aku hanya ingin menjadi sahabatnya, bukan guru spiritualnya.
“Mama selalu mendorong
aku menjadi seseorang seperti tante. Lihat tante Rin, dia cantik, mandiri dan
sukses. Mama selalu menyebutkan tante Rin begini-tante Rin begitu. Pokoknya tante
Rin terus yang disebut”
Aku terperangah, As menganggapku
sangat beruntung? Bagaimana bisa seseorang menganggapku beruntung sementara aku
sendiri merasa amat tidak beruntung?
Memakai terminologi keberuntungan As, dia hanyalah seorang istri
yang tidak beruntung dalam memilih suami. Bram, seorang pengusaha sukses yang
terpikat pada perempuan lain. Mereka menikah siri dan kemudian bersikap
seolah-olah hanya ada mereka berdua didunia ini. Bram tak pernah pulang, hanya
selembar cek yang dikirimkannya rutin untuk menandai keberadaanya di dunia ini.
Sungguh menggelikan, kejahatan yang dilakukan oleh dua orang dewasa yang sedang
kasmaran. Sebelumnya aku menganggap seorang laki-laki yang sukses adalah
laki-laki yang bertanggung-jawab sampai aku mempunyai kakak ipar seperti Bram.
Menurutku, dalam
ketidakberuntunganya As beruntung memiliki Alysa. Anak ini sangat peduli pada ibunya. Baru sekarang aku mengerti, kalimat yang selalu dikatakan ibu, keberuntungan dan ketidakberuntungan ada dalam satu paket kehidupan.
Disela-sela
perbincangan kami, Alysa dengan lugunya bertanya, “Mengapa tante Rin tidak
menikah? Apa menurut tante, tidak ada laki-laki yang baik?”
Ternyata Alysapun tak
luput menanyakan sebuah pertanyaan yang sudah beribu-ribu kali kudengar dan
ingin kuhindari. Pertanyaan ini tidak mengagetkanku, hanya sedikit membuatku
tersinggung. Aku belum menikah bukan tidak menikah karena aku tidak pernah
mengambil keputusan untuk tidak menikah. Sampai detik ini aku tidak pernah
lepas berharap, suatu saat aku akan menemukan seseorang tempatku bersandar,
tempatku bercerita, tempatku bertanya. Tapi… Bukankah pada kenyataannya tak ada
seorang laki-lakipun yang bisa kupilih? Apakah itu berarti tak ada laki-laki
yang baik untukku?
“Selalu ada laki-laki
yang baik, hanya saja tante masih belum menemukannya” Itulah jawaban singkatku
yang juga ingin kupercaya. Aku harus bijak, demi untuk Alysa…!
--------------------------------------------
Aku dan Ibu
Sore itu As datang
dengan membawa segala cerita sedihnya tentang Bram. Kami terdiam, mencoba
merenungkan kata demi kata yang terucap maupun yang tidak terucap. Kadang
berdehem atau mengambil napas dalam-dalam untuk menunjukkan kami masih bersamanya.
Rasanya aku ingin menyela melihat reaksi As, terlalu lemah dan berlebihan.
Tetapi aku cukup sabar menahan diri. Ibu terlihat tidak dapat menunggu
lagi. Lalu katanya,
“Berhentilah mengeluh.
Kamu masih harus membesarkan empat anak yang butuh perhatianmu. Apa yang bisa
diharapkan dari seorang ibu yang tidak bahagia? Apa kamu pikir perempuan itu sangat
beruntung mendapatkan Bram? Seorang laki-laki seperti Bram hanya peduli pada
dirinya sendiri, bagaimana bisa orang berbahagia hidup dengannya. Berhentilah
menangis…! Jangan sia-siakan air matamu! Seruan ibu membuat kami tersentak
terlebih As yang tidak mengira ibu bisa berkata sekeras itu. Ibu benar. As
tidak pantas menangisi Bram.
Sepertinya hari ini ibu
menemukan kekuatan baru untuk berbicara dengan kedua putrinya, aku dan As. Setelah
menegur As, Ibu mendekatiku dan menyampaikan pendapatnya.
“Kamu tidak butuh
laki-laki sukses sebagai pendamping. Yang kamu butuhkan seseorang yang
menyintaimu dengan tulus. Tanggung-jawab seorang laki-laki tidak diukur dari
hasil akhir atau uangnya tapi pada prosesnya. Banyak laki-laki yang sukses tapi
berakhir seperti Bram. Jadi jangan silau dengan sesuatu yang semu. Seorang
laki-laki yang tulus, dia akan bertanggung-jawab dan itu sudah cukup.
Jangan berharap lebih. Allah sudah memberi
jatah kebahagian setiap orang tinggal kita yang mengatur porsinya. Apakah kita
bisa bahagia dengan porsi yang sedikit?” Kalau kita sabar dan syukur, Insyaallah
Allah akan menambah nikmat yang diberikan”. Ibupun menambahkan setangkup kalimat yang membuat mulutku serasa
terkunci, tak dapat berkata-kata.
“Kalau kamu merasa nyaman hidup sendiri, menikahlah untuk membahagiakan ibu. Apa yang kamu khawatirkan? Hal terburuk dalam perkawinan akan tergantikan dengan kehadiran seorang anak. Jangan sia-siakan rahimmu. Pikirkanlah..!” Tegas sekali kata-kata ibu seolah merupakan sebuah perintah bagiku.
-----------------------------------------------
Aku dan Nina
Siapa orang pertama
yang akan kutemui ketika aku merasa gundah seperti ini? Sudah lama tak kusadari
bahwa tak seorangpun bersamaku ketika aku membutuhkannya. Egoku menahan semua
desakan untuk bercerita bahkan pada sahabatku. Nina..! Nama itu selalu muncul pada
urutan pertama dari orang yang ingin kuhubungi selain ibu. Diantara
teman-temanku, Nina layak diunggulkan karena dialah yang paling tahan
menghadapiku. Nina satu devisi denganku selama dua tahun yang membahagiakan kemudian
dia mengundurkan diri karena lebih mementingkan karier suaminya yang sedang
melejit. Bagi Nina menjadi ibu rumah tangga adalah sebuah pilihan hidup. Keputusan
yang menurutku sangat gegabah. Bukankah mereka berdua dapat sama-sama sukses? Mengapa
bila harus memilih, perempuan harus mengalah?
Pada sebuah tikungan, kubelokkan
setir mobil memasuki area perumahan asri dengan pohon palem berjejer gagah
dikanan-kiri di gerbang depan seolah bersiap menyapa hangat para tamu yang datang.
Kali ini aku aku tidak butuh sapaan hangat, aku butuh sebuah petuah bijak yang
kan kujadikan selimut untuk menentramkan jiwaku yang tengah gundah gulana.
Nina menyambutku dengan
gembira. Katanya sudah lama dia ingin menghubungiku tetapi niat itu selalu saja
dapat dibatalkan dengan alasan tidak ingin menggangguku. Aku berbasa-basi
menanyakan khabarnya dan kesibukannya sekarang.
“Aku hanya ibu rumah
tangga yang sedang belajar bisnis. Sejak resign, aku punya banyak waktu luang.
Aku belajar berkreasi membuat pernak-pernik penghias rumah. Kecil-kecilan saja,
lumayan bisa nambah-nambah tabungan” katanya merendah. Aku antusias melihat
beberapa hasil karyanya. Sarung bantal sofa, lukisan dinding, wallcover bergaya vintage, terlihat antik dan cantik. Sedetik
rasanya aku ingin bertukar tempat dengannya. Dapatkah sebuah kekuatan menukarku
sebagai Nina dan Nina menjadi senior branch manager, suatu jabatan yang menjadi
impian banyak orang. Lamunanku buyar ketika Nina memintaku bercerita, apa yang
membuatku datang mengunjunginya.
Nina memandangku dengan
tatapan datar. Ekspresi wajahnya yang tidak menghakimi dan selalu begitu, membuatku
nyaman mengeluarkan segala keluh-kesahku. Kesabaran Nina hanya bisa dikalahkan
oleh ibu. Aku tak kuasa menemui ibu karena aku terlalu malu untuk mengakui
kelemahanku.
“Rin, sangat mudah
menerima kelebihan seseorang sebaliknya meski sulit, kita juga dapat belajar
menerima kekurangannya. Banyak orang berkata, menikah itu seperti berjudi. Kita
menikah dengan laki-laki yang baik, seiring waktu dia bisa menjadi tidak baik. Menurutku
sih tidak seekstrem itu. Semua tergantung dari niatnya. Menikah harus didasari
niat baik. Insyaalah bila kita menikah dengan niat baik membentuk keluarga
sakinah, pernikahan kita akan mawaddah warrahmah”.Ninapun menambahkan.
“Mungkin tanpa kamu sadari, alam bawah sadar menuntunmu pada sebuah pemikiran yang rancu tentang seorang laki-laki yang harus lebih sukses dari perempuan. Bukankah kariermu melesat melampaui rekan kerjamu yang laki-laki? Itukah sebabnya kamu selalu menepis laki-laki yang mendekatimu yang tidak berhasil melampaui kecermelanganmu?
Benarkah begitu? Pertanyaan
ini tak perlu kujawab, Aku tahu seharusnya aku menitipkan egoku kesebuah tempat
dan mengambilnya lagi jika keadaan membaik. Hanya saja aku tidak tahu kapan
keadaan akan membaik.
“Rin, cobalah berpikir
terbalik, sebagai seseorang yang diberi kelebihan, apa yang kamu khawatirkan
ketika sesuatu yang buruk menimpamu? Kitalah yang harus pegang kendali atas
kehidupan kita, jangan berharap bersandar pada orang lain meski itu suami
sendiri atau keluarga terdekat. Jangan merisaukan hal yang belum terjadi dan belum
tentu terjadi. Dalam kehidupan ini, semua berjalan sesuai takdirNya. Pasrahlah dalam doa karena hanya doa yang bisa mengubah takdir buruk”.
Rasanya aku tak mampu
mengangkat wajah. Benarkah aku sangat khawatir ataukah aku sudah terlalu lelah dan hanya ingin bersandar? Dalam tundukku, kumainkan sepotong kenangan akan Ar, seorang
laki-laki baik yang Tuhan kirimkan terlalu dini. Ar adalah orang yang tepat di
waktu yang salah. Aku tak bisa menerimanya karena dalam pikiran kerdilku, seorang laki-laki adalah penyempurna egoku. Ar, hanyalah sosok laki-laki sederhana yang disodorkan ibu.
Ketika semua orang mendecak kagum akanku, Ar adalah sebuah titik balik.
Senja diufuk timur
memancarkan semburat merahnya, berkilau membagikan keindahan dan harapan. Suatu
hari nanti aku akan menemukanmu. Sekarang aku hanya ingin bertemu ibu.