06 August 2015

Selalu Ada awal untuk segalanya...


Sebelum menulis biasanya aku selalu membaca tulisanku sebelumnya. Dan inilah yang membuat keinginan menulis kandas ditengah ide-ide yang menggeliat ingin dilahirkan. Foto abi yang terpampang besar ditulisanku sebelumnya sering membuatku keterusan mengenang semua masa-masa bersama abi. Ada banyak kebiasaan kecil yang baru terasa berpengaruh besar sekarang. Seperti: abi tampak senang jika disapa dengan kalimat: "Bapak Fachir apa khabar hari ini? atau "Bapak Fachir bagaimana dietnya?" atau "Bapak Fachir sedang apa sekarang?" dengan senyum lebar abi akan menjawab: "Alhamdulillah..."
Atau bila sedang makan direstoraunt, ketemu menu yang istimewa biasanya aku akan segera menginfokan ke abi dan dengan antusias abi menyambutnya. Sekarang...Terasa begitu banyak kenangan begitu besar rasa kehilangannya. 
-----------------------------
Ide menulis datang biasanya setelah panca idraku menangkap sesuatu yang menyentuh, seperti: ketika diruang praktek suami (sebagai pengamat) ada seorang ibu dengan susah payah berusaha menggendong anaknya yang berumur 11 tahun yang menderita cerebal palsy. Ibu itu terlihat sangat tabah. Menurutnya anaknya lahir normal. Pada usia 3 tahun terkena panas tinggi dan hampir sebulan di rawat di rs tetapi kondisi si anak tidak bertambah baik malah semakin buruk dengan lemahnya beberapa anggota tubuh. Aku jadi teringat ketika mengandung anak ketiga yang didiagnosa kena virus rubella. Janin tidak berkembang dan harus dikuret. Setiap ibu berharap anaknya lahir dalam kondisi normal dan sehat. Meski begitu jika harapan tidak sesuai dengan kenyataan, seorang ibu akan selalu siap menerima anaknya dalam kondisi apapun. Itulah hebatnya seorang ibu. Dalam hati, aku benar-benar berdoa agar ibu tersebut diberi ketabahan, kekuatan dan keberkahan dalam hidupnya. Amin YRA.
Ide yang kedua mencuat ketika membaca seorang pejabat publik yang tertangkap bersama istri kedua (yang mana yang lebih tepat istri kedua atau istri muda? Mungkin karena laki-laki yang berpoligami itu gak mau rugi ya, jadi selalu memilih istri kedua yang lebih muda (jadi inget sate kambing, semakin muda dagingnya semakin enak rasanya. Tapi khan istri bukan sate tho,  tepok jidat...) Ada banyak meme di medsos yang menggambarkan bagaimana publik tidak bersimpati pada mereka. Hm...terkadang simpati itu memang menghakimi. 
Yang jadi pertanyaan (bukan hanya berdasarkan kasus diatas tapi kasus-kasus laen yang visible atau invisible) Bagaimana seorang pejabat publik bisa melakukan "proyek persatean" secara legal (ataupun illegal)? Bukankah banyak mata memandang? (mata rakyat plus mata atasannya) Juga seorang pejabat publik adalah pengemban amanat rakyat jadi mereka tidak bisa bersembunyi dibalik dalih ranah pribadi ketika proyeknya terkuak. Seorang pejabat publik harusnya tidak boleh mencederai rakyatnya apalagi yang dicederai adalah komunitas perempuan yang notabene adalah pemilih potensial. Pendapat ini berbau tendensius?  
Sebenarnya tidak jika poligami tidak disertai kisah sedih diseputarnya.
Ketika melihat foto di fb tentang ajakan poligami dari account seorang perempuan.  Hmm...
Ajakan berpoligami bukan seperti mengajak bersedekah dimana semua orang dapat melakukannya. Bila tidak bisa bersedekah dengan uang, bisa digantikan dengan sedekah doa. Tapi poligami mempunyai aturan syarat dan ketentuan berlaku. Kalau sedekah mah enggak pake syarat. Lagian, poligami gak usah deh dikampayekan mati-matian begitu karena rawan disalahgunakan. Seorang laki-laki yang shaleh, bila harus berpoligami dia akan sangat berhati-hati dan dilakukan dengan cinta damai (kalau dengan kekerasan tetap saja masuk kategori laki-laki yang salah) Sebaliknya laki-laki yang setengah-setengah (setengah baik setengah buruk) cenderung mempermudah poligami dengan alasan yang dikuat-kuatkan. So kalau anda berbahagia dengan poligami, syukur alhamdulillah tetapi tidak berarti anda harus riya khan. Mengkampayekan shalat lima waktu di masjid bagi laki-laki kayaknya better deh. Jadi inget tulisan ini:
Ide selanjutnya timbul dari membaca sebuah ulasan di fb tentang PemimpinTurki yang fenomenal: Recep Tayyip Erdogan. Menurutku yang lebih mengesankan adalah pasangannya: Emine Erdogan. Seorang laki-laki yang baik dibentuk oleh dua orang perempuan terdekatnya, ibu dan istrinya. 

Sangat mengesankan sekali melihat pemimpin Turki itu ikut menggotong keranda ibunya. Sebetulnya apakah dia presiden, raja atau orang biasapun mempunyai kewajiban yang sama untuk memuliakan ibunya baik disaat hidup atau disaat dia sudah meninggal. Karena tidak banyak kepala negara yang sampai turun tangan membawa keranda ibunya, apa yang dilakukan Erdogan terasa sangat istimewa. 
Keberhasilan Erdogan membawa Turki lebih baik tentunya tidak terlepas dari peran ibu sebagai pembentuk kharakternya dan istri sebagai pendukung/pembisik yang membawa kebaikan. Bukankah pemimpin yang baik akan selalu dikenang rakyatnya? Statement ini tidak berarti, berbuat kebaikan legal untuk pencitraan tetapi segala kebaikan yang diniatkan ibadah akan selalu membawa berkah. Erdogan adalah awal menuju Turki yang lebih baik. 
Bagaimana dengan Indonesia?
Jabatan itu amanah dan punya masa kadaluwarsa. Jadi kenapa tidak dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Bila anda adalah pemimpin yang disukai, yang mendapat kehormatan bukan hanya anak dan istri tetapi dari buyut sampai cicit andapun nantinya akan diingat sebagai orang-orang terhormat.
Selalu ada awal untuk segalanya...Siapapun anda, ayo kita dukung suami jadi pemimpin yang baik dengan menjadikan kita sebagai pembisik yang baik. Mulailah dengan mengembangkan empati dan simpati. Terutama pada  masalah pemberdayaan perempuan sehingga enyahlah kalimat ini: Terkadang kejahatan terhadap perempuan terjadi karena didukung oleh perempuan yang lain. Semoga tulisan ini membawa keberkahan.
See you in the next post

No comments:

Post a Comment