Membaca kisah kasih Risnawati dan Rais dan melihat videonya yang mengharukan, sebagai ibu dari dua anak perempuan rasanya gimana gitu (antara tersentuh dan mencoba berempati) . Adegan Rais yang mengusap-usap kepala Risna, pelukan spontan Risna dan istri Rais yang ikut terharu melihat keduanya, rasanya seperti sedang menonton film true story (kalau pelakunya artis sih pemirsanya mungkin tidak terharu, soalnya lagi musim adegan settingan untuk menaikkan pamor artis n rating sinetron (whew...) Karena bukan sinetron itulah yang membuat kisahnya heboh. Kisah ini akan kehilangan bobot jika kemudian Rais membatalkan pernikahannya dan menikahi Risnawati, sang tambatan hati atau jika Rais menikahi Risnawati atas ijin istrinya. Wah...penonton pasti kecewa. Biarlah kisahnya seperti itu dan endingnya Risnawati menemukan laki-laki lain yang baik yang dapat menjadi imamnya dan membawa kedamaian dunia-akhirat. Amin YRA.
Apa ada yang salah dalam kisah kasih tak sampai ini?
Segala sesuatu yang belum terjadi masih bisa diusahakan hasilnya berbeda, tapi yang sudah terjadi tidak terlepas dari suratan takdir. Dalam hal ini, tidak ada yang patut disalahkan selain uang panai (mahar). Kisah kasih Risna dan Rais memang jalannya harus seperti itu sesuai dengan takdir kehidupan mereka. Uang panai hanya berperan sebagai obyek pelengkap sahaja.
Jadi bolehkah uang mahar dijadikan alasan untuk menolak lamaran sang pujaan hati?
Eit...tunggu dulu...!!!
Sedari dulu uang mahar berpotensi menimbulkan konflik. India, mungkin bisa disebut sebagai negara yang terkenal dengan kisah-kisah tragis tentang uang mahar.
Seberapa pentingnya peran uang mahar dalam sebuah kebahagian membangun rumah-tangga?
Pastinya sih gak ada hubungan langsung antara besarnya uang mahar dengan kebahagian yang bakal diraih dalam perkawinan (malah dalam sebuah hadis disebutkan bahwa yang paling kecil maharnya yang paling baik). Kalau hubungan tidak langsung, dihubung-hubungkan bisa saja, misalnya KDRT (korban kdrt seringnya berasal dari ketimpangan psikis- sosial-ekonomi pelaku dan korban, de-el-el) .
Tambahan lagi, sepertinya sekarang uang mahar mengalami perluasan nilai karena diasosiasikan dengan seserahan (seperti sahabat yang gak bisa dipisahkan...(Ups...) Jadi maharnya tetap kecil tapi seserahannya harus gedhe (seperti top-up gitu) Kalau yang begini lain lagi episodenya, yang pasti judulnya: Kehormatan keluarga (cant talk...)
Ada beberapa cerita lain yang mungkin bisa dikaitkan dengan topik diatas.
Seorang teman (anonim satu, bapak2, teman yang cuman ketemu sekali seumur hidup, mungkin dari hasil pengamatan dan analisanya) mengatakan: bila kita punya anak perempuan dan tidak cantik akan susah terutama susah dalam mencarikan jodohnya). OMG...!!! Sampai segitu pikirannya?!
Seorang teman (anonim dua masih bapak2, yang juga ketemunya sekali seumur hidup, dikesempatan yang berbeda) mengatakan: Bukan saja anak-anak muda yang terjebak dengan gaya hidup matre, orangtuapun juga. Lalu katanya, misal, kita punya dua anak perempuan, yang pertama cantik yang kedua tidak/kurang cantik. Orang tua cenderung menjadikan anak yang cantik sebagai komoditi (duh...nih orang, vulgar sekali ya). Tanpa ditanya lebih lanjut, dia menjelaskan. "Kita akan memperlakukan kedua anak ini dengan berbeda. Yang cantik akan semakin dilebih-lebihkan dengan kemudahan sementara yang tidak/kurang cantik disederhanakan".
"Contohnya dalam pemilihan jodoh. Untuk putrinya yang cantik pasti orangtua njelimet sekali kriteria menerima calon menantunya tapi untuk putrinya yang tidak/kurang cantik, kriterianya lebih sederhana".
Aku jadi deg-degan (kalau aku punya asma pasti sudah kena serangan...) Bener-gak sih ulasan "vulgar"si anonim dua ini? Atau ulasannya sesuai dengan hukum alam? Kalau punya "barang" bagus harganya pasti mahal tapi kalau "barang"nya kurang bagus harganya pasti lebih rendah???
Tapiiiiiiii khan anak perempuan kita bukan "barang"??? Anak perempuan khan anugrah & pasti cantik baca disini ya
Atau jangan-jangan sebenarnya nih bapak sedang menyindir ibu-ibu atau justru diri sendiri???
Cerita lain lagi, masih dari bapak-bapak, sebut saja anonim tiga. Dia mengutip sebuah cerita (kurang jelas dari hadis atau kisah nyata yang ditemuinya).
Katanya ada sebuah keluarga sederhana yang mempunyai dua anak perempuan. Yang sulung sangat cantik sementara yang bungsu, mempunyai cacat pada matanya (juling). Sementara itu si bapak mendengar saudara jauhnya sedang mencari menantu bagi anak laki-lakinya yang gagah dan tampan. Singkat cerita, si bapak berusaha mendatangi keluarga jauhnya itu dan meminang putra mereka yang tampan & gagah untuk putri bungsunya. Tentu saja keluarga yang jauh itu bertanya-tanya. Mengapa justru untuk putri bungsunya, bukan untuk putrinya yang sulung? Bukankah lebih serasi si cantik bertemu dengan si tampan?
Si bapak yang arif ini berkata ( gak inget kata-katanya, cuman mirip2 aj tanpa mengubah makna): "Saya tidak perlu risau mencarikan jodoh putriku yang sulung, tapi untuk putriku yang bungsu jika bukan keluarga, siapa lagi yang akan menolongnya". Dan akhirnya si putri bungsu menikah dengan putra saudaranya yang tampan dan gagah.
Pertanyaannya, persepsi kita bertengger di posisi yang mana ya, sependapat dengan anonim satu, sejalan dengan anonim dua atau seide dengan anonim tiga?
Kalau belum bisa menjawabnya, dibuat pr deh...
Kembali ke topik awal...
Kalau uang mahar dan seserahan bukan syarat utama, apa yang seharusnya menjadi syarat utama seorang laki-laki dalam meminang kekasih hatinya?
K O M I T ME N
Laki-laki yang berkomitmen itu masuk dalam kriteria laki-laki yang baik. Siapakah laki-laki yang baik itu?
Sebelum menjawabnya ada baiknya membaca tulisan di sini ya. Atau melihat contoh kasus ini. Sedang ngikutin drama korea, the woman who married thrice? Aslinya aku bukan penggemar drama korea tapi pas ada waktu nonton tv koq adegannya menyentuh sekali. Ini contoh percakapan yang mengharukan antara seorang ayah dan menantu laki-lakinya yang berniat menceraikan anaknya (yang notabene adalah istri dari laki-laki tersebut).
Sang anak menyerahkan hp pada suaminya krn ayahnya berniat bicara pada suaminya (sebelumnya sang anak sudah sempat curhat pada ayahnya bahwa suaminya berniat menceraikannya, untuk lebih jelasnya nonton sendiri ya ...:)
Ini sebagian percakapan yang berhasil diingat (paling tidak miriplah, tidak mengubah makna)
Ayah: "Apa kamu benar akan menceraikan istrimu karena dia melakukan kesalahan kecil? Saya menerimamu sebagai menantu karena saya mempercayaimu dapat mendidik anak saya.
Saya tahu, dia terkadang kekanak-kanakan karena salah didikan ibunya yang terlalu memanjakan tapi sebagai suami kamu harusnya dapat mendidiknya. Dia akan menurut kalau kamu didik. Saya berharap kamu tidak bersungguh-sungguh dengan ucapanmu dan hiduplah bahagia bersamanya". Monolog diakhiri dengan keheningan (atau kebingungan...ya?) sang menantu.
Monolog ini sesuai dengan pendapat seorang teman, anonim yang lain (kalau yang ini sih teman sehati alias sejawat yang sama-sama ibu dari anak-anak perempuan...:).Dia mengatakan kalau kita menikahkan anak perempuan itu artinya kita menitipkan anak pada laki-laki yang menjadi suaminya.
Dia menambahkan (dengan gaya sebagai pengamat...)Katanya: dalam beberapa prosesi pinangan, dia banyak menjumpai ketimpangan seperti ini. Ibu dari anak laki-laki akan memuji-muji anaknya sebagai anak yang baik, patuh dan taat pada orangtuanya (sisi kebanggaan seorang ibu yang punya anak laki-laki yang baik. Ini juga bisa jadi indikasi, pujian tulus seorang ibu pada anak laki-lakinya adalah doa yang terkabul tapi bila tidak sesuai dengan fakta, berarti sang ibu sudah melakukan kebohongan publik (kalau begini speechless deh...).Sementara di prosesi unduh mantu, si ibu dari anak perempuan selalu memulai kata-kata perpisahan dengan anak perempuan dan besannya dengan kalimat low profile. Intinya: menitipkan anaknya pada si menantu laki-laki dan keluarganya dengan mengatakan, tolong anak saya diajarkan dan dididik untuk menjadi istri yang baik".
Benarkah seperti itu?
Kalau benar begitu... Duhai adinda, anak-anakku yang cantik, pilihlah calon suamimu yang menyintaimu dan dicintai orangtua terutama ibumu karena doa mereka tidak pernah putus untuk kebahagianmu dan doa-doa mereka tidak berhijab.
Drama diatas (The Woman who married thrice) mengisahkan tentang seorang ibu dan kakak ipar yang sangat berkuasa atas anak laki-lakinya (padahal anak laki-lakinya baik tapi tidak kuasa mengayomi istrinya dari kekuasaan sang ibu dan sang kakak ipar ) sehingga si istri merasa terintimidasi dan tertekan.
Laki-laki yang baik itu sangat sederhana diskripsinya tapi luas penerapannya. Laki-laki yang baik itu yang agamanya baik. Hanya ada satu versi tapi berefek pada kedua belah-pihak, istri dan keluarganya (keluarga istri dan keluarga si laki-laki). Kalau dipadatkan, laki-laki yang baik itu yang hablum minallah dan hablum minnasnya sejalan. Tidak bisa disebut laki-laki yang baik, jika hablum minallah nilainya 8,5 tapi pelit dan kasar dalam keseharian dengan (keluarga terutama istrinya karena kadang-adang seorang suami bisa baikkk sekali dengan anak-anaknya tapi kasar dengan istrinya, aneh..!!??). Singkatnya lagi, laki-laki yang baik itu tidak sekedar baik pekerjaannya, baik intelektualnya tapi juga baik psikisnya, dengan kata lain harus: BIJAKSANA. Orang yang baik dan bijaksana itu, dia tidak bisa DZALIM atau berbuat aniaya.
Dan bila kita (berperan orangtua sebagai calon mertua atau anak perempuan) sudah bertemu dengan orang yang bijaksana, itulah kekayaan yang sesungguhnya.
Duhai laki-laki yang baik, kutitipkan anak-anak perempuan kami padamu untuk mendapatkan kebahagian dunia & akhirat. Muliakanlah mereka sebagaimana kodratnya.
Sedari dulu uang mahar berpotensi menimbulkan konflik. India, mungkin bisa disebut sebagai negara yang terkenal dengan kisah-kisah tragis tentang uang mahar.
Seberapa pentingnya peran uang mahar dalam sebuah kebahagian membangun rumah-tangga?
Pastinya sih gak ada hubungan langsung antara besarnya uang mahar dengan kebahagian yang bakal diraih dalam perkawinan (malah dalam sebuah hadis disebutkan bahwa yang paling kecil maharnya yang paling baik). Kalau hubungan tidak langsung, dihubung-hubungkan bisa saja, misalnya KDRT (korban kdrt seringnya berasal dari ketimpangan psikis- sosial-ekonomi pelaku dan korban, de-el-el) .
Tambahan lagi, sepertinya sekarang uang mahar mengalami perluasan nilai karena diasosiasikan dengan seserahan (seperti sahabat yang gak bisa dipisahkan...(Ups...) Jadi maharnya tetap kecil tapi seserahannya harus gedhe (seperti top-up gitu) Kalau yang begini lain lagi episodenya, yang pasti judulnya: Kehormatan keluarga (cant talk...)
Ada beberapa cerita lain yang mungkin bisa dikaitkan dengan topik diatas.
Seorang teman (anonim satu, bapak2, teman yang cuman ketemu sekali seumur hidup, mungkin dari hasil pengamatan dan analisanya) mengatakan: bila kita punya anak perempuan dan tidak cantik akan susah terutama susah dalam mencarikan jodohnya). OMG...!!! Sampai segitu pikirannya?!
Seorang teman (anonim dua masih bapak2, yang juga ketemunya sekali seumur hidup, dikesempatan yang berbeda) mengatakan: Bukan saja anak-anak muda yang terjebak dengan gaya hidup matre, orangtuapun juga. Lalu katanya, misal, kita punya dua anak perempuan, yang pertama cantik yang kedua tidak/kurang cantik. Orang tua cenderung menjadikan anak yang cantik sebagai komoditi (duh...nih orang, vulgar sekali ya). Tanpa ditanya lebih lanjut, dia menjelaskan. "Kita akan memperlakukan kedua anak ini dengan berbeda. Yang cantik akan semakin dilebih-lebihkan dengan kemudahan sementara yang tidak/kurang cantik disederhanakan".
"Contohnya dalam pemilihan jodoh. Untuk putrinya yang cantik pasti orangtua njelimet sekali kriteria menerima calon menantunya tapi untuk putrinya yang tidak/kurang cantik, kriterianya lebih sederhana".
Aku jadi deg-degan (kalau aku punya asma pasti sudah kena serangan...) Bener-gak sih ulasan "vulgar"si anonim dua ini? Atau ulasannya sesuai dengan hukum alam? Kalau punya "barang" bagus harganya pasti mahal tapi kalau "barang"nya kurang bagus harganya pasti lebih rendah???
Tapiiiiiiii khan anak perempuan kita bukan "barang"??? Anak perempuan khan anugrah & pasti cantik baca disini ya
Sungguh Mulia...
Aku jadi kueselllll & pegellll (coba dikatakan dengan intonasi logat jatim) Gimana sih bapak anonim dua ini??? Atau jangan-jangan sebenarnya nih bapak sedang menyindir ibu-ibu atau justru diri sendiri???
Cerita lain lagi, masih dari bapak-bapak, sebut saja anonim tiga. Dia mengutip sebuah cerita (kurang jelas dari hadis atau kisah nyata yang ditemuinya).
Katanya ada sebuah keluarga sederhana yang mempunyai dua anak perempuan. Yang sulung sangat cantik sementara yang bungsu, mempunyai cacat pada matanya (juling). Sementara itu si bapak mendengar saudara jauhnya sedang mencari menantu bagi anak laki-lakinya yang gagah dan tampan. Singkat cerita, si bapak berusaha mendatangi keluarga jauhnya itu dan meminang putra mereka yang tampan & gagah untuk putri bungsunya. Tentu saja keluarga yang jauh itu bertanya-tanya. Mengapa justru untuk putri bungsunya, bukan untuk putrinya yang sulung? Bukankah lebih serasi si cantik bertemu dengan si tampan?
Si bapak yang arif ini berkata ( gak inget kata-katanya, cuman mirip2 aj tanpa mengubah makna): "Saya tidak perlu risau mencarikan jodoh putriku yang sulung, tapi untuk putriku yang bungsu jika bukan keluarga, siapa lagi yang akan menolongnya". Dan akhirnya si putri bungsu menikah dengan putra saudaranya yang tampan dan gagah.
Pertanyaannya, persepsi kita bertengger di posisi yang mana ya, sependapat dengan anonim satu, sejalan dengan anonim dua atau seide dengan anonim tiga?
Kalau belum bisa menjawabnya, dibuat pr deh...
Kembali ke topik awal...
Kalau uang mahar dan seserahan bukan syarat utama, apa yang seharusnya menjadi syarat utama seorang laki-laki dalam meminang kekasih hatinya?
K O M I T ME N
Sebelum menjawabnya ada baiknya membaca tulisan di sini ya. Atau melihat contoh kasus ini. Sedang ngikutin drama korea, the woman who married thrice? Aslinya aku bukan penggemar drama korea tapi pas ada waktu nonton tv koq adegannya menyentuh sekali. Ini contoh percakapan yang mengharukan antara seorang ayah dan menantu laki-lakinya yang berniat menceraikan anaknya (yang notabene adalah istri dari laki-laki tersebut).
Sang anak menyerahkan hp pada suaminya krn ayahnya berniat bicara pada suaminya (sebelumnya sang anak sudah sempat curhat pada ayahnya bahwa suaminya berniat menceraikannya, untuk lebih jelasnya nonton sendiri ya ...:)
Ini sebagian percakapan yang berhasil diingat (paling tidak miriplah, tidak mengubah makna)
Ayah: "Apa kamu benar akan menceraikan istrimu karena dia melakukan kesalahan kecil? Saya menerimamu sebagai menantu karena saya mempercayaimu dapat mendidik anak saya.
Saya tahu, dia terkadang kekanak-kanakan karena salah didikan ibunya yang terlalu memanjakan tapi sebagai suami kamu harusnya dapat mendidiknya. Dia akan menurut kalau kamu didik. Saya berharap kamu tidak bersungguh-sungguh dengan ucapanmu dan hiduplah bahagia bersamanya". Monolog diakhiri dengan keheningan (atau kebingungan...ya?) sang menantu.
Monolog ini sesuai dengan pendapat seorang teman, anonim yang lain (kalau yang ini sih teman sehati alias sejawat yang sama-sama ibu dari anak-anak perempuan...:).Dia mengatakan kalau kita menikahkan anak perempuan itu artinya kita menitipkan anak pada laki-laki yang menjadi suaminya.
Dia menambahkan (dengan gaya sebagai pengamat...)Katanya: dalam beberapa prosesi pinangan, dia banyak menjumpai ketimpangan seperti ini. Ibu dari anak laki-laki akan memuji-muji anaknya sebagai anak yang baik, patuh dan taat pada orangtuanya (sisi kebanggaan seorang ibu yang punya anak laki-laki yang baik. Ini juga bisa jadi indikasi, pujian tulus seorang ibu pada anak laki-lakinya adalah doa yang terkabul tapi bila tidak sesuai dengan fakta, berarti sang ibu sudah melakukan kebohongan publik (kalau begini speechless deh...).Sementara di prosesi unduh mantu, si ibu dari anak perempuan selalu memulai kata-kata perpisahan dengan anak perempuan dan besannya dengan kalimat low profile. Intinya: menitipkan anaknya pada si menantu laki-laki dan keluarganya dengan mengatakan, tolong anak saya diajarkan dan dididik untuk menjadi istri yang baik".
Benarkah seperti itu?
Kalau benar begitu... Duhai adinda, anak-anakku yang cantik, pilihlah calon suamimu yang menyintaimu dan dicintai orangtua terutama ibumu karena doa mereka tidak pernah putus untuk kebahagianmu dan doa-doa mereka tidak berhijab.
Drama diatas (The Woman who married thrice) mengisahkan tentang seorang ibu dan kakak ipar yang sangat berkuasa atas anak laki-lakinya (padahal anak laki-lakinya baik tapi tidak kuasa mengayomi istrinya dari kekuasaan sang ibu dan sang kakak ipar ) sehingga si istri merasa terintimidasi dan tertekan.
Laki-laki yang baik itu sangat sederhana diskripsinya tapi luas penerapannya. Laki-laki yang baik itu yang agamanya baik. Hanya ada satu versi tapi berefek pada kedua belah-pihak, istri dan keluarganya (keluarga istri dan keluarga si laki-laki). Kalau dipadatkan, laki-laki yang baik itu yang hablum minallah dan hablum minnasnya sejalan. Tidak bisa disebut laki-laki yang baik, jika hablum minallah nilainya 8,5 tapi pelit dan kasar dalam keseharian dengan (keluarga terutama istrinya karena kadang-adang seorang suami bisa baikkk sekali dengan anak-anaknya tapi kasar dengan istrinya, aneh..!!??). Singkatnya lagi, laki-laki yang baik itu tidak sekedar baik pekerjaannya, baik intelektualnya tapi juga baik psikisnya, dengan kata lain harus: BIJAKSANA. Orang yang baik dan bijaksana itu, dia tidak bisa DZALIM atau berbuat aniaya.
Dan bila kita (berperan orangtua sebagai calon mertua atau anak perempuan) sudah bertemu dengan orang yang bijaksana, itulah kekayaan yang sesungguhnya.
Duhai laki-laki yang baik, kutitipkan anak-anak perempuan kami padamu untuk mendapatkan kebahagian dunia & akhirat. Muliakanlah mereka sebagaimana kodratnya.
Bagaimana pendapat anda...?
Semoga kita semua termasuk orang-orang selalu berada dalam lindunganNya. Amin YRA.
SEE YOU in NEXT POST...
Note: Tulisan ini sedang tidak meyindir siapa-siapa. Kita tidak bisa mengjudge sebuah kisah dari sebuah berita saja. Komen kita hanya sebatas tersentuh & mencoba berempati saja.
Note: Tulisan ini sedang tidak meyindir siapa-siapa. Kita tidak bisa mengjudge sebuah kisah dari sebuah berita saja. Komen kita hanya sebatas tersentuh & mencoba berempati saja.
No comments:
Post a Comment