09 May 2014

Hania, Mengapa Umi Melarangmu Menari...?


Saida kembali menari di pesta pacar[1].Dilepasnya kerudung dan dililitkan kepinggulnya. Rambutnya yang disemir merah, bergulung-gulung. menjuntai seperti spiral. Kemudian dia meliuk-liukan tubuhnya dengan gemulai mengikuti alunan lagu berirama sahara.  Ini yang ke sebelas kalinya dia menari di pesta pacar. Setiap habis menari, Saida menoleh kearah umi[2] yang tersenyum bangga padanya.

Seminggu setelah dia menari selalu datang utusan dari seseorang yang akan melamarnya. Seperti yang sudah-sudah, kali ini pun aba masih tak menyetujuinya. Padahal dia sudah sangat ingin menjadi pengantin seperti kerabatnya yang lain.

“Ini yang terakhir kali. Kalau kita masih menolak, nanti akan timbul fitnah. Ya sudahlah... Kalau memang tidak ada pangeran yang datang, apa boleh buat daripada anakku jadi perawan tua”, umi mengatakannya putus asa.

Saida tersenyum, di dalam hatinya dia bersorak. Berarti tinggal sekali menari, dia sudah akan jadi pengantin.

“Gadis bodoh, kenapa senang? “ hardik Umi begitu dilihatnya Saida masih sempat tersenyum ditengah hatinya yang gundah gulana. Lalu katanya, “Apa kamu pikir menjadi pengantin itu akhir dari segalanya, seperti dalam film-film India yang biasa kau tonton itu? Menikah itu awal dari kehidupanmu, Nak! Tanpa uang yang cukup, menikah hanya membuat kita seperti terpasung. Apalagi dengan orang yang salah. Berdoalah lebih keras, kesempatanmu hanya sekali”.
Kesempatan itu digunakan Saida dan umi untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Kalau ingin mendapatkan ikan besar harus menyediakan umpan yang sepadan pula. Begitulah yang diyakininya, maka umi merelakan kalungnya terjual demi membeli sebuah gaun indah untuk Saida. Umi melarang Saida untuk keluar siang hari agar kulitnya yang putih mulus tetap terjaga. Dan ia masih menyimpan sisa uangnya untuk biaya ke salon pada waktunya nanti. Dengan tekun Saida juga mempelajari tarian-tarian baru dari video. 

Saat yang ditunggu-tunggu pun tiba. Pada pesta pacar malam itu,  Saida tampil dengan dandanan, gaun, dan tarian yang memikat. Sempat dilihatnya beberapa umi berbisik-bisik sambil menunjuk-nunjuk ke arahnya. Betul juga. Kali ini hanya tiga hari, utusan yang ditunggu-tunggu itu datang. Begitu utusan itu pulang, umi berteriak gembira. Disongsongnya putrinya ke kamar.

“Akhirnya datang juga pangeranmu”, katanya sambil merangkul anak terkasihnya itu.

“Umi tahu, kamu pantas mendapatkannya. Kamu akan mempunyai rumah sendiri, mobil bagus, gaun-gaun yang indah, sepanjang hari memakai minyak wangi dan perhiasan …” Kalimatnya terputus oleh sebuah teriakan melengking. Itu suara aba[3].  

“Sida... ! Apa yang kau katakan pada anak kita? Kau pikir kita akan menerima begitu saja pinangan mereka tanpa tahu bagaimana akhlak anaknya?”.

“Tapi...Bukankah mereka keluarga yang terhormat, keluarga baik-baik?”

“Itu orangtuanya. Kita harus melihat perangai anaknya dulu. Jangan memutuskan sesuatu tanpa persetujuanku. Mengerti!”.

Sepeninggal aba, umi terlihat menggerutu. ”Begitulah abamu. Walaiti[4] bodoh!”.

Saida mendengar vonis itu. Impiannya kandas. Tak ada lagi pangeran yang datang untuknya. Dia hanya ingin menjadi pengantin. Dengan siapapun, tak peduli pecandu atau pemabuk yang penting ber-uang. Dia percaya, seperti yang selalu dikatakan umi, baik saja tidak cukup. Menikah tanpa uang menyebabkan hidupnya terpasung. Tapi bagi aba, tidak kaya, tidak tampan, tidak punya pekerjaan, tidak masalah. Yang penting akhlaknya bagus dan famnya[5] sederajat baru boleh menjadi pangerannya. Penolakan aba, berbuntut pertengkaran dengan umi.

“Aku tidak akan menjual anak sepertimu!”

“Tidak ada yang akan menjual anak. Aku hanya ingin Saida mempunyai nasib yang lebih baik dari kita. Demi Tuhan Hassan, apa kau ingin anak kita menjadi perawan tua seperti  adik-adikmu?”

“Itu lebih baik daripada menyerahkan anakku ketangan seorang pecandu”.         

--------------------------------------------

Aku terlahir sebagai anak bungsu dari lima bersaudara. Semua saudaraku laki-laki. Aba sangat senang dengan jumlah anak laki-laki yang dimilikinya tetapi tampaknya dia tidak bangga pada mereka.

Aku tinggal di rumah yang berpagar tembok meski begitu kami bukan  keluarga kaya. Keluarga kaya selalu punya dua ruang tamu yang memisahkan tamu laki-laki dan tamu perempuan. Sementara kami hanya punya satu ruang tamu dengan kamar mandi didepan hingga bila ada tamu laki-laki, tamu itu tak akan berpapasan denganku atau umi didalam rumah.

Setiap hari aba pergi membuka toko kitabnya pagi-pagi sekali. Padahal siapa yang akan membeli kitab pukul enam pagi?

Abaku adalah seorang walaiti. Begitulah walaiti, mereka punya aturan tersendiri. Aba bisa sangat lembut bila berbicara denganku atau orang lain tapi bila berbicara dengan umi atau saudara laki-lakiku, aba selalu berteriak dengan suara melengking.

Ada satu hal yang mengusikku, bagaimana mereka bisa mempunyai  lima anak jika sepertinya mereka tidak pernah saling berbisik?

Aku ingat, jidi[6] juga berperangai seperti aba. Hanya bedanya, jidi mempunyai tiga istri sementara aba hanya punya umi. Menurutku, aba memang beda dengan jidi. Mungkin karena aba tidak sekaya jidi. Aku juga percaya, terlepas dari yang dapat kulihat aba sebenarnya sangat menyintai umi.

Satu hal yang membuatku terkagum-kagum pada mereka adalah sifat kikirnya dan rasa percaya dirinya yang tinggi. Aba sangat kikir. Setiap hari kudengar umi bersumpah-serapah didapur. Dia juga sangat teliti menghitung uang. Karena itu saudara lelakiku tak ada yang tahan membantunya di toko. Mereka bekerja serabutan di luar.

Meski tidak punya uang, berpakain jelek, hanya bersandal jepit, kaum walaiti tidak pernah merasa lebih rendah dari orang lain. Dengan suara yang menggelegar, mereka akan marah sekali jika ada seseorang yang dirasa menghinanya. Begitulah...! Bagaimanapun aba adalah ayahku dan aku sangat menyanyanginya.

Pernah ketika masih kelas enam SD, aku bertanya pada aba kenapa aku tidak boleh menikah dengan laki-laki Jawa. Jawabannya sungguh tak kumengerti.

“Karena aba tidak mau cucu aba jadi penyanyi”

”Hanya itu?”Aku mengerutkan kening.

“Ya”

“Bukan karena gadis Arab haram kawin dengan laki-laki Jawa?”

“Ya anakku Saida, siapa yang mengatakan hal itu?” Aku hanya diam. Aku tak mau umi jadi sasaran kemarahan aba gara-gara kebodohanku.

“Tidak haram, hanya tidak boleh!”, katanya seraya mengacungkan telunjuknya. “Orang Jawa sebaiknya kawin dengan orang Jawa. orang Cina sebaiknya kawin dengan orang Cina. Begitu juga orang Arab. Semua orang sebaiknya kawin dengan sukunya sendiri karena mereka sudah terbiasa dengan budayanya”.

Sebenarnya penjelasan aba itu belum memuaskanku karena kulihat ada kerabat yang melakukannya. Tapi aku tak mau berdebat, bisa-bisa aba menganggapku terlalu lancang dan ujung-ujungnya aku dilarang sekolah. Aku hanya mangut-mangut, pura-pura mengerti.

Bertahun-tahun kemudian, aku baru mengerti maksud ucapan aba, seorang sepupu yang lebih tua menerangkannya padaku. ”Itu karena budaya Jawa dikaitkan dengan kebebasan, khususnya keleluasaan yang lebih besar bagi anak perempuan untuk mengembangkan dirinya menjadi apa saja. Bahkan untuk menjadi penyanyi sekalipun dimana pada saat itu profesi tersebut masih tabu bagi anak perempuan Arab”.

”Oh....” hanya itu yang keluar dari mulutku.

Setelah umurku tujuh belas tahun, aku bertanya lagi, kenapa aku tak boleh kawin dengan laki-laki dari golongan Alawiyin[7], “Mereka terlalu sombong”.  Terlalu sombong? Aku tidak mengerti.

“Bagaimana kalau ada yang tidak sombong. Bolehkah aku menikah dengan laki-laki Alawiyin?”

Kulihat raut muka aba mendadak geram. Aku menjadi sangat takut. Betapa konyol pertanyaanku. Cepat-cepat kualihkan ke pertanyaanku berikutnya.

”Kenapa aku tak boleh menikah dengan fam diluar Gabili[8]?”. Kali ini pancinganku berhasil, aba mendadak tertawa. “Coba lihat namamu, Saida Hassan Alkatiri. Kita ini masih keturunan darah biru”, katanya terkekeh.

Darah biru?

Aba kemudian menjelaskan tentang asal-muasal leluhur kami ditanah Hadramaut. Seperti biasa akupun manggut-manggut, pura-pura mengerti.

----------------------------


[1] Pesta melepas masa lajang bagi calon pengantin wanita. Biasanya diisi tari-tarian oleh para gadis yang hadir,  laki-laki tidak diperkenankan hadir.
[2] Sebutan untuk ibu
[3] Sebutan untuk ayah
[4] Arab singkek, arab totok
[5] marga
[6] Sebutan untuk kakek
[7]golongan yang mengklaim sebagai keturunan langsung Ali RA
[8]golongan Syaikh yang keturunan bangsawan


Sudah dua belas orang yang ditolak. Bagaimana dengan orang yang ketigabelas?  Semenjak penolakan itu, Saida malas menari dan hanya sesekali  menghadiri pesta pacar. Dia lebih banyak mengurung diri di rumah. Aba terlihat senang dengan perubahan itu sementara umi pasrah dan terus berdoa semoga anaknya segera mendapat jodoh.

Sekarang Saida punya banyak waktu luang. Dia memanfaatkannya dengan belajar melukis hena. Saida belajar dengan cepat. Dalam waktu singkat sudah banyak gambar yang dikuasainya. Akhirnya terkenallah Saida sebagai gadis pelukis hena yang sering menghias kaki dan tangan calon pengantin. Suatu hari, disaat dia tengah melukis tangan seorang calon pengantin, seorang umi melihatnya. Seminggu kemudian datanglah utusan ke rumah. 

Bila jodoh telah datang, tiba-tiba semuanya menjadi lebih mudah. Aba menerima pinangannya. Dialah orang ketigabelas yang menjadi pangerannya. Suami Saida adalah seorang insiyur, sekaligus seorang Syaikh[9]dan Gabili



-------------------------------------------------




[9] golongan diluar Alawiyin
Suara musik gambus terdengar keras memekakkan telinga...Beberapa gadis saling menarik untuk menari di tengah arena. Saida memandang sekeliling, dia tidak menemukan Hania, putri bungsunya. Sebetulnya dia sudah akan beranjak menuju Samia, memintanya untuk menemukan adiknya itu. Perasaannya was-was. Hania lenyap dari pandangannya.

Sepertinya dia terlambat...
 

Dilihatnya Hania sudah ditengah arena, meliuk-liukan tubuhnya mengikuti irama lagu. Seuntai selendang hitam bermanik-manik dililitkan ketat di pinggulnya. Seketika Saida merasa dadanya sesak...

Di sela-sela teriakan antusias para umi disekitarnya, sayup-sayup didengarnya mereka memuji-muji kemahiran Hania menari. Dikuatkan hatinya untuk menyaksikan pertunjukan di depannya sampai selesai. Setelah Hania turun, sejurus kemudian musik berganti berirama disko. Tampak beberapa  gadis menari lagi mengikuti irama berhentak-hentak, suasana berubah seperti disebuah ajang lomba disko.

-----------------------------------------------------

”Hania! Apa jadinya kalau baba tahu kamu masih tetap menari? ” hardikku dengan sorot mata tajam.

”Apa umi juga tidak suka aku menari?” Pertanyaan itu terdengar ditelingaku sebagai sebuah ejekan. Kutarik napas dalam-dalam,  berusaha menahan diri.

”Biasakanlah untuk menjawab pertanyaan lebih dulu sebelum bertanya yang lain”

Lalu katanya, ”Hania yakin baba tidak akan semarah umi”

”Oh...!” Anakku ini sudah tahu kalau aku tidak pernah suka dia menari.

Hania masih berumur 15 tahun, masih duduk dibangku kelas 3 SMP. Hanya saja perawakan badannya menurun dari ayahnya, bongsor, terlihat seperti seorang gadis yang duduk dibangku terakhir SMA. Berbeda dengan kakaknya, Samia, yang hampir tidak bermasalah. Hania memerlukan pengawasan ekstra. Bukan karena dia bodoh atau perilakunya bermasalah, hanya saja kesukaannya menari di acara pengantin pacar membuatku tidak nyaman. Ini seperti sebuah dejavu. Hania mewarisi beberapa sifatku termasuk kemahirannya menari mengalir secara genetik. Setiap kali Hania menari, aku terlempar ke masa lalu, terbayang kembali bagaimana aku menari. Aku harus berterimakasih pada umi yang bekerja keras untuk menjadi tameng bagiku. Bagaimana seandainya aba tahu, setiap detil tarianku? Mungkin aku sudah menikah saat usiaku masih 13 tahun.

Jawaban Hania masih terngiang-ngiang ditelingaku.

”Umi, aku  menari karena aku suka. Kenapa umi tidak pernah suka aku menari?”

Mengapa aku tidak suka Hania menari...?

Aku tidak pernah menyukainya menari karena menari di malam pacar punya arti yang berbeda dibandingkan menari di acara-acara yang lain. Menari di malam pacar adalah ajang memikat perhatian para umi yang berperan penting memilihkan jodoh untuk anak laki-lakinya.

Para umi itu merasa dirinya adalah seorang ratu yang mendapat mandat mencari pasangan untuk sang pangeran, anak laki-lakinya.

Ya...Para umi itu menempatkan anak laki-lakinya seperti pangeran. Menurutku disinilah letak ketidakadilan itu bermula. Mereka merasa berhak secara leluasa memilih para gadis. Mereka akan memilih calon mempelainya seperti dalam sebuah kompetisi. Begitulah yang terjadi padaku dulu.

Aku tidak akan rela anakku ikut dalam kompetisi seperti ini. Tidak akan pernah kubiarkan putriku itu terjebak “berburu” sepertiku dimasa lalu.

-----------------------------------------------------------
Mengapa aku tidak suka Hania menari...?

Aku tidak suka Hania menari karena sebuah keganjilan. Sebagian besar laki-laki Arab mempunyai dualisme dalam memandang perempuan. Jika arti perempuan menyentuh sosok ibu, maka mereka akan mengangkat nilainya setinggi langit. Jika arti itu menyentuh sosok istri, maka mereka akan mengukur nilainya dari kewajiban-kewajiban yang harus dijalankan.

Maka terjadilah keganjilan itu, dia menjadi sangat lemah ketika berstatus sebagai istri tetapi sangat  dominan jika dia berstatus sebagai ibu dari anak laki-lakinya dan sebagai mertua yang menakutkan bagi menantu perempuannya.

Aku percaya, bukanlah seorang laki-laki yang baik jika dia mengagungkan ibunya tapi merendahkan istrinya. Begitu juga sebaliknya, yang mengagungkan istrinya tapi merendahkan ibunya.

Tidak akan kubiarkan kelak permata hatiku itu dipilih oleh sesorang yang dominan sebagai ibu dan menakutkan sebagai mertua.

Mengapa aku tidak suka Hania menari...?

Aku tidak suka Hania menari karena aku tahu kedua anakku bernilai. Aku membesarkannya dengan nilai-nilai yang baik juga doa-doaku selalu menyertai mereka. Setiap waktu, sepanjang hari.

Hania bukan Samia yang nyaris sempurna. Hania lahir dengan bercak hitam samar di sebelah kiri wajahnya. Bercak hitam itu ikut membesar seiring pertambahan usianya hingga bagian kiri wajahnya nyaris tersaput. Bertahun-tahun kami saling merapatkan tangan, berusaha keras melakukan apa yang harus dilakukan semua orangtua yang mempunyai anak berbeda.

Kami berjuang untuk membuatnya tidak merasa berbeda dan kami berhasil. Hania tumbuh sebagai gadis yang periang, menyenangkan dan penuh percaya diri. Kulit wajahnya memang berbeda, selebihnya Hania adalah gadis normal yang berusaha selalu tampil menarik.

Mengapa aku tidak suka Hania menari...?

Aku tidak suka Hania menari karena kuyakin nilai seorang perempuan tidak diukur dari kecantikan fisiknya. Meski keyakinan yang dipaksakan pada berjuta-juta perempuan diberbagai belahan dunia lebih mengutamakan kecantikan fisik.

Apa yang akan aku ajarkan pada Hania tentang arti kecantikan? Aku bisa mengatakan padanya panjang lebar tentang hakekat kecantikan tetapi bila lingkungan sekitar mengepungnya dengan nilai-nilai kecantikan yang berbeda maknanya dari apa yang aku ajarkan maka dibutuhkan sebuah kata kunci selain dari apa yang kuberikan. Kata kunci itu adalah, nilai diri sebagai seorang perempuan. Bagaimanapun berbedanya, dia adalah seorang perempuan, seorang manusia yang tetap mempunyai nilai sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna yang berhak disebut cantik. Perbedaan itu tidak akan pernah menafikan sisi kemanusiannya. 
Mengapa aku tidak suka Hania menari...?

Aku tidak suka Hania menari karena perbincangan disuatu sore.

”Umi, bolehkah aku menikah dengan laki-laki diluar Arab?”

Aku baru saja berniat meminum tehku ketika pertanyaan Hania terlontar. Untung saja aku belum meminumnya jika tidak, pasti aku tersedak. Sambil berusaha menenangkan diri dalam kehangatan teh yang memenuhi kerongkongan, aku berusaha menebak darimana pemikiran itu berasal. Sejenak aku teringat pertanyaan yang sama, kulontarkan pada aba beberapa tahun silam. Tentu saja aku tak bisa menjawabnya dengan jawaban yang diberikan aba padaku. Hania terlalu pintar bahkan melebihi diriku saat seumurnya.

Kami sedang terlibat perbincangan ringan di teras belakang. Aku duduk bersebelahan dengan Samia, Hania duduk sendiri berhadapan denganku dan satu lagi, Faris, calon menantuku itu duduk disisi kiri Hania.

Faris mengubah posisi duduknya, entah apa yang ada dibenaknya dengan pertanyaan calon adik iparnya itu.

Faris, pemuda berperawakan sedang, tutur-katanya halus dan sopan. Satu lagi, dia berasal dari golongan Alawiyin. Dalam kebersamaanku bersama Faris tidak sekalipun aku melihatnya bersikap sombong seperti apa yang selalu dikatakan aba padaku tentang laki-laki Alawiyin.

Di komunitas Arab, perkawinan antara golongan Syaikh dan Alawiyin dipenuhi prasangka dan kebanggan akan golongannya. Hampir saja aku  menyerah jika saja tidak kulihat kesungguhan Faris dan keteguhan Samia.

Setelah melalui berbagai derai air mata dan doa yang tak pernah putus, akhirnya restu itu keluar juga. Apa yang terjadi pada Samia dan Faris adalah suatu bentuk pergeseran dan kompromi yang diusahakan dua keluarga demi kebahagiaan dua anak manusia yang sama-sama dikasihi.

Perbincangan  di beranda sore itu mengabarkan padaku akan kegalauan hatinya. Dalam beberapa pemikiran, Hania mirip denganku. Sebuah perenungan masuk dikepalaku. Akan kukatakan pada anak terkasihku itu, di sisi seorang perempuan akan selalu ada seorang laki-laki yang dikirim Tuhan untuk menyintainya. Dan laki-laki itu, siapapun dia, kami akan selalu mendukungnya.

Tidak perlu khawatir anakku... Doa-doa kami tidak berhijab.



Surabaya, media Mei 2014

Story by: Layla Fachir Thalib



No comments:

Post a Comment