Saida kembali menari di pesta pacar[1].Dilepasnya kerudung dan dililitkan kepinggulnya.
Rambutnya yang disemir merah, bergulung-gulung. menjuntai seperti spiral. Kemudian dia
meliuk-liukan tubuhnya dengan gemulai mengikuti alunan lagu berirama sahara. Ini yang ke sebelas kalinya dia menari di pesta
pacar. Setiap habis menari, Saida menoleh kearah umi[2] yang tersenyum bangga padanya.
Seminggu setelah dia menari selalu datang utusan dari
seseorang yang akan melamarnya. Seperti yang sudah-sudah, kali ini pun aba
masih tak menyetujuinya. Padahal dia sudah sangat ingin menjadi pengantin
seperti kerabatnya yang lain.
“Ini yang terakhir kali. Kalau kita
masih menolak, nanti akan timbul fitnah. Ya sudahlah... Kalau memang tidak ada
pangeran yang datang, apa boleh buat daripada anakku jadi perawan tua”, umi
mengatakannya putus asa.
Saida tersenyum, di dalam hatinya
dia bersorak. Berarti tinggal sekali menari, dia sudah akan jadi pengantin.
“Gadis bodoh, kenapa senang? “ hardik
Umi begitu dilihatnya Saida masih sempat tersenyum ditengah hatinya yang gundah
gulana. Lalu katanya, “Apa kamu pikir menjadi pengantin itu akhir dari
segalanya, seperti dalam film-film India yang biasa kau tonton itu? Menikah itu
awal dari kehidupanmu, Nak! Tanpa uang yang cukup, menikah hanya membuat kita
seperti terpasung. Apalagi dengan orang yang salah. Berdoalah lebih keras,
kesempatanmu hanya sekali”.
Kesempatan itu digunakan Saida dan
umi untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Kalau ingin mendapatkan ikan besar
harus menyediakan umpan yang sepadan pula. Begitulah yang diyakininya, maka umi
merelakan kalungnya terjual demi membeli sebuah gaun indah untuk Saida. Umi
melarang Saida untuk keluar siang hari agar kulitnya yang putih mulus tetap
terjaga. Dan ia masih menyimpan sisa uangnya untuk biaya ke salon pada waktunya
nanti. Dengan tekun Saida juga mempelajari tarian-tarian baru dari video.
Saat yang ditunggu-tunggu pun tiba.
Pada pesta pacar malam itu, Saida tampil
dengan dandanan, gaun, dan tarian yang memikat. Sempat dilihatnya beberapa umi
berbisik-bisik sambil menunjuk-nunjuk ke arahnya. Betul juga. Kali
ini hanya tiga hari, utusan yang ditunggu-tunggu itu datang. Begitu utusan itu
pulang, umi berteriak gembira. Disongsongnya putrinya ke kamar.
“Akhirnya datang juga pangeranmu”,
katanya sambil merangkul anak terkasihnya itu.
“Umi tahu, kamu pantas
mendapatkannya. Kamu akan mempunyai rumah sendiri, mobil bagus, gaun-gaun yang
indah, sepanjang hari memakai minyak wangi dan perhiasan …” Kalimatnya terputus
oleh sebuah teriakan melengking. Itu suara aba[3].
“Sida... ! Apa yang kau katakan pada
anak kita? Kau pikir kita akan menerima begitu saja pinangan mereka tanpa tahu
bagaimana akhlak anaknya?”.
“Tapi...Bukankah mereka keluarga
yang terhormat, keluarga baik-baik?”
“Itu orangtuanya. Kita harus melihat
perangai anaknya dulu. Jangan memutuskan sesuatu tanpa persetujuanku.
Mengerti!”.
Sepeninggal aba, umi terlihat menggerutu. ”Begitulah
abamu. Walaiti[4] bodoh!”.
Saida mendengar vonis itu. Impiannya
kandas. Tak ada lagi pangeran yang datang untuknya. Dia hanya ingin menjadi
pengantin. Dengan siapapun, tak peduli pecandu atau pemabuk yang penting
ber-uang. Dia percaya, seperti yang selalu dikatakan umi, baik saja tidak
cukup. Menikah tanpa uang menyebabkan hidupnya terpasung. Tapi bagi aba, tidak
kaya, tidak tampan, tidak punya pekerjaan, tidak masalah. Yang penting
akhlaknya bagus dan famnya[5]
sederajat baru boleh menjadi pangerannya. Penolakan aba, berbuntut pertengkaran
dengan umi.
“Aku tidak akan menjual anak
sepertimu!”
“Tidak ada yang akan menjual anak.
Aku hanya ingin Saida mempunyai nasib yang lebih baik dari kita. Demi Tuhan
Hassan, apa kau ingin anak kita menjadi perawan tua seperti adik-adikmu?”
“Itu lebih baik daripada menyerahkan
anakku ketangan seorang pecandu”.
--------------------------------------------
Aku terlahir sebagai anak bungsu
dari lima bersaudara. Semua saudaraku laki-laki. Aba sangat senang dengan
jumlah anak laki-laki yang dimilikinya tetapi tampaknya dia tidak bangga pada
mereka.
Aku tinggal di rumah yang berpagar
tembok meski begitu kami bukan keluarga kaya. Keluarga kaya
selalu punya dua ruang tamu
yang memisahkan tamu laki-laki dan tamu perempuan. Sementara kami hanya punya
satu ruang tamu dengan kamar mandi didepan
hingga bila ada tamu laki-laki, tamu itu tak akan berpapasan denganku atau umi
didalam rumah.
Setiap hari aba pergi membuka toko
kitabnya pagi-pagi sekali. Padahal siapa yang akan membeli kitab pukul enam pagi?
Abaku adalah seorang walaiti.
Begitulah walaiti, mereka punya aturan tersendiri. Aba bisa sangat lembut bila
berbicara denganku atau orang lain tapi bila berbicara dengan umi atau saudara
laki-lakiku, aba selalu berteriak dengan suara melengking.
Ada satu hal yang mengusikku,
bagaimana mereka bisa mempunyai lima
anak jika sepertinya mereka tidak pernah saling berbisik?
Aku ingat, jidi[6] juga
berperangai seperti aba. Hanya bedanya, jidi mempunyai tiga istri sementara aba
hanya punya umi. Menurutku, aba memang beda dengan jidi. Mungkin karena aba tidak
sekaya jidi. Aku juga percaya, terlepas dari yang dapat kulihat aba sebenarnya
sangat menyintai umi.
Satu hal yang membuatku terkagum-kagum pada mereka adalah
sifat kikirnya dan rasa percaya dirinya yang tinggi. Aba sangat kikir. Setiap
hari kudengar umi bersumpah-serapah didapur. Dia juga sangat teliti menghitung
uang. Karena itu saudara lelakiku tak ada yang tahan membantunya di toko.
Mereka bekerja serabutan di luar.
Meski tidak punya uang, berpakain
jelek, hanya bersandal jepit, kaum walaiti tidak pernah merasa lebih rendah
dari orang lain. Dengan suara yang menggelegar, mereka akan marah sekali jika
ada seseorang yang dirasa menghinanya. Begitulah...! Bagaimanapun aba adalah
ayahku dan aku sangat menyanyanginya.
Pernah ketika masih kelas enam SD,
aku bertanya pada aba kenapa aku tidak boleh menikah dengan laki-laki Jawa.
Jawabannya sungguh tak kumengerti.
“Karena aba tidak mau cucu aba jadi
penyanyi”
”Hanya itu?”Aku mengerutkan kening.
“Ya”
“Bukan karena gadis Arab haram kawin
dengan laki-laki Jawa?”
“Ya anakku Saida, siapa yang
mengatakan hal itu?” Aku hanya diam. Aku tak mau umi jadi sasaran kemarahan aba
gara-gara kebodohanku.
“Tidak haram, hanya tidak boleh!”,
katanya seraya mengacungkan telunjuknya. “Orang Jawa sebaiknya kawin dengan
orang Jawa. orang Cina sebaiknya kawin dengan orang Cina. Begitu juga orang
Arab. Semua orang sebaiknya kawin dengan sukunya sendiri karena mereka sudah
terbiasa dengan budayanya”.
Sebenarnya penjelasan aba itu belum
memuaskanku karena kulihat ada kerabat yang melakukannya. Tapi aku tak mau
berdebat, bisa-bisa aba menganggapku terlalu lancang dan ujung-ujungnya aku
dilarang sekolah. Aku hanya mangut-mangut, pura-pura mengerti.
Bertahun-tahun kemudian, aku baru
mengerti maksud ucapan aba, seorang sepupu yang lebih tua menerangkannya
padaku. ”Itu karena budaya Jawa dikaitkan dengan kebebasan, khususnya
keleluasaan yang lebih besar bagi anak perempuan untuk mengembangkan dirinya
menjadi apa saja. Bahkan untuk menjadi penyanyi sekalipun dimana pada saat itu
profesi tersebut masih tabu bagi anak perempuan Arab”.
”Oh....” hanya itu yang keluar dari
mulutku.
Setelah umurku tujuh belas tahun,
aku bertanya lagi, kenapa aku tak boleh kawin dengan laki-laki dari golongan Alawiyin[7], “Mereka
terlalu sombong”. Terlalu sombong? Aku
tidak mengerti.
“Bagaimana kalau ada yang tidak sombong. Bolehkah aku
menikah dengan laki-laki Alawiyin?”
Kulihat raut muka aba mendadak
geram. Aku menjadi sangat takut. Betapa konyol pertanyaanku. Cepat-cepat
kualihkan ke pertanyaanku berikutnya.
”Kenapa aku tak boleh menikah dengan fam diluar Gabili[8]?”. Kali
ini pancinganku berhasil, aba mendadak tertawa. “Coba lihat namamu, Saida
Hassan Alkatiri. Kita ini masih keturunan darah biru”, katanya terkekeh.
Darah biru?
Aba kemudian menjelaskan tentang asal-muasal
leluhur kami ditanah Hadramaut. Seperti biasa akupun manggut-manggut, pura-pura
mengerti.
----------------------------
[1] Pesta melepas masa lajang bagi calon pengantin wanita. Biasanya
diisi tari-tarian oleh para gadis yang hadir,
laki-laki tidak diperkenankan hadir.
[2] Sebutan untuk ibu
[3] Sebutan untuk ayah
[4] Arab singkek, arab totok
[5] marga
[6] Sebutan untuk kakek
[7]golongan yang mengklaim sebagai keturunan
langsung Ali RA
[8]golongan Syaikh yang keturunan bangsawan
Sudah dua belas orang yang ditolak.
Bagaimana dengan orang yang ketigabelas?
Semenjak penolakan itu, Saida malas menari dan hanya sesekali menghadiri pesta pacar. Dia lebih banyak
mengurung diri di rumah. Aba terlihat senang dengan perubahan itu sementara umi
pasrah dan terus berdoa semoga anaknya segera mendapat jodoh.
Sekarang Saida punya banyak waktu
luang. Dia memanfaatkannya dengan belajar melukis hena. Saida belajar dengan
cepat. Dalam waktu singkat sudah banyak gambar yang dikuasainya. Akhirnya
terkenallah Saida sebagai gadis pelukis hena yang sering menghias kaki dan
tangan calon pengantin. Suatu hari, disaat dia tengah melukis tangan seorang
calon pengantin, seorang umi melihatnya. Seminggu kemudian datanglah utusan ke
rumah.
Bila jodoh telah datang, tiba-tiba
semuanya menjadi lebih mudah. Aba menerima pinangannya. Dialah orang
ketigabelas yang menjadi pangerannya. Suami Saida adalah seorang insiyur,
sekaligus seorang Syaikh[9]dan
Gabili
-------------------------------------------------
[9] golongan diluar Alawiyin
Suara musik gambus terdengar keras
memekakkan telinga...Beberapa gadis saling menarik untuk menari di tengah
arena. Saida memandang sekeliling, dia tidak menemukan Hania, putri bungsunya. Sebetulnya
dia sudah akan beranjak menuju Samia, memintanya untuk menemukan adiknya itu.
Perasaannya was-was. Hania lenyap dari pandangannya.
Dilihatnya Hania sudah ditengah
arena, meliuk-liukan tubuhnya mengikuti irama lagu. Seuntai selendang hitam
bermanik-manik dililitkan ketat di pinggulnya. Seketika
Saida merasa dadanya sesak...
Di sela-sela teriakan antusias para
umi disekitarnya, sayup-sayup didengarnya mereka memuji-muji kemahiran Hania
menari. Dikuatkan hatinya untuk menyaksikan pertunjukan di depannya sampai
selesai. Setelah Hania turun, sejurus kemudian musik berganti berirama disko.
Tampak beberapa gadis menari lagi mengikuti
irama berhentak-hentak, suasana berubah seperti disebuah ajang lomba disko.
-----------------------------------------------------
”Hania! Apa jadinya kalau baba tahu
kamu masih tetap menari? ” hardikku dengan sorot mata tajam.
”Apa umi juga tidak suka aku menari?”
Pertanyaan itu terdengar ditelingaku sebagai sebuah ejekan. Kutarik
napas dalam-dalam, berusaha menahan
diri.
”Biasakanlah untuk menjawab
pertanyaan lebih dulu sebelum bertanya yang lain”
Lalu katanya, ”Hania yakin baba
tidak akan semarah umi”
”Oh...!” Anakku
ini sudah tahu kalau aku tidak pernah suka dia menari.
Hania masih berumur 15 tahun, masih
duduk dibangku kelas 3 SMP. Hanya saja perawakan badannya menurun dari ayahnya,
bongsor, terlihat seperti seorang gadis yang duduk dibangku terakhir SMA.
Berbeda dengan kakaknya, Samia, yang hampir tidak bermasalah. Hania memerlukan
pengawasan ekstra. Bukan karena dia bodoh atau perilakunya bermasalah, hanya
saja kesukaannya menari di acara pengantin pacar membuatku tidak nyaman. Ini
seperti sebuah dejavu. Hania
mewarisi beberapa sifatku termasuk kemahirannya menari mengalir secara genetik.
Setiap kali Hania menari, aku terlempar ke masa lalu, terbayang kembali
bagaimana aku menari. Aku harus berterimakasih pada umi yang bekerja keras
untuk menjadi tameng bagiku. Bagaimana seandainya aba tahu, setiap detil
tarianku? Mungkin aku sudah menikah saat usiaku masih 13 tahun.
Jawaban Hania masih terngiang-ngiang ditelingaku.
”Umi, aku menari karena aku suka. Kenapa
umi tidak pernah suka aku menari?”
Mengapa aku tidak suka Hania menari...?
Aku tidak pernah menyukainya menari karena menari di
malam pacar punya arti yang berbeda dibandingkan menari di acara-acara yang
lain. Menari di malam pacar adalah ajang memikat perhatian para
umi yang berperan penting memilihkan jodoh untuk anak laki-lakinya.
Para umi itu merasa dirinya adalah seorang ratu yang
mendapat mandat mencari pasangan untuk sang pangeran, anak laki-lakinya.
Ya...Para umi itu menempatkan anak laki-lakinya seperti
pangeran. Menurutku disinilah letak ketidakadilan itu
bermula. Mereka merasa berhak secara leluasa memilih para gadis.
Mereka akan memilih calon mempelainya seperti dalam sebuah kompetisi. Begitulah
yang terjadi padaku dulu.
Aku tidak akan rela anakku ikut
dalam kompetisi seperti ini. Tidak akan pernah kubiarkan putriku itu terjebak “berburu”
sepertiku dimasa lalu.
-----------------------------------------------------------
Mengapa aku tidak suka Hania menari...?
Aku tidak suka Hania menari karena sebuah keganjilan. Sebagian
besar laki-laki Arab mempunyai dualisme dalam memandang perempuan. Jika arti
perempuan menyentuh sosok ibu, maka mereka akan mengangkat nilainya setinggi
langit. Jika arti itu menyentuh sosok istri, maka mereka akan mengukur nilainya
dari kewajiban-kewajiban yang harus dijalankan.
Maka terjadilah keganjilan itu, dia
menjadi sangat lemah ketika berstatus sebagai istri tetapi sangat dominan jika dia berstatus sebagai ibu dari
anak laki-lakinya dan sebagai mertua yang menakutkan bagi
menantu perempuannya.
Aku percaya, bukanlah seorang
laki-laki yang baik jika dia mengagungkan ibunya tapi merendahkan istrinya. Begitu
juga sebaliknya, yang mengagungkan istrinya tapi merendahkan ibunya.
Tidak akan kubiarkan kelak permata hatiku itu dipilih oleh sesorang
yang dominan sebagai ibu dan menakutkan sebagai mertua.
Mengapa aku tidak suka Hania menari...?
Aku tidak suka Hania menari karena aku tahu
kedua anakku bernilai. Aku membesarkannya dengan nilai-nilai yang baik juga
doa-doaku selalu menyertai mereka. Setiap waktu, sepanjang hari.
Hania bukan Samia yang nyaris
sempurna. Hania lahir dengan bercak hitam samar di sebelah kiri
wajahnya. Bercak hitam itu ikut membesar seiring pertambahan usianya hingga
bagian kiri wajahnya nyaris tersaput. Bertahun-tahun kami saling merapatkan
tangan, berusaha keras melakukan apa yang harus dilakukan semua orangtua yang
mempunyai anak berbeda.
Kami berjuang untuk membuatnya tidak
merasa berbeda dan kami berhasil. Hania tumbuh sebagai gadis yang periang,
menyenangkan dan penuh percaya diri. Kulit wajahnya memang berbeda, selebihnya
Hania adalah gadis normal yang berusaha selalu tampil menarik.
Mengapa aku tidak suka Hania menari...?
Aku tidak suka Hania menari karena kuyakin nilai
seorang perempuan tidak diukur dari kecantikan fisiknya. Meski
keyakinan yang dipaksakan pada berjuta-juta perempuan diberbagai belahan
dunia lebih mengutamakan kecantikan fisik.
Apa yang akan aku ajarkan pada Hania
tentang arti kecantikan? Aku bisa mengatakan padanya panjang lebar tentang
hakekat kecantikan tetapi bila lingkungan sekitar mengepungnya dengan
nilai-nilai kecantikan yang berbeda maknanya dari apa yang aku ajarkan maka
dibutuhkan sebuah kata kunci selain dari apa yang kuberikan. Kata kunci itu adalah,
nilai diri sebagai seorang perempuan. Bagaimanapun berbedanya, dia adalah
seorang perempuan, seorang manusia yang tetap mempunyai nilai sebagai makhluk
Tuhan yang paling sempurna yang berhak disebut cantik. Perbedaan itu tidak akan
pernah menafikan sisi kemanusiannya.
Mengapa aku tidak suka Hania menari...?
Aku tidak suka Hania menari karena perbincangan disuatu sore.
”Umi, bolehkah aku menikah dengan laki-laki diluar Arab?”
Aku baru saja
berniat meminum tehku ketika pertanyaan Hania terlontar. Untung saja aku belum
meminumnya jika tidak, pasti aku tersedak. Sambil berusaha menenangkan diri
dalam kehangatan teh yang memenuhi kerongkongan, aku berusaha menebak darimana
pemikiran itu berasal. Sejenak aku teringat pertanyaan yang sama, kulontarkan
pada aba beberapa tahun silam. Tentu saja aku tak bisa menjawabnya dengan
jawaban yang diberikan aba padaku. Hania terlalu pintar bahkan melebihi diriku
saat seumurnya.
Kami sedang terlibat perbincangan ringan di teras belakang. Aku duduk
bersebelahan dengan Samia, Hania duduk sendiri berhadapan denganku dan satu
lagi, Faris, calon menantuku itu duduk disisi kiri Hania.
Faris mengubah
posisi duduknya, entah apa yang ada dibenaknya dengan pertanyaan calon adik
iparnya itu.
Faris, pemuda berperawakan sedang, tutur-katanya halus dan sopan. Satu
lagi, dia berasal dari golongan Alawiyin. Dalam kebersamaanku
bersama Faris tidak sekalipun aku melihatnya bersikap sombong seperti apa yang
selalu dikatakan aba padaku tentang laki-laki Alawiyin.
Di komunitas
Arab, perkawinan antara golongan Syaikh dan Alawiyin dipenuhi prasangka dan
kebanggan akan golongannya. Hampir saja aku menyerah jika saja tidak kulihat kesungguhan Faris
dan keteguhan Samia.
Setelah melalui
berbagai derai air mata dan doa yang tak pernah putus, akhirnya restu itu
keluar juga. Apa yang terjadi pada Samia dan Faris adalah suatu bentuk pergeseran
dan kompromi yang diusahakan dua keluarga demi kebahagiaan dua anak manusia yang sama-sama dikasihi.
Perbincangan di beranda sore itu mengabarkan padaku akan kegalauan
hatinya. Dalam beberapa pemikiran, Hania mirip denganku. Sebuah perenungan
masuk dikepalaku. Akan kukatakan pada anak terkasihku itu, di sisi seorang
perempuan akan selalu ada seorang laki-laki yang dikirim Tuhan untuk
menyintainya. Dan laki-laki itu, siapapun dia, kami akan selalu mendukungnya.
Tidak perlu khawatir anakku... Doa-doa
kami tidak berhijab.
Surabaya, media Mei 2014
Story by: Layla Fachir Thalib
No comments:
Post a Comment