Suara musik gambus terdengar keras
memekakkan telinga...Beberapa gadis saling menarik untuk menari di tengah
arena. Saida memandang sekeliling, dia tidak menemukan Hania, putri bungsunya. Sebetulnya
dia sudah akan beranjak menuju Samia, memintanya untuk menemukan adiknya itu.
Perasaannya was-was. Hania lenyap dari pandangannya.
Sepertinya dia terlambat...
Dilihatnya Hania sudah ditengah
arena, meliuk-liukan tubuhnya mengikuti irama lagu. Seuntai selendang hitam
bermanik-manik dililitkan ketat di pinggulnya. Seketika
Saida merasa dadanya sesak...
Di sela-sela teriakan antusias para
umi disekitarnya, sayup-sayup didengarnya mereka memuji-muji kemahiran Hania
menari. Dikuatkan hatinya untuk menyaksikan pertunjukan di depannya sampai
selesai. Setelah Hania turun, sejurus kemudian musik berganti berirama disko.
Tampak beberapa gadis menari lagi mengikuti
irama berhentak-hentak, suasana berubah seperti disebuah ajang lomba disko.
-----------------------------------------------------
”Hania! Apa jadinya kalau baba tahu
kamu masih tetap menari? ” hardikku dengan sorot mata tajam.
”Apa umi juga tidak suka aku menari?”
Pertanyaan itu terdengar ditelingaku sebagai sebuah ejekan. Kutarik
napas dalam-dalam, berusaha menahan
diri.
”Biasakanlah untuk menjawab
pertanyaan lebih dulu sebelum bertanya yang lain”
Lalu katanya, ”Hania yakin baba
tidak akan semarah umi”
”Oh...!” Anakku
ini sudah tahu kalau aku tidak pernah suka dia menari.
Hania masih berumur 15 tahun, masih
duduk dibangku kelas 3 SMP. Hanya saja perawakan badannya menurun dari ayahnya,
bongsor, terlihat seperti seorang gadis yang duduk dibangku terakhir SMA.
Berbeda dengan kakaknya, Samia, yang hampir tidak bermasalah. Hania memerlukan
pengawasan ekstra. Bukan karena dia bodoh atau perilakunya bermasalah, hanya
saja kesukaannya menari di acara pengantin pacar membuatku tidak nyaman. Ini
seperti sebuah dejavu. Hania
mewarisi beberapa sifatku termasuk kemahirannya menari mengalir secara genetik.
Setiap kali Hania menari, aku terlempar ke masa lalu, terbayang kembali
bagaimana aku menari. Aku harus berterimakasih pada umi yang bekerja keras
untuk menjadi tameng bagiku. Bagaimana seandainya aba tahu, setiap detil
tarianku? Mungkin aku sudah menikah saat usiaku masih 13 tahun.
Jawaban Hania masih terngiang-ngiang ditelingaku.
”Umi, aku menari karena aku suka. Kenapa
umi tidak pernah suka aku menari?”
Mengapa aku tidak suka Hania menari...?
Aku tidak pernah menyukainya menari karena menari di
malam pacar punya arti yang berbeda dibandingkan menari di acara-acara yang
lain. Menari di malam pacar adalah ajang memikat perhatian para
umi yang berperan penting memilihkan jodoh untuk anak laki-lakinya.
Para umi itu merasa dirinya adalah seorang ratu yang
mendapat mandat mencari pasangan untuk sang pangeran, anak laki-lakinya.
Ya...Para umi itu menempatkan anak laki-lakinya seperti
pangeran. Menurutku disinilah letak ketidakadilan itu
bermula. Mereka merasa berhak secara leluasa memilih para gadis.
Mereka akan memilih calon mempelainya seperti dalam sebuah kompetisi. Begitulah
yang terjadi padaku dulu.
Aku tidak akan rela anakku ikut
dalam kompetisi seperti ini. Tidak akan pernah kubiarkan putriku itu terjebak “berburu”
sepertiku dimasa lalu.
-----------------------------------------------------------
Mengapa aku tidak suka Hania menari...?
Aku tidak suka Hania menari karena sebuah keganjilan. Sebagian
besar laki-laki Arab mempunyai dualisme dalam memandang perempuan. Jika arti
perempuan menyentuh sosok ibu, maka mereka akan mengangkat nilainya setinggi
langit. Jika arti itu menyentuh sosok istri, maka mereka akan mengukur nilainya
dari kewajiban-kewajiban yang harus dijalankan.
Maka terjadilah keganjilan itu, dia
menjadi sangat lemah ketika berstatus sebagai istri tetapi sangat dominan jika dia berstatus sebagai ibu dari
anak laki-lakinya dan sebagai mertua yang menakutkan bagi
menantu perempuannya.
Aku percaya, bukanlah seorang
laki-laki yang baik jika dia mengagungkan ibunya tapi merendahkan istrinya. Begitu
juga sebaliknya, yang mengagungkan istrinya tapi merendahkan ibunya.
Tidak akan kubiarkan kelak permata hatiku itu dipilih oleh sesorang
yang dominan sebagai ibu dan menakutkan sebagai mertua.
Mengapa aku tidak suka Hania menari...?
Aku tidak suka Hania menari karena aku tahu
kedua anakku bernilai. Aku membesarkannya dengan nilai-nilai yang baik juga
doa-doaku selalu menyertai mereka. Setiap waktu, sepanjang hari.
Hania bukan Samia yang nyaris
sempurna. Hania lahir dengan bercak hitam samar di sebelah kiri
wajahnya. Bercak hitam itu ikut membesar seiring pertambahan usianya hingga
bagian kiri wajahnya nyaris tersaput. Bertahun-tahun kami saling merapatkan
tangan, berusaha keras melakukan apa yang harus dilakukan semua orangtua yang
mempunyai anak berbeda.
Kami berjuang untuk membuatnya tidak
merasa berbeda dan kami berhasil. Hania tumbuh sebagai gadis yang periang,
menyenangkan dan penuh percaya diri. Kulit wajahnya memang berbeda, selebihnya
Hania adalah gadis normal yang berusaha selalu tampil menarik.
Mengapa aku tidak suka Hania menari...?
Aku tidak suka Hania menari karena kuyakin nilai
seorang perempuan tidak diukur dari kecantikan fisiknya. Meski
keyakinan yang dipaksakan pada berjuta-juta perempuan diberbagai belahan
dunia lebih mengutamakan kecantikan fisik.
Apa yang akan aku ajarkan pada Hania
tentang arti kecantikan? Aku bisa mengatakan padanya panjang lebar tentang
hakekat kecantikan tetapi bila lingkungan sekitar mengepungnya dengan
nilai-nilai kecantikan yang berbeda maknanya dari apa yang aku ajarkan maka
dibutuhkan sebuah kata kunci selain dari apa yang kuberikan. Kata kunci itu adalah,
nilai diri sebagai seorang perempuan. Bagaimanapun berbedanya, dia adalah
seorang perempuan, seorang manusia yang tetap mempunyai nilai sebagai makhluk
Tuhan yang paling sempurna yang berhak disebut cantik. Perbedaan itu tidak akan
pernah menafikan sisi kemanusiannya.
Mengapa aku tidak suka Hania menari...?
Aku tidak suka Hania menari karena perbincangan disuatu sore.
”Umi, bolehkah aku menikah dengan laki-laki diluar Arab?”
Aku baru saja
berniat meminum tehku ketika pertanyaan Hania terlontar. Untung saja aku belum
meminumnya jika tidak, pasti aku tersedak. Sambil berusaha menenangkan diri
dalam kehangatan teh yang memenuhi kerongkongan, aku berusaha menebak darimana
pemikiran itu berasal. Sejenak aku teringat pertanyaan yang sama, kulontarkan
pada aba beberapa tahun silam. Tentu saja aku tak bisa menjawabnya dengan
jawaban yang diberikan aba padaku. Hania terlalu pintar bahkan melebihi diriku
saat seumurnya.
Kami sedang terlibat perbincangan ringan di teras belakang. Aku duduk
bersebelahan dengan Samia, Hania duduk sendiri berhadapan denganku dan satu
lagi, Faris, calon menantuku itu duduk disisi kiri Hania.
Faris mengubah
posisi duduknya, entah apa yang ada dibenaknya dengan pertanyaan calon adik
iparnya itu.
Faris, pemuda berperawakan sedang, tutur-katanya halus dan sopan. Satu
lagi, dia berasal dari golongan Alawiyin. Dalam kebersamaanku
bersama Faris tidak sekalipun aku melihatnya bersikap sombong seperti apa yang
selalu dikatakan aba padaku tentang laki-laki Alawiyin.
Di komunitas
Arab, perkawinan antara golongan Syaikh dan Alawiyin dipenuhi prasangka dan
kebanggan akan golongannya. Hampir saja aku menyerah jika saja tidak kulihat kesungguhan Faris
dan keteguhan Samia.
Setelah melalui
berbagai derai air mata dan doa yang tak pernah putus, akhirnya restu itu
keluar juga. Apa yang terjadi pada Samia dan Faris adalah suatu bentuk pergeseran
dan kompromi yang diusahakan dua keluarga demi kebahagiaan dua anak manusia yang sama-sama dikasihi.
Perbincangan di beranda sore itu mengabarkan padaku akan kegalauan
hatinya. Dalam beberapa pemikiran, Hania mirip denganku. Sebuah perenungan
masuk dikepalaku. Akan kukatakan pada anak terkasihku itu, di sisi seorang
perempuan akan selalu ada seorang laki-laki yang dikirim Tuhan untuk
menyintainya. Dan laki-laki itu, siapapun dia, kami akan selalu mendukungnya.
Tidak perlu khawatir anakku... Doa-doa
kami tidak berhijab.
Surabaya, media Mei 2014
Story by: Layla Fachir Thalib