Seorang ayah berlutut dihadapan gadis kecil yang tengah terisak di kursi. Sang ayah membisikkan sesuatu yang ajaib langsung meredakan isakan si gadis. Di kala lain, sang gadis kecil membisikkan sesuatu dan sang ayahnpun terangguk.
-------------------------
Seseorang membawa rekaman perjalanan hidupnya sepanjang keberadaannya. Rekaman yang paling powerfull adalah contoh nyata dalam keseharian. Begitupula dalam berumah tangga, aku membawa semua contoh itu dan menyimpannya dalam kotak memori dikepalaku. Ketika menikah aku masih berumur 23 tahun, usia yang sekarang dianggap kedinian untuk menikah. Secara psikologi dua puluh tiga tahun masuk dalam range dewasa awal, meski begitu penampakanku yang mungil dan culun cukup membuat tukang rias (sekarang lebih hits dengan sebutan Mua) dan bridal boutique menyangkaku baru lulus SMA.
"Nih...kecil-kecil koq sudah nikah, dijodohin ya..."
He..he...Iya sih betul tapi sudah cukup umur koq... Hanya secara psikologis, persiapan mental menuju pernikahan memang hanya setara sekolah lanjutan atas jadi bisa dibilang underachiever gitu...π
Ketika akan menikah atau saat menikah, tidak ada wejangan khusus dari ortu. Abi dan mama adalah tipe ortu klasik yang menganut paham, menikahlah sebagaimana orang-orang terdahulu (baca: sepupuku) menikah. Pernikahanku seperti pernikahan umumnya akan berjalan searah jarum jam. Diawali dengan perjodohan, baca fatehah, lamaran dan diakhiri dengan pernikahan. Kehidupan setelah menikah itu seperti apa, tugas tanggung-jawabnya seperti apa tak pernah ada yang mengulas. Aku hanya menerima wejangan sepotong-sepotong dan remeh-temeh misal tentang kopi. Beberapa amati dan halati (tante) mewanti-wanti untuk membuatkan kopi suami dengan tangan sendiri, pamali pembantu yang membuat. Ada juga wejangan lain yang intinya, suami adalah prioritas nomer satu.
Subhanallah, aku yang tidak terbiasa minum teh atau kopi (apalagi membuatnya) bertemu dengan seseorang yang kusebut suami yang juga tidak terbiasa dengan teh atau kopi. Gugurlah klausul number one. Alhamdulillah, pak suami ini ternyata penganut persamaan gender, artinya kemana-mana bersama-sama, ke pasarpun kita bersama...π
Lha gimana, seumur-umur gak pernah ke pasar, mau kepasar sendirian takut jadilah minta ditemani.
Setelah menikah, aku ikut kemanapun suami bertugas ya seperti mimi lan mintuno, ke hulu-hulu sungaipun ikut...π
Kisah LDR dimulai saat suami sudah menyelesaikan pendidikan spesialis orthopedinya. Saat itu mendapat dua tawaran, Madiun dan Bojonegoro. Dipilihlah Bojonegoro dengan pertimbangan jarak lebih dekat dan disepakati juga aku akan menyusul bersama anak-anak, paling tidak sampai sekolah si sulung sudah bisa dipindah. Ternyata...manusia hanya bisa sebatas berencana. Tahun berganti tahun, kondisi abi mulai menurun yang mengharuskannya bolak-balik perawatan dokter di Surabaya. Sebagai satu-satunya anak yang tinggal di Surabaya, aku merasa harus mengambil peran menjaga abi. Aku kebagian tugas mendaftarkan sekalian menemani abi masuk keruang periksa dokter. Maklum abi kalau tidak ada saksi sering melanggar pantangan dokter, nasehat mama sering diabaikan. Dan biasanya sehabis dari dokter, abi bermalam dua atau tiga hari di Surabaya. Aku merasa harus stanby di Surabaya untuk menjaga abi.
Setelah berunding dengan suami, dia tidak keberatan hanya saja jadwal pulangnya atau jadwal kunjungaku ke Bjn dipersering. Rencana tiga tahun aku menyusul ke Bjn, dirubah menjadi suami yang akan pindah ke Surabaya. Tak terasa waktu berlalu seperti angin, sampailah pada tahun ke enam LDR. Suami mengambil pendidikan lanjutan menjadi Konsultan Hip and Knee. Dan setelah selesai suami berupaya masuk Surabaya tapi sayang terkendala dengan ijin dan formasi yang tersedia di tempat tujuan. Tunggu-menunggu ijin dan formasi tak terasa menginjak empat belas tahun LDR...π
Dari Abu Hurairah ra, Nabi
SAW, bersabda: “Barang siapa yang melepaskan satu kesusahan seorang
mukmin, pasti Allah akan melepaskan darinya satu kesusahan pada hari
kiamat. Barang siapa yang menjadikan mudah urusan orang lain, pasti Allah akan memudahkannya di dunia dan di akhirat.
Seandainya lebih banyak orang yang tahu tentang hadist ini ya...π
Waktu empat belas tahun tak terasa lama karena kita tetap sering bertemu paling tidak seminggu dua kali, apalagi kalau ada seminar atau pelatihan aku selalu turut serta serasa gak LDR deh. Apalagi banyak temen sepertiku juga, berpisah rumah dengan suami dengan pelbagai alasan. Aku masih merasa LDR baik-baik saja sampai...
The virus taught me...
Saat virus covid-19 bergentanyangan di udara, saatWFH berlaku, saat melockdownkan diri dari kegiatan tak mendesak dan tak penting ada banyak waktu dirumah untuk saling bertinteraksi, suami-istri, kakak-adik, ayah-anak-ibu-anak, ayah-ibu dan anak-anak. Ternyata nikmat ya berkumpul sebagai satu keluarga yang utuh. Nikmat ya bisa melihat suami setiap harinya. Nikmat ya melakukan hal kecil bersama-sama, ayah-ibu-anak. Nikmat ya memberi kesempatan anak ngobrol sepuasnya dengan ayahnya, bisa besok bisa besoknya lagi, bisa kapan saja (saat LDR khan terbatas, wakty efektif untuk anak-anak paling cuman minggu saja).Ternyata nikmat ya melihat anak-anak bercengkerama dengan ayahnya. Nikmat ya melihat ayah mengajarkan sesuatu pada anak-anak perempuannya. Ternyata banyak kenikmatan lain yang aku baru menyadarinya kembali. Sebelumnya aku khan pernah merasakan kehangatan keluarga yang utuh sampai LDR membuat kita lengah...π
I have to say No for LDR
Ada suatu kondisi dimana LDR tak bisa dihindari, misal: saat salah-satu pasangan terikat kedinasan atau kontrak yang mengharuskan menetap di daerah tersebut atau saat pasangan dipindahtugaskan kerja ke daerah baru atau saat salah-satu pasangan menempuh pendidikan di luar kota atau luar negeri atau ada sebab lain yang lebih personal. Untuk alasan-alasan shahih seperti diatas, LDR sah-sah saja hanya ada catatan: waktunya dibatasi, tiga atau empat tahun sudah cukup, kalau lebih mohon ditinjau kembali....sayaaaang bangeeeet waktu-waktu yang terlewat.
Sebelumnya aku tidak menyadari ada sesuatu yang terlewat sampai sesuatu yang lain menyapaku lewat kehangatan sebuah keluarga yang utuh. Narasi diawal tulisan menggambarkan interaksi seorang gadis kecil dengan ayahnya. Menggambarkan
seorang gadis yang sedih karena akan ditinggal pergi oleh ayahnya keluar kota. Dan setelah dibujuk akan dibawain oleh-oleh makanan atau mainan
kesukaannya maka si gadis kecil menjadi riang kembali. Keadaan berulang,
si gadis tak sedih lagi ditinggal karena dia sudah punya permintaan
yang dia tahu akan dikabulkan oleh ayahnya. Paragarap berikutnya itulah yang terjadi padaku dan suami. Kotak memoriku dipenuhi contoh nyata bagaimana pelajaran hidup kudapat dari abi dan mama sementara suami juga menyimpan kotak memorinya sendiri. Suami berasal dari keluarga yang terdiri dari tujuh saudara laki-laki dan satu saudara perempuan. Struktur gender yang demikian membentuk karakter yang tangguh bagi tiap-tiap anak. Kalau fokus suami mendidik keluarga lebih pada kemandirian, kalau fokusku lebih kearah reward and punishment.
Kenapa aku tidak merasa berat melalui LDR sampai empat belas tahun? Ya karena, titik fokus hanya pada hubunganku dan suami akan baik-baik saja. Alhamdulillah memang baik-baik saja...π
Tapi...Bukankah keluarga tidak hanya dilihat dari hubungan suami dan istri yang baik-baik saja...?
Keluarga juga melibatkan anak-anak. Bagaimana mereka berinteraksi dalam sebuah kehangatan yang utuh. Bagaimana mereka berproses, belajar, bersikap, bertindak dll...yang mereka lihat dan duplikasi dari kedua orangtuanya. Sebagai satu-satunya anak perempuan (saat itu) aku lebih memilih dirumah didalam kamarku membaca buku-buku. Profileku memang begitu, tidak suka pergi sampai-sampai seorang sepupu menjulukiku perawan Kubu. Bukan salah bunda mengandung kalau sifat ini menurun secara genetis ke anak bungsu. Sementara anakku yang sulung tenggelam dengan dunianya sendiri tanpa melibatkan kita (karena sifat mandirinya) dan sangat menikmatinya.
Ila
kecil melihat abi dan mama selalu bersama, kemana abi pergi selalu ada
mama. Akupun begitu, selalunya aku menempel kek perangko, kemana suami
pergi aku ikut. Bahkan terkadang hanya aku satu-satunya ibu-ibu sebaya
yang ikut...π
Lalu...Aku memperlakukan dua putri dewiku sepertiku dulu. Aku berusaha memenuhi kebutuhan dan memberi mereka reward karena menjadi anak yang manis dan tidak merepotkan. Memberi apa yang mereka minta kecuali menghadirkan kehangatan ayah ditengah mereka selain diwaktu-waktu tertentu, week-end atau liburan...Ini yang kita lengah... πππ
Kita lengah dengan LDR. Meski anak-anak sangat dekat dengan ayahnya, akan tetapi mestinya lebih banyak lagi nilai-nilai yang bisa dicopas atau yang seharusnya bisa ditransfer dengan mudah jadi terdelay, tidak connect atau tercancel. Ya iyalah mesti ada beda antara yang seutuhnya bersama-sama setiap hari dengan yang bersama pada saat tertentu saja.
Bukankah kwalitas lebih penting daripada kwantitas...?
Hmm...Menurutku kwantitas sangat penting bahkan ada kalanya kwantitas bisa menentukan kwalitas terutama dalam menanamkan keimanan pada anak-anak. Misalnya: membaca quran bersama sehabis sholat magrib, tahajud bersama, mendengarkan kajian bersama-sama dll.
I have to say no to LDR
LDR tidak sederhana dan semudah pengucapannya. Ada banyak tantangan dan konskwensi yang harus dihadapi pasangan yang melakukannya. Masalah ini menghantui layaknya momok. Ada tiga momok yang terekam berdasarkan pengalamanku.
Momok kesatu dalam LDR adalah Miskomunikasi yang merupakan embrio dari perdebatan # perselisihan # pertengkaran.
Dan terbukti, momok komunikasi kita adalah Signal Hp...πͺDuh...gimana gak kesal, lagi kangen pengin ngobrol, suara terdengar terputus-putus atau pas ada info penting, mau kasih khabar, e...malah gak nyambung atau pas emergency call, telpon malah gak diangkat padahal nadanya masuk. Sidin punya selidik gak tahunya si doi lagi diruang operasi. Ya pantesan telponnya gak diangkat tapi akunya sudah kadung kesel dan pegel duluan...π₯
Penghalang komunikasi yang kedua adalah ritme pertemuan. Bagi yang LDR antar pulau atau bahkan antar negara yang ketemuannya hanya bisa sekali-sekali, ini juga berpotensi jadi pemicu miskomunikasi. Tapi mungkin kalau LDR berjauhan begini tgt juga pada komitment yang dibuat. Percayalah seberapa sering menelpon atau vidcall, pertemuan fisik tetap harus diagendakan.
Momok kedua dalam LDR adalah cemburu.
Aslinya aku itu bukan orang yang gampang cemburu tapi kalau dikomporin ya terkadang kesulut juga sih. Perempuan memang aneh, kadang mimpi aja bisa memanaskan tungku.
"Dapat khabar dari mana itu ?"
"Ini bukan khabar tapi mimpi..."
"Hah...! Mimpi koq dipercaya..."
"Ini seperti nyata..."
"Istigfar bu...Jangan sering nonton drakor ya"
π
Cemburu itu seperti kompor kalau sudah meleduk, apinya kemana-mana, susah padamnya. Setiap pasangan punya caranya sendiri untuk mengatasi sindroma ini karena sebetulnya cemburu adalah paket komplit dalam pernikahan sebagaimana sedih, bahagia, marah, khawatir, takut dll.
Pengalamanku mengatasi cemburu saat LDR adalah dengan mengkampayekan slogan glasnost dan perestroika. Saling terbuka dan reformasi diri. Bersifat terbuka (baca: jujur) itu maha penting karena ini mengartikan adanya kerjasama yang baik antar pasangan. Dan bila ada masalah bisa diatasi lebih dini.
Tips menangkal serangan rumor atau bila ada yang julid dengan LDR, biasanya aku akan berakting calm n cool. Ntar dirumah suami mau diinterogasi, mau dihipnotis atau disihirpun gpp yang penting jangan kasih makanan sama orang yang julid. Keenakan dong yang julid, bisa bobo nyenyak sementara kitanya masih perang tanding.
Memang sih, tak dapat disangkal godaan saat LDR lebih besar dibanding pasangan yang serumah. Ibarat pagar, kalau serumah itu pagarnya tertutup rapat tapi kalau LDRan, dipagarnya terlihat ada celah yang mengintip. Dan itu adalah sasaran empuk bagi pengikut-pengikut Dasim (nama setan yang bertugas khusus merusak hubungan rumah-tangga seseorang).
Disinilah pentingnya reformasi diri menjadi lebih baik, lebih mendekatkan diri kehal-hal religi, mempersiapkan husnul khotimah, akhir kehidupan yang didambakan setiap muslim. Saat LDR, benteng pertahanan diri memang harus dibooster dengan keimanan yang lebih baik.
Momok ketiga dalam LDR adalah, penyesuaian
Hubungan
suami-istri adalah hubungan yang bersifat unik, personal yang tidak
bisa dibandingkan antara pasangan yang satu dengan pasangan yang lain.
Anak aja unik apalagi suami-istri yang notobene adalah dua kepribadian
yang dibesarkan dengan cara berbeda, dipersatukan dalam satu ikatan
sakral, pernikahan. Menilik keunikannya maka dibutuhkan adaptasi dan
penyesuaian sepanjang rentang perkawinan.
LDR
dapat menyebabkan proses penyesuaian ini terganggu dapat ringan, sedang
atau berat tergantung hubungan yang terbina sebelumnya. Contoh kecilnya: masalah kebiasaan.
Aku sih mahfum kalau si ayah tidak sekufu denganku dalam masalah clear and clean. Untuk menjaga suasana aman-tentram-damai, aku menyediakan baju dan pernak-perniknya sebelum si ayah mengambil sendiri. Atau kalau dalam kondisi out of service, paling tidak masih ada empati untuk tidak mengacak-ngacak isi lemari dll. Nah LDR menyebabkan insting survive in the junglenya si ayah kambuh. Kalau sudah sebulan aku gak sempat visit (karena suami yang riwa-riwi sby) pas saat datang, si ayah menyambut dengan kalimat pembuka
"Bagaimana sudah rapih khan...? Aku semua yang beresin lho..."
Rapika sih sekilas. Coba kita lihat lebih detil, isi lemari jangan ditanya deh, bukan hanya baju tapi kaleng biskuit, sambal sachet dan popmie juga bisa nangkring disana. Dan yang membuatku tak bisa berkata-kata saking terharunya pemasangan seprei dan bantal gulingnya ketuker-tuker serinya...π
Contoh kategori sedang: Karena tidak ada istri dan anak bersamanya, si ayah sifat workaholicnya tak terbendung. Akibatnya kerugian material: jatuh sakit sedang kerugian immaterialnya, saat wakuncar keluarga, kelelahan dan kurang sensitif dengan keinginan liburan dan yang sejenis.
Masalah penyesuaian sesudah LDR bukan saja rumit bagi pasangan tapi juga berimbas ke anak-anak. Dari yang awalnya ada setiap hari menjadi terbatas dan kembali lagi ada. Perlu waktu untuk memetakan sosok yang tiba-tiba hadir kembali dalam keseharian aktivitas. Tidak seperti saat awal menikah sih tapi jika tak segera diatasi, kehadiran kembali pasangan akan dirasakan sebagai gangguan terhadap privacy (misal: bakal ada yang minta pin hp, atm atau bahkan kk, hhh... ) Bagi anak-anak, kehadiran kembali sosok ayah yang selalu ada seperti mendapat bulan, bintang dan matahari sekaligus. Ini berarti tersedianya kehangatan, kebahagian include peraturan-peraturan baru.
Nah setelah melihat ulasan berikut contoh-contoh diatas, masihkan say Yes terhadap LDR?
Me: I will say No...
Note:
Ada juga sharing info dari seorang teman yang menjalani LDR dengan ibunya yang sakit. Secara rutin si teman yang sholehah ini mengunjungi ibunya meski harus menempuh jarak tigaratus kilometer untuk datang ke kota tempat si ibu tinggal. Stay dua atau tiga hari disana kemudian pulang. Gak capek...? Ya capeklah tapi setimpal koq dengan yang dia rasakan...π
Btw:
Tulisan
ini tidak bermaksud menonjolkan penyesalan. Just sharing and caring,
mungkin bisa dijadikan masukan sebelum mengambil keputusan. Bagiku,
apapun itu (baca: LDR) jika karena/untuk Abi adalah sangat berharga jadi
tak ada yang perlu disesali...π
Semoga bermanfaat, see you in the next post...π