Seorang teman mengirimkan forward sms (dari teman yang lain) bunyinya: "Alhamdulillah kunci surgaku sudah kembali kekedua orangtuaku".
Terlepas dari apa permasalahannya dan juga karena tulisan ini tidak sedang membahas perkawinan, aku lebih fokus pada kata-kata alhamdulillah dan kembali.
Sebenarnya bagi perempuan (in fact) lebih mudah manakah, kunci surga saat diorangtua atau saat di suami?
Yuk, sharing yuk...
Kesan yang tersurat dari kata Alhamdulillah dan kembali siteman diatas, mengesankan bagi dia lebih mudah jika kunci surga ada ditangan kedua orangtuanya dibanding suaminya. Mungkin begitu ya...WallahuA'lamBishawab.
Kesan yang tersurat dari kata Alhamdulillah dan kembali siteman diatas, mengesankan bagi dia lebih mudah jika kunci surga ada ditangan kedua orangtuanya dibanding suaminya. Mungkin begitu ya...WallahuA'lamBishawab.
------------
Ketika seorang teman kena musibah, dia bingung memikirkan bagaimana cara mengabarkan berita buruk itu ke ayahnya (ibunya sudah meninggal). Teman tadi sangat menjaga perasaan ayahnya. Dia sangat berhati-hati saat menyampaikan khabar buruk tentang keluarganya kepada ayahnya agar ayahnya tidak bersedih.
Masyaallah Tabarakallah...
Sementara disisi yang lain, miris membaca berita yang mewartakan bila ada anak menggugat ibu kandung atau ayah kandung. Anak yang menelantarkan orangtuanya, anak yang mengusir orangtuanya atau kasus invisible "ringan", anak yang cuek terhadap orangtuanya.
Memang sih orangtua kita bukan maksum tetapi mereka adalah pemegang kunci surga kita. Bagaimana kita akan membuka pintu surga kalau orang yang memegang kuncinya tersakiti oleh ulah kita (apapun dalihnya).
Kalau pas buka-buka medsos, ada banyak cerita yang menginspirasi tentang hubungan orangtua-anak. Iklan-iklan layanan sosial banyak dibuat untuk lebih menghargai orangtua terutama disaat mereka menua dan lemah.
Ceritanya sungguh menginspirasi...
Jangankan pada orangtuanya yang masih hidup, pada orangtuanya yang sudah meninggal saja, seorang anak diwajibkan untuk memuliakannya.
Bagaimana cara memuliakan Orangtua yang masih hidup?
Dengan membelikan mereka rumah?
Dengan memberi mereka uang?
Dengan mencukupi kebutuhan mereka secara berlimpah?
Dengan menaikkan haji atau mengajaknya umroh berkali-kali?
Mungkin saja...
Itu beberapa varian yang jawabannya masih mungkin tapi jawaban yang pastinya adalah: dengan menjadi anak sholeh/sholehah.
Sulitkah menjadi anak sholeh/sholehah dibanding lima varian diatas?
Menjadi anak sholeh adalah cara yang paling mudah 'mengabdi' pada orangtua.
Yang dibutuhkan hanya seberapa besar cinta kita pada orangtua dan ketakwaan kita pada Allah SubhanallahuWataala sebagai Sang pencipta. Ketakwaan itulah yang akan menuntun rasa cinta kita pada orangtua dan bagaimana memperlakukan mereka.
Rasa cinta seorang anak pada orangtuanya tumbuh secara naluri meski beda kasta dengan rasa cinta orangtua terhadap anak. Ini hal yang natural.
Yang sedikit sulit adalah menumbuhkan ketakwaan terutama di usia muda dalam rentang kehidupan (awal masa baligh). Alhamdulillah, kesulitan ini banyak mengilhami para orangtua untuk mengirim anaknya sedini mungkin ke sekolah-sekolah berbasis agama.
Tetapi melempar tugas masalah ketakwaan seorang anak pada sekolah tentu saja tidaklah cukup, peran orangtua tetap dituntut lebih dominan. Dan setelah anak itu baligh (remaja), si anak juga dituntut untuk mengembangkan ketakwaannya dengan usahanya sendiri dan tetap mendapat bimbingan dari orangtuanya.
Ketika membaca cerita anak seorang artis (yang sudah hijrah), pergi dari rumah tanpa pamit dan kemudian si ayah mengakui kesalahannya karena terlampui keras pada anaknya. Kata-katanya yang kuingat:
"Biarlah Allah yang memberi dia hidayah tugas kita membimbing dan mendoakannya"
Setiap orangtua mempunyai caranya sendiri untuk mendidik anak-anaknya menjadi anak sholeh/shalihah.
Subhanallah...
Aku merasa sedikit lebih baik mengetahuinya. Kadang aku merasa terlalu keras pada anak, terkadang merasa terlalu lemah pada anak. Banyak-gak ya ibu-ibu yang begini...?
Mempunyai dua anak cewek membuatku menjadi ibu yang harus cerewet terutama soal pakaian dan keselamatannya. Kita termasuk orangtua yang terlambat mengharuskan anak memakai jilbab. Sisulung berjilbab diawal kuliah sementara si bungsu memakai jilbab saat kelas tujuh.
Tak ada penolakan...Bukan berarti tak ada masalah. Aku selalu cerewet tentang baju yang dipake anak-anakku. Kalimat yang kulontarkan, jangan terlalu ketat celananya hingga menampakkan bentuk kaki, jangan terlalu pendek baju atasannya, jangan terlalu pendek jilbabnya, jangan...jangan...Anak-anakku sudah hapal.
Bisakah anak-anakku menerimanya tanpa keberatan?
Sebagaimana remaja yang sering bersebrangan dengan orangtua dalam hal keinginan, kemauan dan pilihan begitu juga dengan mereka. Mungkin (?)Kita masuk dalam kategori orangtua yang penuh rasa khawatir, cerewet dan tidak menyenangkan. Karenanya ketika menemukan video ini di laman fb, senang sekali rasanya bertemu 'sejawat'
Dalam rangka mencetak anak shalehah, kita sebagai ortu tak akan gentar tiap kali ada yang ngambek, marah, kesel, bete dll. Seberapa sering mereka melakukan kesalahan sesering itupula kita akan menegurnya. Kita rela dilabelin predikat otoriter, diktator, pemarah, cerewet, nyinyir dll apasaja deh gpp, asalkan anak-anak kita selamat dari api neraka. Mungkin banyak yang tidak sependapat. Banyak juga orang yang berusaha bersikap demokrat pada anak meski sianak nyata-nyata bersalah. Mungkin mereka punya cara tersendiri dalam rangka mendidik anak menjadi anak sholeh.
Begitulah kita sebagai orangtua. Sebaliknya begitupulah orangtua terhadap kita.
Sebagai hamba Allah dengan dua kewajiban, sebagai orangtua dari anak-anak kita dan anak dari orangtua kita, selayaknya kita sadar bahwa tugas orangtua demikian berat. Karenanya sudah selayaknya kita ikhlas dan sabar terhadap apapun perlakuan orangtua terhadap kita apalagi jika salah-satu dari orangtua kita sudah tiada (self reminder)
Apa yang dapat kita persembahkan ketika semua benda berharga didunia tidak lagi ada artinya dialam kubur. Hanya amalan sebagai anak sholehlah yang dapat menyelamatkan orangtua kita. Amalan anak sholeh itulah tolok ukur rasa cinta kita yang sesungguhnya pada orangtua bukan airmata atau ungkapan dukacita yang terekspose.
Apakah kita punya waktu untuk merenungkan bagaimana kondisi orangtua kita dialam kubur (khususnya yang salah-satu atau kedua orangtuanya sudah berpulang)? Dimana dalam doa-doa, kita berharap mereka ditempatkan ditempat terbaik disisi Allah SubhanallahuWataala.
Bantulah mereka untuk mendapatkan tempat terbaik itu dengan menjadi anak sholeh.
Bagaimanapun cara mereka mendidik kita, apakah dengan keteladanan, kebijaksanaan ataukah dengan keterbatasan berikut kesalahan-kesalahannya.
Bila kedua orangtua kita masih lengkap, mungkin kita tidak sadar betapa berharganya mereka. Kita bisa lalai, bisa saja abai, bisa saja lengah akan keberadaan atau kebutuhan mereka. Ketika salah-satunya atau keduanya sudah tiada, barulah muncul penyesalan. Pada waktu itulah nasi sudah menjadi bubur dan supaya sibubur tidak basi, cepet-cepatlah menjadi anak sholeh.
Jadi anak sholeh itu seperti apa?
Ini ada diskripsi sholeh yang inshaallah bisa mewakili baca
Anak shaleh menciptakan keluarga Samara
Kunci surga bagi anak laki-laki adalah ibunya (baca: orangtua) Sementara kunci surga bagi anak perempuan adalah suaminya.
Note: Bagi seorang gadis jangan pilih suami yang mengabaikan orangtuanya terutama ibunya. Bagaimana dia akan jadi kunci surga bagimu jika dia sendiri mengabaikan kunci surganya?
Bagaimana pula dia bisa baik kepada mertuanya jika pada orangtuanya sendiri dia abai.
Sebaliknya bagi laki-laki jangan pilih istri yang menyebabkanmu menjauh dari orangtua terutama ibumu. Bagimana bisa kau membuka pintu surga dan masuk didalamnya jika dia menghilangkan kunci surganya. Anak lelaki itu milik ibunya bukan milik istrinya.
Setiap kali memaknai kalimat ini, sebenarnya aku jadi harap-harap cemas, khawatir saja mengingat aku adalah ibu dari dua anak perempuan.
Meski kita selalu berusaha memberikan keteladanan dan mengajarkan ilmu-ilmu dasar seperti tersebut diatas, kecemasan masih tidak bisa sepenuhnya menjauh dari kepalaku. Mengapa?
Karena sebetulnya secara fitrah, istri itu dibentuk oleh suaminya. Kalau Imamnya bener, inshaallah makmumnya juga ikut bener.
Berdasarkan pengalaman masa lalu, alhamdulilah aku bisa melalui pemahaman ini dengan berproses. Peran suami sebagai imam dalam memaknai kalimat diatas sangatlah penting. Sebagaimana kita tahu, pasangan muda kerap melakukan kesalahan diawal fase pernikahan,baca.
Begitu juga denganku. Aku yang dibesarkan dengan kasih sayang melimpah dari abi (maklum sebagai anak perempuan sigle fighter selama kurleb 11 tahun) sempat terkaget-kaget ketika apa yang akan aku lakukan juga harus sepengetahuan dan restu mertua, misal dalam hal kecil pemberian nama anak.
Lho, bukankah itu hak prerogatifku sebagai orangtua?
Aku menamai anak pertama kami Sirin, dengan pertimbangan nama itu masih langka dan keren. Untuk artinya sampai sekarangpun aku masih belum tahu, yang kutahu hanyalah nama itu adalah nama adik dari istri Rasulullah, Mariyah Qibthiyah. Inilah masalahnya, mertua tidak bisa menerima pemberian nama yang terkesan tanpa arti.
Aku yang terbiasa melakukan apa yang kumau bersikeras mempertahankan nama Sirin untuk anak pertamaku. Aku merasa hakku sebagai orangtua terkoreksi dan aku keberatan. Disinilah peran suami sebagai imam sangatlah penting. Dengan kesabaran dan kasih sayang (masyaallah tabarakallah), suami yang sedang bertugas diluar pulau sebagai dokter PTT berusaha melunakkan hatiku melalui suratnya yang berlembar-lembar (saat itu tidak ada Hp/Wa). Aku dimintanya menulis surat ke mertua menjelaskan alasanku menyukai nama Sirin dan tak lupa, suami merequest untuk aku menanyakan ke mertua, nama apa yang akan ditambahkan dibelakang nama Sirin. Jadilah aku menulis dua lembar surat permohonan maaf telah menamai anak tanpa menanyakan dulu pertimbangan aba dan umik (mertua) sekaligus meminta saran mereka untuk menambah nama belakang Sirin. Dengan pendekatan yang baik, akhirnya mertua setuju menambahkan nama Salsabila jadilah nama hasil kompromi: Sirin Salsabila.Win-win solution...
Berdasarkan pengalama pribadi itulah, dalam setiap doa-doaku, aku memohon jodoh terbaik untuk kedua anak perempuanku. Seorang laki-laki yang shaleh dan anak yang shaleh. Seorang suami yang dapat bersikap bijak pada istrinya tanpa mengabaikan orangtuanya.
Untuk membentuk keluarga Samawa, mulailah dari proses memilih calon. Pilihlah calonmu dengan melihat ketakwaanya pada Robnya dan sikapnya pada orangtua. Seharusnya orang yang bertaqwa adalah juga orang yang berakhlaq. Tapi case percase ada juga yang berdiri sendiri tidak berunited antara ketaatannya pada Robnya dan ketaatannya pada orangtuanya. Mungkin ada faktor X-ray yang jadi penghambat. WallahuAllam.
Semoga kita bisa berproses menjadi anak yang sholeh dan orangtua yang shaleh jua. Amin YaRobbalAlamin.
See you in the next post...
Memang sih orangtua kita bukan maksum tetapi mereka adalah pemegang kunci surga kita. Bagaimana kita akan membuka pintu surga kalau orang yang memegang kuncinya tersakiti oleh ulah kita (apapun dalihnya).
Kalau pas buka-buka medsos, ada banyak cerita yang menginspirasi tentang hubungan orangtua-anak. Iklan-iklan layanan sosial banyak dibuat untuk lebih menghargai orangtua terutama disaat mereka menua dan lemah.
Ceritanya sungguh menginspirasi...
Jangankan pada orangtuanya yang masih hidup, pada orangtuanya yang sudah meninggal saja, seorang anak diwajibkan untuk memuliakannya.
Bagaimana cara memuliakan Orangtua yang masih hidup?
Dengan membelikan mereka rumah?
Dengan memberi mereka uang?
Dengan mencukupi kebutuhan mereka secara berlimpah?
Dengan menaikkan haji atau mengajaknya umroh berkali-kali?
Mungkin saja...
Itu beberapa varian yang jawabannya masih mungkin tapi jawaban yang pastinya adalah: dengan menjadi anak sholeh/sholehah.
Sulitkah menjadi anak sholeh/sholehah dibanding lima varian diatas?
Menjadi anak sholeh adalah cara yang paling mudah 'mengabdi' pada orangtua.
Yang dibutuhkan hanya seberapa besar cinta kita pada orangtua dan ketakwaan kita pada Allah SubhanallahuWataala sebagai Sang pencipta. Ketakwaan itulah yang akan menuntun rasa cinta kita pada orangtua dan bagaimana memperlakukan mereka.
Rasa cinta seorang anak pada orangtuanya tumbuh secara naluri meski beda kasta dengan rasa cinta orangtua terhadap anak. Ini hal yang natural.
Yang sedikit sulit adalah menumbuhkan ketakwaan terutama di usia muda dalam rentang kehidupan (awal masa baligh). Alhamdulillah, kesulitan ini banyak mengilhami para orangtua untuk mengirim anaknya sedini mungkin ke sekolah-sekolah berbasis agama.
Tetapi melempar tugas masalah ketakwaan seorang anak pada sekolah tentu saja tidaklah cukup, peran orangtua tetap dituntut lebih dominan. Dan setelah anak itu baligh (remaja), si anak juga dituntut untuk mengembangkan ketakwaannya dengan usahanya sendiri dan tetap mendapat bimbingan dari orangtuanya.
Ketika membaca cerita anak seorang artis (yang sudah hijrah), pergi dari rumah tanpa pamit dan kemudian si ayah mengakui kesalahannya karena terlampui keras pada anaknya. Kata-katanya yang kuingat:
"Biarlah Allah yang memberi dia hidayah tugas kita membimbing dan mendoakannya"
Setiap orangtua mempunyai caranya sendiri untuk mendidik anak-anaknya menjadi anak sholeh/shalihah.
Subhanallah...
Aku merasa sedikit lebih baik mengetahuinya. Kadang aku merasa terlalu keras pada anak, terkadang merasa terlalu lemah pada anak. Banyak-gak ya ibu-ibu yang begini...?
Mempunyai dua anak cewek membuatku menjadi ibu yang harus cerewet terutama soal pakaian dan keselamatannya. Kita termasuk orangtua yang terlambat mengharuskan anak memakai jilbab. Sisulung berjilbab diawal kuliah sementara si bungsu memakai jilbab saat kelas tujuh.
Tak ada penolakan...Bukan berarti tak ada masalah. Aku selalu cerewet tentang baju yang dipake anak-anakku. Kalimat yang kulontarkan, jangan terlalu ketat celananya hingga menampakkan bentuk kaki, jangan terlalu pendek baju atasannya, jangan terlalu pendek jilbabnya, jangan...jangan...Anak-anakku sudah hapal.
Jojon dibawa-bawa 🙈
Bisakah anak-anakku menerimanya tanpa keberatan?
Mamanya diprotes 🙈
Mamanya dijadikan meme 🙈
Sebagaimana remaja yang sering bersebrangan dengan orangtua dalam hal keinginan, kemauan dan pilihan begitu juga dengan mereka. Mungkin (?)Kita masuk dalam kategori orangtua yang penuh rasa khawatir, cerewet dan tidak menyenangkan. Karenanya ketika menemukan video ini di laman fb, senang sekali rasanya bertemu 'sejawat'
Dalam rangka mencetak anak shalehah, kita sebagai ortu tak akan gentar tiap kali ada yang ngambek, marah, kesel, bete dll. Seberapa sering mereka melakukan kesalahan sesering itupula kita akan menegurnya. Kita rela dilabelin predikat otoriter, diktator, pemarah, cerewet, nyinyir dll apasaja deh gpp, asalkan anak-anak kita selamat dari api neraka. Mungkin banyak yang tidak sependapat. Banyak juga orang yang berusaha bersikap demokrat pada anak meski sianak nyata-nyata bersalah. Mungkin mereka punya cara tersendiri dalam rangka mendidik anak menjadi anak sholeh.
Begitulah kita sebagai orangtua. Sebaliknya begitupulah orangtua terhadap kita.
Sebagai hamba Allah dengan dua kewajiban, sebagai orangtua dari anak-anak kita dan anak dari orangtua kita, selayaknya kita sadar bahwa tugas orangtua demikian berat. Karenanya sudah selayaknya kita ikhlas dan sabar terhadap apapun perlakuan orangtua terhadap kita apalagi jika salah-satu dari orangtua kita sudah tiada (self reminder)
Apa yang dapat kita persembahkan ketika semua benda berharga didunia tidak lagi ada artinya dialam kubur. Hanya amalan sebagai anak sholehlah yang dapat menyelamatkan orangtua kita. Amalan anak sholeh itulah tolok ukur rasa cinta kita yang sesungguhnya pada orangtua bukan airmata atau ungkapan dukacita yang terekspose.
Apakah kita punya waktu untuk merenungkan bagaimana kondisi orangtua kita dialam kubur (khususnya yang salah-satu atau kedua orangtuanya sudah berpulang)? Dimana dalam doa-doa, kita berharap mereka ditempatkan ditempat terbaik disisi Allah SubhanallahuWataala.
Bantulah mereka untuk mendapatkan tempat terbaik itu dengan menjadi anak sholeh.
Bagaimanapun cara mereka mendidik kita, apakah dengan keteladanan, kebijaksanaan ataukah dengan keterbatasan berikut kesalahan-kesalahannya.
Bila kedua orangtua kita masih lengkap, mungkin kita tidak sadar betapa berharganya mereka. Kita bisa lalai, bisa saja abai, bisa saja lengah akan keberadaan atau kebutuhan mereka. Ketika salah-satunya atau keduanya sudah tiada, barulah muncul penyesalan. Pada waktu itulah nasi sudah menjadi bubur dan supaya sibubur tidak basi, cepet-cepatlah menjadi anak sholeh.
Jadi anak sholeh itu seperti apa?
Ini ada diskripsi sholeh yang inshaallah bisa mewakili baca
Anak shaleh menciptakan keluarga Samara
Kunci surga bagi anak laki-laki adalah ibunya (baca: orangtua) Sementara kunci surga bagi anak perempuan adalah suaminya.
Note: Bagi seorang gadis jangan pilih suami yang mengabaikan orangtuanya terutama ibunya. Bagaimana dia akan jadi kunci surga bagimu jika dia sendiri mengabaikan kunci surganya?
Bagaimana pula dia bisa baik kepada mertuanya jika pada orangtuanya sendiri dia abai.
Sebaliknya bagi laki-laki jangan pilih istri yang menyebabkanmu menjauh dari orangtua terutama ibumu. Bagimana bisa kau membuka pintu surga dan masuk didalamnya jika dia menghilangkan kunci surganya. Anak lelaki itu milik ibunya bukan milik istrinya.
Setiap kali memaknai kalimat ini, sebenarnya aku jadi harap-harap cemas, khawatir saja mengingat aku adalah ibu dari dua anak perempuan.
Meski kita selalu berusaha memberikan keteladanan dan mengajarkan ilmu-ilmu dasar seperti tersebut diatas, kecemasan masih tidak bisa sepenuhnya menjauh dari kepalaku. Mengapa?
Karena sebetulnya secara fitrah, istri itu dibentuk oleh suaminya. Kalau Imamnya bener, inshaallah makmumnya juga ikut bener.
Berdasarkan pengalaman masa lalu, alhamdulilah aku bisa melalui pemahaman ini dengan berproses. Peran suami sebagai imam dalam memaknai kalimat diatas sangatlah penting. Sebagaimana kita tahu, pasangan muda kerap melakukan kesalahan diawal fase pernikahan,baca.
Begitu juga denganku. Aku yang dibesarkan dengan kasih sayang melimpah dari abi (maklum sebagai anak perempuan sigle fighter selama kurleb 11 tahun) sempat terkaget-kaget ketika apa yang akan aku lakukan juga harus sepengetahuan dan restu mertua, misal dalam hal kecil pemberian nama anak.
Lho, bukankah itu hak prerogatifku sebagai orangtua?
Aku menamai anak pertama kami Sirin, dengan pertimbangan nama itu masih langka dan keren. Untuk artinya sampai sekarangpun aku masih belum tahu, yang kutahu hanyalah nama itu adalah nama adik dari istri Rasulullah, Mariyah Qibthiyah. Inilah masalahnya, mertua tidak bisa menerima pemberian nama yang terkesan tanpa arti.
Aku yang terbiasa melakukan apa yang kumau bersikeras mempertahankan nama Sirin untuk anak pertamaku. Aku merasa hakku sebagai orangtua terkoreksi dan aku keberatan. Disinilah peran suami sebagai imam sangatlah penting. Dengan kesabaran dan kasih sayang (masyaallah tabarakallah), suami yang sedang bertugas diluar pulau sebagai dokter PTT berusaha melunakkan hatiku melalui suratnya yang berlembar-lembar (saat itu tidak ada Hp/Wa). Aku dimintanya menulis surat ke mertua menjelaskan alasanku menyukai nama Sirin dan tak lupa, suami merequest untuk aku menanyakan ke mertua, nama apa yang akan ditambahkan dibelakang nama Sirin. Jadilah aku menulis dua lembar surat permohonan maaf telah menamai anak tanpa menanyakan dulu pertimbangan aba dan umik (mertua) sekaligus meminta saran mereka untuk menambah nama belakang Sirin. Dengan pendekatan yang baik, akhirnya mertua setuju menambahkan nama Salsabila jadilah nama hasil kompromi: Sirin Salsabila.Win-win solution...
Berdasarkan pengalama pribadi itulah, dalam setiap doa-doaku, aku memohon jodoh terbaik untuk kedua anak perempuanku. Seorang laki-laki yang shaleh dan anak yang shaleh. Seorang suami yang dapat bersikap bijak pada istrinya tanpa mengabaikan orangtuanya.
Untuk membentuk keluarga Samawa, mulailah dari proses memilih calon. Pilihlah calonmu dengan melihat ketakwaanya pada Robnya dan sikapnya pada orangtua. Seharusnya orang yang bertaqwa adalah juga orang yang berakhlaq. Tapi case percase ada juga yang berdiri sendiri tidak berunited antara ketaatannya pada Robnya dan ketaatannya pada orangtuanya. Mungkin ada faktor X-ray yang jadi penghambat. WallahuAllam.
Semoga kita bisa berproses menjadi anak yang sholeh dan orangtua yang shaleh jua. Amin YaRobbalAlamin.
See you in the next post...
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete