21 August 2016

Nikah muda, why not or...? (Anakku Sayang, part: 2)

Pasangan Larissa Chou dan Muhammad Alvin faiz saat ini paling banyak dibicarakan karena keputusannya yang beda dari kebanyakan orang. Berani menikah di kala usia masih muda belia. Di kala anak-anak sebaya yang lain masih alergi dengan segala jenis dan bentuk tanggung-jawab.
Sebagai orangtua kalau ditanya, setuju gak menikahkan anak di usia muda? 
Siapa yang setuju, angkat tangan. Yang tidak setuju juga. Pasti banyak yang angkat tangan ;)
Sepasang Mempelai
Mempelai yang berbahagia...
Semuanya berawal dari perencanaan dan persiapan. 
Menikah diusia golden period (20-25th/perempuan:25-30 th/laki) tidak menjamin tingkat kedewasaan yang matang diantara kedua mempelai. Apalagi anak sekarang yang nampak usia psikologisnya lebih muda daripada usia kronologisnya, ya itu tadi karena prinsip easy going dan take it easy lebih dominan.  

Mengingat kembali ke masa-masa ketika akan menikah yang mendominasi isi kepalaku adalah segala macam urusan yang menyangkut fisik, seperti: undangan, dekor, baju pengantin, tukang rias, catering dll. Persiapan psikis (tanggung jawab baru berkaitan dengan status yang berubah) jadi terabaikan...Akibatnya ya itu: gak sabaran ma anak.  
Ini contoh krisis gak sabaran (plus babyblues syndrome).



Aku masih ingat saking stressnya aku melakukan tindakan koyol tanpa sepengetahuan suami. Kutelpon rumah sakit, tempat aku melahirkan. Kukenalkan diri dengan nama samaran. 
Ini percakapannya...(yang masih kuingat).

"Sus, di RS ini ada fasilitas menitipkan bayi?"

"Iya ada bu. Ada yang bisa dibantu?"

"Saya mau nitipkan bayi, bisa ya"

Perawat terdengar berkonsultasi dengan rekannya.

"Usia berapa bu ?"

"Dua bulan..."

"Iya bu, bisa. Berapa lama"

"Saya mau nitip sebulan, bisa ya"

"Sebulan..lho?!" Perawat terdengar kembali berkonsultasi dengan rekannya.

"Maaf bu, tidak bisa disini cuman bisa nitip pagi diambil sore. Memangnya ibu mau kemana?" Perawatnya malah balik nanya mungkin dia heran koq ada ibu-ibu mau nitip bayi sebulan.
"Saya mau keluar negeri..." kujawab spontan sambil buru-buru mengakhiri percakapan dan mengucapkan terimakasih.  
Ini percakapan betul-betul nyata bukan rekayasa. Kalau inget aku masih sering geleng-geleng kepala, gak percaya ;)
Pernikahan adalah awal sebuah cerita, bukan bagian akhir sebuah novel.
Ini yang harus dipahami betul oleh pasangan yang akan menikah. Selama ini ideologi yang diedarkan oleh perfileman dan pernovelan adalah: cerita akan diakhiri happy ending dengan menikahnya sang pemeran utama atau sad ending dengan tidak menikahnya pemeran utama dengan pujaan hatinya. Apa yang terjadi setelah menikah bukanlah sesuatu yang menarik untuk ditampilkan. 

Dalam rangka menanamkan nilai-nilai yang baik, Aku menceritakan pelbagai kisah before and after marriage. Mulai fiksi sampai fakta, mulai dari siti nurbaya sampai ke kisah cinderella (tentu saja dengan sedikit editan biar seru atau mengaburkan tokoh cerita supaya tidak berkesan ghibah). Kubagi dalam beberapa episode seperti novel. Ternyata mereka  paling antusias kalau mendengarkan love story orangtuanya. Jadilah ide penanaman nilainya memakai kisah autobigrafi :)

Diantara pelbagai kisahku itu, penekanannya pada jangan salah memilih suami. Pilihan yang salah akan berakibat panjang dan lebar. 
Sebelum menikah, kunci surga anak perempuan dan anak laki-laki terletak pada ridho orangtua. Perempuan yang sudah menikah  kunci surganya ada ditangan suaminya. Dia harus taat pada suaminya. Begitu ijab-qobul, Subhanallah…tugas dan tanggung-jawab orang tua berpindah tangan, estafet diteruskan suaminya. Anak perempuan harus direlakan ber-union dengan suaminya. Lain dengan anak laki-laki yang selalu akan menjadi anak ibunya.  
Ada contoh lucu dari cerita teman berkenaan dengan ini.
Teman tersebut mempunyai tiga anak, dua cewek dan  satu cowok. Si anak cowok (kelas dua esempe) tiba-tiba menghadap ibunya dan melaporkan bahwa dia sudah berunding dengan kakaknya yang cewek (kelas satu esema). Katanya kalau dia menikah dia akan pindah. Dan yang bikin ibunya keki karena si anak cowok satu-satunya ini bilang tanpa rasa bersalah: ”Tapi jangan khawatir Ma... Kata kakak, dia yang mau tinggal sama Mama” 
Ada-ada saja...;)
Berat ya melepas anak perempuan?

Bangeeett...!!!
Gimana gak berat, dari kecil diasuh, dibesarkan dengan segala over dosis reaction dan all protection. Begitu menikah, anak perempuan kesayangan itu mendadak lebih nurut, lebih loyal, lebih...pada suaminya. Begitulah hukumnya, seorang istri harus menomersatukan suaminya. Berbesar hatilah bagi orang tua yang membesarkan anak perempuannya dengan baik, imbalannya jg setimpal (jannah).  
Karena menyerahkan amanah itu beraat banget maka seorang anak perempuan (terutama) dalam memilih pasangannya  sudah seharusnya atas ridho orangtuanya. Dengan ridho orangtua, inshaallah perkawinan ananda akan selamat dari krisis-krisis yang mengintai maupun yang mengancam.
Dalam sebuah forum pengajian, saat sessi tanya-jawab, ada seorang ibu curhat dengan tak dapat menahan tangis. Ibu tadi mengisahkan bagaimana nasib putrinya yang ditelantarkan oleh suaminya padahal sang suami adalah lulusan pondok pesantren ternama. 

Bagaimana perasaan ibu tersebut ya kalau kita yang mendengarkan saja ikut berkaca-kaca tersentuh. Semoga anak ibu tersebut menemukan jalan keluar sebaik-baiknya. Amin YRA.
Btw: Siapa saja bisa mengalami hal tersebut. Kita tidak tahu takdir seperti apa yang akan menghampirikita atau anak-anak nantinya.Yang bisa dilakukan adalah mempersiapkan awal yang baik dengan doa dan perbuatan baik (teladan). 
Bila doa, rasanya dalam tidurpun ibu-ibu sering merasa sedang mendoakan anak saking sudah terbiasanya dengan doa baik pada anak. Yang agak susah memang teladan (apalagi kalau ibunya mirip-mirip penulis :).  
Ada hukum yang mengatakan kebaikan itu akan diduplikasi satu kali tapi kesalahan akan diduplikasi berkali-kali. Hmm...Terkadang karena mati akal, aku memilih mengambil jalan pintas, mengaku salah (misal dalam bersikap inkonsisten). 
Begini ucapanku: 
"Ini bukan contoh yang baik, Mama melakukannya karena tidak bisa menahan diri, saking sayangnya Mama sama anak. Kalau mau ditiru rasa sayangnya saja kalau perbuatannya J A N G A N Ya !"
Hhh...ini namanya shortcut guilty feeling.
So 
Dari uraian panjang lebar diatas, sikap sebagai orangtua terhadap statement di awal tulisan tentang nikah muda, aku bisa mengangkat tangan, bisa juga tidak. Tergantung dari kesiapan ananda dan juga kesiapan kami sebagai orangtuanya. Sanggup gak ditinggal anak sedini itu de-el-el. Aku yakin kalau Arifin ilham dan istrinya merestui pernikahan anaknya diusia 17 thn itu karena mereka memang sudah yakin pada anaknya dan merekanya juga sudah siap mental. 
Bagaimana dengan anda? Sharing yuk...
See you in next post...

1 comment:

  1. Jeng Layla, mohon izin baca-baca blognya ya, inspiring mendampingi buah hati. Salam kenal

    ReplyDelete