22 January 2014

Ibuku Malaikat

Pernah tahu kisah tentang seorang bocah laki-laki yang berulah didalam pesawat.  Si bocah menjerit-jerit sambil berlarian kesana-kemari sehingga mengganggu ketenangan penumpang yang lain. Sementara itu ayah si bocah tetap diam duduk di kursinya tanpa berusaha menenangkan anaknya. Ketika banyak penumpang yang kesal, mereka berinisiatif melaporkan ke pramugari. Dan sang pramugaripun dengan sopan meminta   si ayah untuk menenangkan anaknya. Si ayah anak tersebut tampak membisikkan sesuatu kepada sang pramugari yang diteruskan ke seluruh penumpang. Sejak itu sikap semua penumpang berubah, mereka tidak lagi merasa kesal meski ulah si bocah masih mengganggu sebaliknya mereka justru berusaha ramah terhadap si anak tersebut. 
Tahukah anda apa yang dibisikkan si ayah pada sang pramugari?

Sang ayah membisikkan bahwa ibu dari anak tersebut baru saja meninggal jadi si anak perlu waktu untuk mengatasi kesedihannya dengan caranya sendiri. Adanya tambahan info ini, merubah rasa kesal menjadi simpati pada bocah tersebut. 
Apakah anda pernah nonton film educating Peter?
Film ini sangat menyentuh, previewnya baca disini. Keberhasilan sosialisasi penerapan sistem pendidikan inklusif pada teman-teman Peter menyebabkan mereka sangat berempati pada teman mereka yang berkebutuhan khusus, siPeter.
Seorang sahabat memposting foto bersama dua anaknya di bb disertai dengan status: Terimakasih Ya Rob atas amanahMu (sayang gak sempat di-capture, saat itu masih gak kepikiran mau nulis note ini). Postingan ini sepertinya biasa saja, seperti kebanyakan ibu-ibu yang memposting foto anak-anaknya. Yang tidak biasa adalah info tambahan yang menyertainya. Bagaimana jika ada info tambahan bahwa dua dari empat anak sahabatku itu berkebutuhan khusus? Atau bagaimana jika ada info tambahan  bahwa salah-satu anaknya yang berkebutuhan khusus baru saja dilarikan ke RS karena kejang-kejang?
Apa yang terlintas dalam pikiran kita ketika membaca status seperti itu?
Subhanallah...aku hampir saja tidak dapat bernafas (bukan lebay tapi memang benar, kalau sangat emosional, pasti sesak menyerang padahal gak punya asma dan turunannya). Sahabatku itu memang seperti malaikat (masyaallah tabarakallah). Disaat kita asyik bercengkerama, dia selalu ingat saat kapan harus pulang dan tidak bisa ditawar karena bergantian dengan putri sulungnya menjaga anaknya (tidak ada pembantu, biasalah tipe pembantu sekarang, mirip lagunya Titiek Puspa, datang dan pergi sesuka hati).
Anak adalah sebuah Karunia sekaligus Amanah. Sahabatku itu membuktikan keduanya tanpa kecuali. 
Saat menghadapi anak dengan berbagai kenakalannya, kita (or just only me?) lebih sering bertindak tidak sabar dibanding sabar. Memang kemarahan lebih mudah diledakkan daripada meredam kesabaran. Karenanya ada istilah Emotional Intellegency untuk menunjukkan kualitas emosi kita ditingkat mana. Pada dasarnya orang yang sabar adalah orang yang pintar secara emosional, begitu juga sebaliknya. Nah pada tahap ini, sepertinya darah merahku menyebabkan aku tidak lulus ditiap tes kesabaran. 
Sebagai ibu muda (duluuuu sekali,hm...) aku sering kesal ma anak karena alasan yang sepele, mereka rewel, cerewet, usil (paling sering membumi hanguskan make-upku yang cuman hanya segelintir, sekarang sih sudah empat-lima kali lipatnya gara-gara keseringan ngintip blognya beauty bloggers...:) 
Meski saat ini sudah jauh berkurang tapi tetap aja akar ketidaksabaran masih tersisa (apalagi ngadepin anak ABG kudu sabarrrrr banget). 
Menghadapi anak berkebutuhan khusus perlu tingkat emosional intellegensi yang tinggi. Para ibu tersebut harus mempunyai kesabaran lebih dibanding ibu-ibu yang lain. Dan mereka yang terpilih adalah "The Real Angel" 
Lima tahun yang lalu, aku pernah hamil anak ketiga dan hanya bertahan tiga bulan saja karena terinfeksi virus Rubella. Virus ini hanya meninggalkan ruam-ruam kemerahan di kulit terutama didaerah wajah. Dan memang menurut dokter virus ini lebih menyerang janin dibanding ibunya. Setelah melewati tes dan pemeriksaan intensif, dokter menyatakan janin tidak berkembang dan harus dikuret. Duh Gusti...
Perasaanku campur aduk, sudah menunggu delapan tahun (dengan segala macam treatment) untuk hamil anak ketiga, pas hamil koq malah disuruh kuret (aku benar-benar tidak tahu kalau lagi hamil karena tanda-tanda kehamilan seperti ngidam, mual atau morning sickness tidak terjadi, padahal biasanya sebelum ketahuan positip hamil, aku sudah kolap duluan saking keseringan mual n muntah. Dan yang tidak biasa aku juga masih haid tiap bulannya meski setelah kuingat-ingat, haidnya lebih sedikit).
Dari pengalaman ini, aku jadi berkeyakinan bahwa anak berkebutuhan khusus itu adalah anak spesial dan ibu yang diberi amanah untuk mengandungnya adalah ibu yang spesial juga. Semoga Allah SWT senantiasa memuliakan  mereka disepanjang kehidupannya. Amin YRA.
Bila ketemuan, kami, para ibu-ibu sering menceritakan ulah anak-anak. Ketika sahabatku yang baik itu bercerita tentang kedua anaknya yang berkebutuhan khusus, aku amati tidak ada tanda-tanda keluh-kesah atau ingin curhat. Hanya saja karena dianggapnya aku psikolog (maklum kuliahku dulu jurusan psikologi tapi swear belum pernah praktek jadi psikolog meski gelar sudah dipake duluan) dia pernah cerita bagaimana anaknya dibully ma teman-temannya yang kebetulan tidak berkebutuhan khusus. Dia menanyakan pendapatku.
Duh Gusti...darah merahku mendidih lagi (kali ini suhunya diujung termometer). 
Pemirsa...! Ibu-ibu yang budiman....!Sepertinya sekarang kesadaran orang terhadap anak/orang berkebutuhan khusus sudah sangat-sangat baik (kalau jaman kecilku dulu, kalau ada anak yang berbeda, bukan lagi teman-temannya yang membully, bisa-bisa walimurid berdemo supaya anak tersebut dipindah sekolah agar suasana belajar-mengajar dikelas tidak terhambat). Sayangnya kesadaran yang sangat baik itu terkadang lupa kita tularkan ke anak-anak. Kita kerap berujar, "Kasihan ya temanmu si A itu sakit" atau "Kasihan temanmu si B sakit jadi kamu bantu ya" (Sekarang ini banyak sekolah yang memakai sistem pendidikan inklusif dimana dimungkinkan  interaksi antara anak berkebutuhan khusus dengan anak yang tidak berkebutuhan khusus).
Sebenarnya yang lebih mereka perlukan adalah sikap empati dari teman-temannya dibanding sikap kasihan. Kalau sikap kasihan saja, namanya anak-anak disaat bergesekan, hilang kasihannya, keluarlah kata-kata ejekan yang bernada membully. Bisakah kita bayangkan kalau itu terjadi pada anak, keponakan, kerabat, sahabat, teman kita...?
Setelah lebih dulu berkipas-kipas ria sambil berusaha menurunkan suhu panas dikepala, kubilang pada sahabatku itu, kalau ada kejadian seperti itu diambil hikmahnya saja untuk sama-sama belajar. Untuk si anak kita persiapkan mentalnya supaya lebih kuat (fisik boleh lemah asal mentalnya kuat pasti bisa survive). Untuk teman-temannya, suatu saat nanti mereka pasti belajar bahwa yang mengejek belum tentu lebih baik dari yang diejek. Bagi kitanya sendiri, hal ini bisa jadi semacam katalisator untuk semakin mensuport anak, dalam artian semakin mendekatkan atau memotivasi anak. Dan ternyata sahabatku yang baik itu sudah melakukannya sebelum aku ajarkan. 
Semoga keberkahan senantiasa menanungi kita semua. Amin YRA.
Bagaimana pendapat anda? 

No comments:

Post a Comment