Dalam banyak kesempatan bertemu teman dan memperkenalkan kedua anak perempuanku, seringnya mereka mengatakan kalau kedua putriku mirip sekali dengan ayahnya. Terutama dari ciri fisik wajah, gaya bicara, cara berjalannya dll.
Awalnya aku sih nyantai aja tapi lama-kelamaan terusik juga. Masa iya sih dua-duanya mirip banget ma ayahnya gak ada gen maknya? Maka mulailah aku melakukan pengamatan non ilmiah. Sample termudah yang terdekat dulu, para ponakan.
Hasilnya: para ponakan mengikuti hukum alam, anak-anak perempuan mengcloning ciri-ciri fisik ayahnya dan anak laki-laki mengcloning ciri-ciri fisik ibunya. Dan akupun lega dan legowo mengetahui hasilnya. Takkada masalah...:)
Kalaupun ada masalah yang timbul, datang dari diriku: aku ingin kedua anak perempuanku mengcloning sifat-sifat ayahnya yang amat sangat cool bangettttt (terutama jika menghadapi permasalahan, beda dengan maknya yang panik duluan) dan yang paling beratnya lagi, aku ingin mengcloning seseorang yang seperti ayahnya untuk calon suami anak-anaku kelak...👀 😏
--------------------------------------
Tidak ada yang bisa menyanggah kedekatan seorang ayah dengan anak perempuannya. Ini seperti pergantian musim, pergantian siang dan malam, terjadinya bulan purnama, natural sekali. Ayah adalah sosok penting bagi anak perempuan, sebagai pahlawan pelindung, sebagai sahabat sejati dan sebagai guru yang hebat.
Itulah yang terekam dalam benakku tentang sosok ayah, begitu pula yang aku tanamkan pada kedua anak perempuanku. Hasilnya, aku harus berbesar hati, kedua anak perempuanku lebih dekat dengan ayahnya. Mereka bisa curhat, bercerita, bercanda dan bertukar-pikiran lebih nyaman dengan ayahnya. Sementara aku hanya menyaksikan atau merekam (diam-diam dengan kamera) semuanya dengan sesekali menimpali supaya gak ketahuan kalau sedang in action. Entah kenapa aku suka merekam kebersamaan anak-anak dengan ayahnya, tidak untuk dishare disosmed (gak memungkinkan juga), betul-betul hanya untuk disimpan saja sebagai dokumen. Menurutku ini adalah moment terindah seorang anak perempuan dengan ayahnya. Saat ayahnya memeluk, mencium kening, mengusap rambut atau tatapan matanya yang antusias saat mendengarkan cerita anak-anaknya. Aku yakin, kelak foto-foto ini akan sangat berharga bagi kedua anakku.
Aku lebih menikmati kebersamaan itu dengan hanya melihat atau mendengarkan dibanding ikut nimbrung terlibat. Soalnya tiap kali nimbrung seringnya malah "mengubah atmosphere..."
"Mama gak asyik ah...kita nyantai aja koq dianggap serius ..."
atau
"Mama lebay ah..."
atau
"Ya...Mama gaptek sih..."
Nah kalau sudah keluar celetukan-celetukan seperti ini, giliran si ayah yang "gerah" dan akhirnya atmosphere kebersamaan jadi seperti kultum sehabis sholat. Dan terdakwanya siapa lagi kalau bukan aku. Ini bisa terekam ketika sudut mata anak-anak melirik kearahku...Oh No, I did it again...🙈
Aku semakin jadi terdakwa, karena akhir-akhir ini si ayah memang suka baper (saingan deh ma siemak). Celetukan-celutakan kecil yang dirasa vulgar bisa menggiring anak-anak untuk "dihukum" sungkem mencium kaki siemak. Duh...khan risih banget jadinya. Payahnya si emak malah gak sadar lagi mengadu padahal niatnya cuman bercanda.
Kenapa sih jadi baperan begini...?
Alkisah pada suatu kesempatan si emak bercerita (kisah fiktif yang sudah terdaftar dalam kumpulan dongeng si emak ) tentang dua orangtua yang hidup berdua saja sementara anak-anaknya tinggal terpisah. Pada suatu malam, si ayah terkena serangan jantung. Si ibupun dengan paniknya langsung menelpon anaknya. Sampai disini cerita terhenti oleh komentar si sulung. " Lho kenapa koq gak telpon IGD...? bla..bla...sebagai orang medis, segala argumen rasionalnya keluar.
Aku yang kesal dengan reaksi si sulung yang terlalu rasional, menimpali, "Mana hapal telpnya IGD, yang hapal malah telp 911, ntar malah kesambung ke Amrik..."🙈
Nah tanggapan si sulung inilah yang kubawa ke ayah dengan niat bercanda. Maka kuceritakanlah dengan versiku...
"Ba..kata sirin, bila-bila masa nanti kita sakit tengah malam, gak boleh nelpon Sirin atau suaminya (ceritanya nih sisulung sudah berkeluarga dan tinggal terpisah) ntar mereka terganggu. Seharusnya yang ditelp pertama adalah: IGD... "
Ini niatnya becanda lho...E...respon si ayah ternyata diluar dugaan.
Si ayah marah, panjanggggg dan lebarrrr....Akunya tertuduh lagi...😌
"Ma, kalau mama suka baper, katanya kena sindrom pre menapouse. Lha kalau baba kenapa ?" sisulung yang merasa jadi sasaran tembak langsung melancarkan protes.
"Ya... karena baba sudah tua, orang tua khan suka baper..."jawabku sekenanya. Aku juga bingung kenapa akhir-akhir ini si ayah baperan.
"Ah...Enggak ah...baba masih muda koq" si bungsu menimpali. Si bungsu ini memang selalu mengcounter setiap ada perkataan mama dan baba sudah tua. Dia sepertinya penganut paham age is just a number. Dia tidak mau menerima baba dan mamanya bertambah tahun bertambah tua.
Aku lebih menikmati kebersamaan itu dengan hanya melihat atau mendengarkan dibanding ikut nimbrung terlibat. Soalnya tiap kali nimbrung seringnya malah "mengubah atmosphere..."
"Mama gak asyik ah...kita nyantai aja koq dianggap serius ..."
atau
"Mama lebay ah..."
atau
"Ya...Mama gaptek sih..."
Nah kalau sudah keluar celetukan-celetukan seperti ini, giliran si ayah yang "gerah" dan akhirnya atmosphere kebersamaan jadi seperti kultum sehabis sholat. Dan terdakwanya siapa lagi kalau bukan aku. Ini bisa terekam ketika sudut mata anak-anak melirik kearahku...Oh No, I did it again...🙈
Aku semakin jadi terdakwa, karena akhir-akhir ini si ayah memang suka baper (saingan deh ma siemak). Celetukan-celutakan kecil yang dirasa vulgar bisa menggiring anak-anak untuk "dihukum" sungkem mencium kaki siemak. Duh...khan risih banget jadinya. Payahnya si emak malah gak sadar lagi mengadu padahal niatnya cuman bercanda.
Kenapa sih jadi baperan begini...?
Alkisah pada suatu kesempatan si emak bercerita (kisah fiktif yang sudah terdaftar dalam kumpulan dongeng si emak ) tentang dua orangtua yang hidup berdua saja sementara anak-anaknya tinggal terpisah. Pada suatu malam, si ayah terkena serangan jantung. Si ibupun dengan paniknya langsung menelpon anaknya. Sampai disini cerita terhenti oleh komentar si sulung. " Lho kenapa koq gak telpon IGD...? bla..bla...sebagai orang medis, segala argumen rasionalnya keluar.
Aku yang kesal dengan reaksi si sulung yang terlalu rasional, menimpali, "Mana hapal telpnya IGD, yang hapal malah telp 911, ntar malah kesambung ke Amrik..."🙈
Nah tanggapan si sulung inilah yang kubawa ke ayah dengan niat bercanda. Maka kuceritakanlah dengan versiku...
"Ba..kata sirin, bila-bila masa nanti kita sakit tengah malam, gak boleh nelpon Sirin atau suaminya (ceritanya nih sisulung sudah berkeluarga dan tinggal terpisah) ntar mereka terganggu. Seharusnya yang ditelp pertama adalah: IGD... "
Ini niatnya becanda lho...E...respon si ayah ternyata diluar dugaan.
Si ayah marah, panjanggggg dan lebarrrr....Akunya tertuduh lagi...😌
"Ma, kalau mama suka baper, katanya kena sindrom pre menapouse. Lha kalau baba kenapa ?" sisulung yang merasa jadi sasaran tembak langsung melancarkan protes.
"Ya... karena baba sudah tua, orang tua khan suka baper..."jawabku sekenanya. Aku juga bingung kenapa akhir-akhir ini si ayah baperan.
"Ah...Enggak ah...baba masih muda koq" si bungsu menimpali. Si bungsu ini memang selalu mengcounter setiap ada perkataan mama dan baba sudah tua. Dia sepertinya penganut paham age is just a number. Dia tidak mau menerima baba dan mamanya bertambah tahun bertambah tua.
Daripada menebak-nebak, langsung aj aku tanya si ayah, kenapa sih suka marah untuk hal-hal yang kecil gitu dan kenapa suka menghukum anak dengan sungkem mencium kakiku, aku khan risih ntar dipikir anak-anak aku yang pengin disungkemin. Bukankah anak-anak terbiasa sungkem hanya pas lebaran saja..?"
Warisan...!
----------------------------------------------
Warisan...!
Dari penjelasannya yang panjang lebar, terkuaklah rahasianya. Ternyata si ayah lagi galau. Aku juga kaget dengan pengakuannya. Oh nih orang bisa galau juga, soalnya yang beginian biasanya malah tabiatku, siayah yang kebagian menenangkan. Si ayah ini aslinya tipe flat, emosinya datar...datar aja...gak bisa ketebak, lagi senang, sedih atau marah. Terus apa yang menyebabkannya galau?
Ini berkaitan dengan warisan.
Eit..tunggu dulu bukan warisan harta tapi warisan nilai-nilai baik. Si ayah merasa dia terlalu lemah pada dua anak perempuannya dan dia khawatir berkelanjutan. Dan siayahpun melanjutkan penjelasannya...
Apa yang terekam dibenakku, benar juga kata-katanya. Aku tahu betul, didikan keras tidak selalu berakibat jelek. Mertuaku mendidik anak laki-lakinya dengan keras dan hasilnya adalah si ayah yang berhati lembut (masyaallah tabarakallah). Alllahyarham abi mendidik anak-anaknya dengan keras dan hasilnya tidak ada dendam, malah rasa cintaku pada allahyarham abi yang tak pernah padam. Meski Allahyarham abi memanjakanku tapi aku tahu batasannya dan tidak berani sedikitpun melampaui lingkaran yang sudah digariskan.
Dan sekarang apa yang coba dilampaui kedua putriku?
Sebelum menjawab pertanyaan ini...Aku flashback penjelasan si ayah.
Dia menyuruh anak-anak sungkem padaku sebagai praktek teori kebiasaan. Dia berharap, anak-anak akan merekam dalam benaknya, kalau salah tidak cukup minta maaf tapi harus dibiasakan juga sungkem. Pengertian salah disini tidak saja meliputi perbuatan tapi perkataan yang bernada melecehkan orangtua juga tidak diperbolehkan. Seperti kata-kata yang tersebut diatas itu.
Rupanya si ayah bete juga dengan kebiasaan anak-anak yang sangat mudah mengucapkan maaf tapi kesalahan yang sama masih diulang-ulang (kalau aku sih bukan bete lagi tapi sudah tidak berdaya...begitu anak minta maaf, otomatis tangan terulur menyambut. Ntar kalau gak dikasih maaf, malah khawatirnya si anak gak mau minta maaf lagi khan berabe...).
Si ayah melihat sungkem adalah tradisi yang sangat luhur, melambangkan penghormatan anak pada orangtuanya. Tapi kenapa koq ke maknya saja ? Ya karena menurutnya si ibu harus dihormati tiga kali lebih besar dan menurut si ayah, anak-anak sering lengah pada ibunya. Meski terdengar sepele, sekedar celotehan saja, tidak seharusnya anak-anak membully ibunya. Menurutnya, dalam sungkeman itu ada permintaan maaf dan rasa hormat pada orangtuanya. Alhamdulillah jadi senang dengarnya...
Sesungguhnya si ibu sering merasa dibully oleh kedua anaknya. Seperti kalimat, "Mama pelit..."(kata ini dilontarkan saat mereka kesal karena permintaannya ditolak ) dll
Lha kalau ada si ayah, kata-kata seperti ini bakal kesensor...
"Coba ulangi pake kalimat yang baik...gak boleh ngomong gitu ke mama..."
Hehe...jadi seperti pelajaran berbahasa indonesia yang baik dan benar...👀
So..Apa yang coba dilampui batasnya oleh kedua putriku?
Semua bermula dari pertanyaan sederhana pada si anak sulung.
Kira-kira setelah lulus dan internship, sirin mau ambil spesialis apa?
Ketika si sulung menyebutkan, aku lihat raut muka si ayah berubah dan akupun terkejut. Aku terkejut karena tidak banyak mengerti sementara si ayah terkejut karena mengerti lebih banyak. Setelah coba diterangkanpun, aku yang selalu merasa harus membela anak-anak perempuanku tidak sependapat dengan ayahnya. Sampai suatu kejadian mencoba menyadarkanku bahwa apa yang akan dihadapi anak perempuanku itu tidaklah mudah (terutama dalam budaya arab yang masih keukeuh memberikan batasan laki-laki dan perempuan).
Kini si ayah lebih ketat mendekati sisulung (makanya jadi baperan). Saking tidak setujunya sampai si ayah membawa si sulung konsultasi kebeberapa teman sejawatnya. Sementara ini hasilnya melunak meski masih belum mencapai win-win solution.
Ada hal tak terduga yang mengubah kesetujuanku menjadi ketidaksetujuan, yang pertama tidak untuk diceritakan disini (mungkin dilain tema) yang kedua kejadian yang bisa diceritakan.
Ceritanya si ayah berniat membawa kita keteman sejawat yang sejurusan dengan yang diminati si anak sulung. Si teman masih praktek dan supaya lebih longgar maka kita memilih jadi px yang terakhir. Pas lagi duduk-duduk begini, aku membaca papan nama si teman sejawat ini yang menuliskan beberapa keahliannya.
Aku membaca satu kata yang dalam benakku seperti kebijaksanaan publik yang sangat tidak populer yang bisa menimbulkan kontroversi. Samar-samar kubaca, "I.......A"
Aku memincingkan mata dan segera mengambil kacamata dalam tasku untuk memperjelas. Seketika susunan huruf itu terbaca dengan sempurna.
Aku adalah tipe emak-emak yang spontan mengatakan isi hati. Langsung saja kupandang wajah si sulung dengan alis berkerut dan kucecar dengan kalimat-kalimat awam yang terasa menggelikan. Melihat reaksi sisulung yang tersipu-sipu seperti es pinky @dokterkoki, entah malu atau malah marah, reaksiku justru kontras. Aku malah tertawa terbahak-bahak...(jadi ikutan malu, baru ngeh kalau aku membahas hal-hal diluar kebiasaan)
Mengertilah aku kenapa si ayah bersikeras melarang. Setelah didalam, si teman sejawatpun menyarankan hal yang sama. Sebaiknya pilih yang lain saja...
Oh lala nduk..nduk...🙈
Lain anak sulung, lain pulak anak bungsu. Si bontot Rana mendadak ijin mendaftarkan pilihannya kuliah di Yogya. Bukan saja si ayah yang kaget tapi aku juga kelimpungan, belum siap menghadapi pemberontakannya.
Bagaimana bisa Rana, yang setiap jam selalu telp atau chat, Mama dimana...? Mama ngapain...? Mama kapan pulang...? tiba-tiba berniat memisahkan diri. Apalagi requestnya diikuti dengan mata-mata berkaca-kaca dan argumen yang menyakinkan.. :(
Si Ayah mendengarkan dengan sabar untuk mendapatkan solusi. Sementara aku, ibunya gemes aja dengernya. Sekalian aja kugoda, kalau Rana kuliah di Yogya, mama juga pindah ke Yogya jadi ntar kita ngekos ditempat yang sama. Rana mendengarkan dengan cemberut...
Selidik punya selidik, ternyata dia pengin mandiri. Si Rana ini memang ngefans berat sama kakaknya. Dia ngeliat kakaknya sangat mandiri dan hapy-hapy aja tinggal di kos dan tinggal terpisah, diluar kota. Dia juga bilang, kalau tinggal sekota ma ortu di surabaya, dia gak bakalan bisa mandiri.
Apa gak gemes aku dengernya...Duh gayanya dik...dik..😕 (tentunya dalam hati saja)
Akhirnya disepakati (aslinya diaku masih ganjel) kalau Rana kuliah di surabaya aja dan untuk belajar mandiri diperbolehkan ngekos, syarat dan ketentuan berlaku. Ya sudahlah yang penting diakomodasi dulu, ntar waktulah yang akan membuktikan.
Ini berkaitan dengan warisan.
Eit..tunggu dulu bukan warisan harta tapi warisan nilai-nilai baik. Si ayah merasa dia terlalu lemah pada dua anak perempuannya dan dia khawatir berkelanjutan. Dan siayahpun melanjutkan penjelasannya...
Apa yang terekam dibenakku, benar juga kata-katanya. Aku tahu betul, didikan keras tidak selalu berakibat jelek. Mertuaku mendidik anak laki-lakinya dengan keras dan hasilnya adalah si ayah yang berhati lembut (masyaallah tabarakallah). Alllahyarham abi mendidik anak-anaknya dengan keras dan hasilnya tidak ada dendam, malah rasa cintaku pada allahyarham abi yang tak pernah padam. Meski Allahyarham abi memanjakanku tapi aku tahu batasannya dan tidak berani sedikitpun melampaui lingkaran yang sudah digariskan.
Dan sekarang apa yang coba dilampaui kedua putriku?
Sebelum menjawab pertanyaan ini...Aku flashback penjelasan si ayah.
Dia menyuruh anak-anak sungkem padaku sebagai praktek teori kebiasaan. Dia berharap, anak-anak akan merekam dalam benaknya, kalau salah tidak cukup minta maaf tapi harus dibiasakan juga sungkem. Pengertian salah disini tidak saja meliputi perbuatan tapi perkataan yang bernada melecehkan orangtua juga tidak diperbolehkan. Seperti kata-kata yang tersebut diatas itu.
Rupanya si ayah bete juga dengan kebiasaan anak-anak yang sangat mudah mengucapkan maaf tapi kesalahan yang sama masih diulang-ulang (kalau aku sih bukan bete lagi tapi sudah tidak berdaya...begitu anak minta maaf, otomatis tangan terulur menyambut. Ntar kalau gak dikasih maaf, malah khawatirnya si anak gak mau minta maaf lagi khan berabe...).
Si ayah melihat sungkem adalah tradisi yang sangat luhur, melambangkan penghormatan anak pada orangtuanya. Tapi kenapa koq ke maknya saja ? Ya karena menurutnya si ibu harus dihormati tiga kali lebih besar dan menurut si ayah, anak-anak sering lengah pada ibunya. Meski terdengar sepele, sekedar celotehan saja, tidak seharusnya anak-anak membully ibunya. Menurutnya, dalam sungkeman itu ada permintaan maaf dan rasa hormat pada orangtuanya. Alhamdulillah jadi senang dengarnya...
Sesungguhnya si ibu sering merasa dibully oleh kedua anaknya. Seperti kalimat, "Mama pelit..."(kata ini dilontarkan saat mereka kesal karena permintaannya ditolak ) dll
Lha kalau ada si ayah, kata-kata seperti ini bakal kesensor...
"Coba ulangi pake kalimat yang baik...gak boleh ngomong gitu ke mama..."
Hehe...jadi seperti pelajaran berbahasa indonesia yang baik dan benar...👀
So..Apa yang coba dilampui batasnya oleh kedua putriku?
Semua bermula dari pertanyaan sederhana pada si anak sulung.
Kira-kira setelah lulus dan internship, sirin mau ambil spesialis apa?
Ketika si sulung menyebutkan, aku lihat raut muka si ayah berubah dan akupun terkejut. Aku terkejut karena tidak banyak mengerti sementara si ayah terkejut karena mengerti lebih banyak. Setelah coba diterangkanpun, aku yang selalu merasa harus membela anak-anak perempuanku tidak sependapat dengan ayahnya. Sampai suatu kejadian mencoba menyadarkanku bahwa apa yang akan dihadapi anak perempuanku itu tidaklah mudah (terutama dalam budaya arab yang masih keukeuh memberikan batasan laki-laki dan perempuan).
Kini si ayah lebih ketat mendekati sisulung (makanya jadi baperan). Saking tidak setujunya sampai si ayah membawa si sulung konsultasi kebeberapa teman sejawatnya. Sementara ini hasilnya melunak meski masih belum mencapai win-win solution.
Ada hal tak terduga yang mengubah kesetujuanku menjadi ketidaksetujuan, yang pertama tidak untuk diceritakan disini (mungkin dilain tema) yang kedua kejadian yang bisa diceritakan.
Ceritanya si ayah berniat membawa kita keteman sejawat yang sejurusan dengan yang diminati si anak sulung. Si teman masih praktek dan supaya lebih longgar maka kita memilih jadi px yang terakhir. Pas lagi duduk-duduk begini, aku membaca papan nama si teman sejawat ini yang menuliskan beberapa keahliannya.
Aku membaca satu kata yang dalam benakku seperti kebijaksanaan publik yang sangat tidak populer yang bisa menimbulkan kontroversi. Samar-samar kubaca, "I.......A"
Aku memincingkan mata dan segera mengambil kacamata dalam tasku untuk memperjelas. Seketika susunan huruf itu terbaca dengan sempurna.
Aku adalah tipe emak-emak yang spontan mengatakan isi hati. Langsung saja kupandang wajah si sulung dengan alis berkerut dan kucecar dengan kalimat-kalimat awam yang terasa menggelikan. Melihat reaksi sisulung yang tersipu-sipu seperti es pinky @dokterkoki, entah malu atau malah marah, reaksiku justru kontras. Aku malah tertawa terbahak-bahak...(jadi ikutan malu, baru ngeh kalau aku membahas hal-hal diluar kebiasaan)
Mengertilah aku kenapa si ayah bersikeras melarang. Setelah didalam, si teman sejawatpun menyarankan hal yang sama. Sebaiknya pilih yang lain saja...
Oh lala nduk..nduk...🙈
Lain anak sulung, lain pulak anak bungsu. Si bontot Rana mendadak ijin mendaftarkan pilihannya kuliah di Yogya. Bukan saja si ayah yang kaget tapi aku juga kelimpungan, belum siap menghadapi pemberontakannya.
Bagaimana bisa Rana, yang setiap jam selalu telp atau chat, Mama dimana...? Mama ngapain...? Mama kapan pulang...? tiba-tiba berniat memisahkan diri. Apalagi requestnya diikuti dengan mata-mata berkaca-kaca dan argumen yang menyakinkan.. :(
Si Ayah mendengarkan dengan sabar untuk mendapatkan solusi. Sementara aku, ibunya gemes aja dengernya. Sekalian aja kugoda, kalau Rana kuliah di Yogya, mama juga pindah ke Yogya jadi ntar kita ngekos ditempat yang sama. Rana mendengarkan dengan cemberut...
Selidik punya selidik, ternyata dia pengin mandiri. Si Rana ini memang ngefans berat sama kakaknya. Dia ngeliat kakaknya sangat mandiri dan hapy-hapy aja tinggal di kos dan tinggal terpisah, diluar kota. Dia juga bilang, kalau tinggal sekota ma ortu di surabaya, dia gak bakalan bisa mandiri.
Apa gak gemes aku dengernya...Duh gayanya dik...dik..😕 (tentunya dalam hati saja)
Akhirnya disepakati (aslinya diaku masih ganjel) kalau Rana kuliah di surabaya aja dan untuk belajar mandiri diperbolehkan ngekos, syarat dan ketentuan berlaku. Ya sudahlah yang penting diakomodasi dulu, ntar waktulah yang akan membuktikan.
--------------------------------
Kita adalah contoh guru terburuk dalam mendidik anak dibidang mata pelajaran konsistensi. Kita tidak pernah menerapkan aturan yang benar-benar baku pada dua anak perempuanku. Apa orangtua yang hanya punya anak perempuan sering lengah seperti kita juga ya...? Jangan...jangan... Kita the one and only...😢
Kalau si ayah melarang, aku malah mensuport anak. Kalau aku melarang, si ayah malah mengajari si anak untuk bisa meluluhkan hatiku. Kalau si ayah berniat marah, aku malah menasehati ayah untuk tidak marah. "Jangan dimarahi lagi, aku khan sudah marah tadi. Anak perempuan tidak boleh dimarahi ayahnya nanti dia jadi terbiasa dimarahi suaminya " (anehnya si
ayah percaya betul teori ngasal siibu, mungkin karena dibelakangku ada tiga huruf sakti, PSi...😉) Atau kalau si ayah sudah terlanjur marah pada anak-anak, malah aku yang bete dan kubangkitkan rasa bersalahnya. "Kasihan anak-anak sudah ketemu babanya cuman sabtu dan minggu, e...ketemunya langsung dimarahi "
Parah ...Ya...Kita berdua..!
Bersambung masalah warisan, siayah galau kedua putrinya tidak mewarisi nilai-nilai yang seharusnya (terutama keberatan atas pilihan putri sulungnya). Dia merasa sebagai orangtua tidak seharusnya merasa kesulitan mempengaruhi putrinya. Aku juga sebagai maknya sering galau bin baper bin bete bin kesel bin gemes bin pegel bila pendapatku diacuhkan oleh dua putri dewiku. Apalagi si ayah sebagai ketua majlis tertinggi dalam keluarga.
Kesepakatan win-win solution tentang pilihan Sp putriku, diberlakukan dengan catatan mendapat persetujuan suaminya kelak. Sebenarnya ini wacana yang hampir mustahil (terutama dalam budaya arab, dimana seorang istri yang bekerja ratingnya turun dari angka tertinggi menuju terendah. Ibu rumah tangga adalah status tertinggi dengan rating 10 grade A, predicate summa cum laude).
Pembagian kriteria istri idaman dalam budaya arab, menurut teori Layla Fachir Thalib Psi, adalah: (tidak berlaku untuk umum ya ;)
Istri lulusan S1 tidak bekerja/bekerja dirumah: summa cum laude
Istri lulusan SMA/setingkat, bekerja di rumah :magna cum laude
Istri lulusan SMA/setingkat, tidak bekerja : cum laude
Istri lulusan S1, bekerja sesuai profesi : tanpa catatan
Istri lulusan S2/setingkat, bekerja sesuai profesi : dengan catatan
Istri lulusan S2/setingkat/S3, bekerja sesuai profesi di lingkungan laki-laki : minus 12.
Dan...
Pilihan siputri sulung menempatkannya di rating minus 12 (rasanya seperti kena migren sekaligus vertigo). Ini mungkin salah-satu penyebab rambut si ayah berguguran helai demi helai... 😯
Duh...
Percakapan panjangpun dimulai. Si ayah menguraikan semua kegalauannya dan aku mencoba menjadi pendengar yang baik meski berkali-kali menghela napas tak sabar pengin nyela.
Intinya si ayah mempersoalkan sikap keukeuh si sulung akan pilihannya. Menurutnya ini akan berefek sambung-menyambung nantinya. Bila dengan ayahnya aja masih tak patuh, bagaimana dengan suaminya kelak...?
Aha...Bagaimanapun juga genku ada di aliran darah putriku itu jadi aku mahfum pilihannya dan akupun tahu bagaimana mengendalikannya. Aku merasa ini bukan persoalan besar khan masih wacana, belum terjadi. Masih bisalah dibelokkan ke jurusan yang lebih aman.
Aku ingat seorang saudara yang juga mengeluhkan anak gadisnya yang keras kepala, kalau sudah berpendapat susah diubah. E...begitu menikah, berubah wujudnya dari es batu menjadi es puter ;)
Menilik dari pengalaman pribadi, akupun begitu. Jadi aku bilang pada si ayah, ini karena si putri sulung kita belum bertemu dengan orang yang tepat. Beberapa orang yang berusaha kita kenalkan, tereliminir atau mengeliminir diri karena pilihannya itu (Inilah sumber kegaulan si ayah dan asal muasalnya baperan) Begitu dia bertemu dengan orang yang tepat, yakinlah aku kalau dia akan berkompromi dengan keinginannya.
Pernahkah kita merasa menjadi orangtua yang buruk?
Mungkin diantara kita sering terintimidasi dengan gambaran ideal seorang ibu, ayah atau gambaran ideal keduanya. Kalau disurvey, mungkin sebagian besar anak menganggap orangtuanya tidak ideal dan hanya beberapa diantaranya yang memuja orangtuanya. Bagi yang tereliminasi dari gambaran orangtua ideal jangan berkecil hati dulu.Waktulah yang akan membuktikan, seorang anak akan sampai pada pemahaman orangtuanya adalah hadiah terbaik yang diberikan Allah SWT kepadanya.
Aku berkaca dari pengalaman masa kecilku, ketika allahyarham abi memukulkan sabuknya atau ketika allahyarham abi memarahiku karena hal yang sangat sepele atau saat mama terlalu sabar, aku merasa kedua orangtuaku adalah bukan gambaran orangtua ideal. Mungkin kalau ada yang tanya saat itu, aku memilih bertukar tempat dengan teman atau saudara yang lain dimana menurutku orangtua saudara atau temanku itu lebih ideal. Mungkin itu juga yang ada dibenak anak-anakku saat ini, kita (baca: terutama aku, ibunya) adalah gambaran orangtua yang tidak ideal alias orangtua yang buruk. Tetapi satu hal yang harus diingat, apa yang diyakini saat ini pada anak-anak kita tergantung dari warisan nilai-nilai apa yang sudah kita tinggalkan. Warisan perbuatan baik apa yang sudah kita contohkan bukan sekedar warisan kata-kata baik saja. Hanya masalah waktu saja yang akan membuktikan.
Dan itu terbukti, inilah yang sekarang menjadi sumber kegalauanku (gantian yang galau). Anak sulungku selalu membandingkan figur laki-laki dengan figur ayahnya.
"Kalau baba gak mungkin gitu khan ma..."
"Kalau baba, pasti begini..."
"Kalau baba ...." dll
Duh...Ayahnya adalah figur idealnya, sementara ibunya belum disebut-sebut.
Ya gpplah, bila anak-anak masih belum menyadarinya sekarang, suatu saat nanti akan tiba waktunya mereka melihatnya dengan cara pandang yang beda. Waktulah yang akan membuktikan kekuatan warisan. Apa yang sudah kita ajarkan pada mereka tidak akan pernah sia-sia karena pada dasarnya cinta dan sayang orangtua pada anaka-anaknya adalah rasa yang tulus-ikhlas dan tidak mengharap imbalan apapun kecuali ridhoNya.
See you in the next post...:)
Pernahkah kita merasa menjadi orangtua yang buruk?
Mungkin diantara kita sering terintimidasi dengan gambaran ideal seorang ibu, ayah atau gambaran ideal keduanya. Kalau disurvey, mungkin sebagian besar anak menganggap orangtuanya tidak ideal dan hanya beberapa diantaranya yang memuja orangtuanya. Bagi yang tereliminasi dari gambaran orangtua ideal jangan berkecil hati dulu.Waktulah yang akan membuktikan, seorang anak akan sampai pada pemahaman orangtuanya adalah hadiah terbaik yang diberikan Allah SWT kepadanya.
Aku berkaca dari pengalaman masa kecilku, ketika allahyarham abi memukulkan sabuknya atau ketika allahyarham abi memarahiku karena hal yang sangat sepele atau saat mama terlalu sabar, aku merasa kedua orangtuaku adalah bukan gambaran orangtua ideal. Mungkin kalau ada yang tanya saat itu, aku memilih bertukar tempat dengan teman atau saudara yang lain dimana menurutku orangtua saudara atau temanku itu lebih ideal. Mungkin itu juga yang ada dibenak anak-anakku saat ini, kita (baca: terutama aku, ibunya) adalah gambaran orangtua yang tidak ideal alias orangtua yang buruk. Tetapi satu hal yang harus diingat, apa yang diyakini saat ini pada anak-anak kita tergantung dari warisan nilai-nilai apa yang sudah kita tinggalkan. Warisan perbuatan baik apa yang sudah kita contohkan bukan sekedar warisan kata-kata baik saja. Hanya masalah waktu saja yang akan membuktikan.
Dan itu terbukti, inilah yang sekarang menjadi sumber kegalauanku (gantian yang galau). Anak sulungku selalu membandingkan figur laki-laki dengan figur ayahnya.
"Kalau baba gak mungkin gitu khan ma..."
"Kalau baba, pasti begini..."
"Kalau baba ...." dll
Duh...Ayahnya adalah figur idealnya, sementara ibunya belum disebut-sebut.
Ya gpplah, bila anak-anak masih belum menyadarinya sekarang, suatu saat nanti akan tiba waktunya mereka melihatnya dengan cara pandang yang beda. Waktulah yang akan membuktikan kekuatan warisan. Apa yang sudah kita ajarkan pada mereka tidak akan pernah sia-sia karena pada dasarnya cinta dan sayang orangtua pada anaka-anaknya adalah rasa yang tulus-ikhlas dan tidak mengharap imbalan apapun kecuali ridhoNya.
See you in the next post...:)
No comments:
Post a Comment