13 December 2017

Anaklelakiku...

 Khalid AlRasyid


 Masyaallah tabarakallah...
Manusia adalah makhluk Allah yang paling sempurna sekaligus complicated. Dan salah satu diantaranya adalah aku...:)  
Ketika hamil anak pertama, keinginan punya anak perempuan sebagai anak pertama sempat muncul kepermukaan. Asumsiku waktu itu, anak pertama adalah kakak yang harus dihormati. Aku pengin anak perempuanku tidak harus takut pada saudara-saudaranya yang laki yang notabene adalah adik-adiknya (dalam budaya keturunan arab, saudara laki-laki (bahkan adik yang paling kecil sekalipun) diwajibkan untuk menjaga saudara perempuannya. Menjaga disini dalam arti positip, satu paket dengan efek negatipnya, termasuk   mengatur/membatasi gerak. Nah, kalau sang kakak perempuan, si adik pastilah masih ada rasa segan) 
Selain itu aku merasa anak perempuan lebih cute dibanding anak laki jadi kalau punya anak perempuan berasa punya anak karena bisa diotak-atik dandanannya (masih lugu sekali ya waktu itu :) 
Tetapi alasan ini terkoreksi dengan mudah menjelang saat-saat melahirkan, apalagi kena tindakan induksi (untuk mempercepat proses kelahiran). Ampun deh...
Aku jadi mikir, kasihan sekali anak perempuanku nantinya, mau-tidak mau aku harus melihat dia menderita saat melahirkan (pemikiran jadul pertama;) Mulai saat itu, aku berharap anak keduaku kelak berjenis kelamin laki-laki sehingga aku tidak pernah melihat dia mengeluh saat mens atau mual-mual saat mengandung atau kesakitan saat melahirkan kelak (pemikiran jadul kedua ;) 
Takdir berkata lain, mempunyai anak kedua tidak semudah anak pertama, perlu perjuangan dan perlakuan khusus. Tekad dan keinginan punya anak laki pupus seiring masuknya ide baru, yang penting punya dua anak, laki atau perempuan sama saja. Begitu berhasil hamil yang kedua dan dokter mengatakan janin yang kukandung berjenis kelamin perempuan, aku sih senang-senang saja. 
Bagiku, bahagia itu sederhana, punya dua anak :)
Sampai...Ide baru masuk. Terkadang kebahagian kita bisa tercuri oleh pendapat orang. Mereka mengusung ide keharusan mempunyai anak laki-laki. Saking semangatnya, aku sampai mengusulkan adopsi (rahimku bermasalah dengan endometriosis ): Mulailah mimpi-mimpiku tentang burung bangau yang membawa bayi laki-laki dalam paruhnya. Aku tak sabar menunggu burung bangau itu singgah...
Khabar baik pertama datang. Suami membuat pengakuan, sudah sebulan ini dia membiayai bayi yang ditinggalkan ibunya di rumah sakit. Dan bayi itu berjenis kelamin laki-laki. Aha... pucuk dicinta, ulam tiba. Akupun sibuk berdiskusi tahap awal dengan mama dan abi (almarhum abi masih sehat saat itu). Kalau lolos, maka akan dilanjutkan ketahap negosiasi dengan mertua. Kalau langsung bicara ke mertua, masih belum berani....:)
Khabar baik kedua, mama dan abi setuju, akupun langsung menyusun planing, cara penyampaian ke mertua. Kalimat pembuka masih disusun, suami sudah geleng-geleng kepala.  Katanya, aba (sama dengan abi=panggilan untuk ayah) sudah bilang, kita boleh ambil anak dari ketiga saudara laki-lakinya. Bahkan aba sudah mengamanatkan agar ada cucunya yang laki-laki, salah-satunya dikasihkan ke kita.
Oh...Ini merupakan khabar baik ketiga. Untung aku belum sempat melihat bayi mungil yang ditinggalkan sang ibu di RS. Setiap kali mau melihat, selalu saja suami punya dalih untuk menghindar. Dia tahu betul, kalau aku sudah melihat, susah untuk membendung niatku mengadopsi padahal ijin belum didapat. Akhirnya si bayi mungil itu diadopsi oleh teman suami. Alhamdulillah...kadang aku masih mendengar berita-berita baik tentangnya :)

Khabar baik selanjutnya, saudara-saudara suami tidak berkeberatan memberikan salah-satu anaknya pada kita. Mulailah aku sibuk memperhatikan ipar yang sedang hamil ;) 

Sambil menunggu, kelahiran ponakan laki-laki datanglah sebaik-baiknya khabar baik, aku positip hamil. 
Khabar gembira ini bak gayung bersambut dikeluarga. Bagaimana tidak? Kehamilan tak terduga ini setelah setengah putus asa aku melakukan berbagai macam treatment menyambut anak ketiga. Terkadang ngiri berat kalau melihat ibu-ibu lagi hamil. Mengutip sepupuku yang juga pengin hamil, dia bilang, "Gue (kebetulan sepupuku, penduduk jakarta) kagak ngiri ma orang yang punya berlian segede bola, gue cuman ngiri ma ibu-ibu yang lagi hamil...;)
Hhh...Sama, sampai segitunya :)
Kehamilanku yang ketiga, ternyata bermasalah...(selama kehamilan, mens tetap datang meski hanya sedikit dan tumbuh ruam merah di cuping hidung dan badan. Virus rubella menyerang tanpa ampun :(
Apadaya, manusia berusaha dan berkeinginan, takdir juga yang menentukan. Sebentuk janin yang meringkuk dikandunganku tidak berkembang dan harus dikuret. Meski tak pernah tahu jenis kelamin dan tak pernah dilahirkan, aku sudah menganggapnya anak lelakiku yang pertama. Ini caraku berdamai dengan takdir.  
Kusadari, takdirku memang ibu beranak dua, all girls :) Usiaku saat itu 42 tahun. Sebetulnya aku sudah tidak berharap hamil lagi. Aku sudah mulai surut berangan-angan tentang anak lelaki yang kulahirkan tetapi tidak menyurutkan mimpiku tentang anak lelaki yang menjadi anakku tanpa pernah kulahirkan. Setelah kasus keguguran, kumulai lagi melirik ponakan-ponakan suami. Hal ini menimbulkan pro dan kontra (seperti pansus DPR ya ;). 
Saudara-saudara lelakiku kurang menyetujui dikarenakan, katanya anak dari adik-adik suami (ponakan suami) bukan muhrimku. Sementara saudara-saudara perempuan mendukung bulat-bulat. Dan yang lebih mengejutkan...Ternyata...Oh ternyata...suami dan anak-anak berada dipihak yang kontra. 
Hah...?! Benar-benar diluar dugaan...!
Saat kutanya, begini penjelasannya. Suami tidak setuju dengan dua alasan. Pertama: dia tidak ingin memisahkan seorang anak dengan ibunya apalagi bila sang anak masih menyusu. Alasan yang kedua, dia tidak mau aku terlibat pertikaian dengan saudara-saudaranya. Alasan yang pertama dapat kuterima, aku mengajukan opsi, anak akan kita ambil setelah usia satu tahun keatas. Alasan kedua membuat keningku berkerut, apa maksudnya? 
Jawabannya panjang-lebar, bila diringkas mengerucut pada sifatku yang was-was  dan posesif. Posesif...? Perasaan, aku gak pernah cemburu berlebihan atau yang sejenisnyalah...Jadi apa maksudnya posesif ya?  
Suami mengajukan pertanyaan: Suatu waktu nanti kalau sianak pengin mengunjungi orangtua kandungnya atau pengin kembali bersama orangtua kandungnya atau pengin menetap di kota kelahirannya, apakah aku bersedia? 
Dengan yakin aku mengangguk...Iya tentu saja bersedia. Memangnya kenapa? Aku masih bingung dengan arah pertanyaan yang berbau asap ini.
Suami menggeleng, katanya kurang yakin. Pasti nanti tidak mudah bagiku untuk meluluskan harapan si anak. Akibatnya kelak, dia harus berhadapan dengan keluarga besarnya. Dan diapun menjelaskan lebih detil sisi-sisi posesifku...
Dari menolak dan berusaha mendebat sampai akhirnya...Diam seribu bahasa. Semakin banyak kudengar penjelasannya semakin kusadar, aku memang punya potensi untuk itu. Suami hanya mengingatkan saja. 
Katanya, aku punya harapan berlebihan terhadap seorang anak laki-laki. Kalau mau mengambil anak, aku harus ikhlas karena Allah SWT semata, bukan kerena adanya kepentingan/harapan tertentu...(pusing tujuh keliling, susah banget ikhlas ya)
Aku juga semakin terpojok dengan alasan anak-anak untuk kontra. Si bungsu menolak dengan alasan khawatir aku lebih sayang pada adik barunya nanti. Sementara si sulung menolak dengan dalih, bakal lebih repot dengan dua adik yang pasti dibebankan padanya sebagai kakak untuk menjaga dan memberi teladan. 
Alhasil, voting dilakukan dengan hasil kontra indikasi :(
Pelajaran berharga yang dapat kupetik dari sikap kontra anak-anak perempuanku adalah: Aku terlalu berlebihan...! 
Pas seperti yang diungkapkan suami tersayang. Mereka dengan mudah melihat dan mendengar, bagaimana antusiasnya aku membicarakan bayi laki-laki, hukum adopsi dan segala wacananya. Tanpa sadar, aku mendiskusikannya secara dangkal dengan anak dan suami seolah kedua anak perempuanku terabaikan. Padahal pertimbanganku "memburu" anak lelakiku adalah untuk menjaga dan melindungi kedua anak perempuanku tercinta. Pengalaman tumbuh dalam keluarga besar dengan tiga saudara laki-laki menyebabkan aku tahu betul apa keuntungannya mempunyai saudara laki-laki. Nah, aku ingin anak perempuanku merasakannya juga. 
Ini yang disebut suami dengan pengharapan berlebihan atau tidak ikhlas itu.  Atas kekhilafan ini, dengan sepenuh hati aku meminta maaf pada kedua anak perempuanku itu. Sebelum dan sesudah kesadaran baru masuk, merekapun tahu, aku, ibunya sangat menyintai mereka karena mereka perempuan (pemikiran update 1). 
Aku menjadi sangat protective pada anak-anak perempuanku karena pemikiranku yang dangkal, bahwa pada dasarnya perempuan itu lemah dan harus dilindungi berlapis-lapis. Salah satu perlindungan berlapis itu adalah dengan menghadirkan saudara laki-laki. Setelah rajin mendengarkan kajian agama, mulailah aku dapat melepaskan lilitan tali dikepalaku.
Ternyata doa adalah semua kebaikan untuk anak-anak perempuanku,  lebih dari perlindungan berlapis yang selama ini kucanangkan. Dan kunci yang lain adalah berpasrah diri dengan berprsangka baik atas semua takdirNya (pemikiran update 2)   
Ali bin Abi Thalib berkata:
“Saya meminta sesuatu kepada Allah. Jika Allah mengabulkannya untuk saya maka saya gembira SEKALI saja. Namun, jika Allah tidak memberikannya kepada saya maka saya gembira SEPULUH kali lipat. Sebab, yang pertama itu pilihan saya. Sedangkan yang kedua itu pilihan Allah SWT.”
Anak lelakiku bukan lagi fatamorgana. Kelak aku akan mempunyai dua anak lelakiku yang dipilih dua anak perempuanku. Sekarangpun aku memiliki beberapa anak lelakiku. Mereka bukan salah satu pelindung berlapisku tapi mereka adalah keponakan-keponakan tersayang dan salah satunya adalah Khalid Al-Rasyid. 
See you in the next post...:)

No comments:

Post a Comment