Beberapa hari ini saya tidak bisa update
tulisan karena ada beberapa kesibukan lain yang harus segera diselesaikan padahal ide di kepala sudah menumpuk.
Ada beberapa catatan yang akan saya share disini. Dimulai dengan sebuah catatan ketika membesuk teman yang sedang sakit. Karena kondisi teman yang tidak memungkinkan
untuk saling berbalas sms maka saya putuskan untuk langsung membesuknya. Kebetulan
juga saya masih harus terkait dengan rs yang sama karena masalah claim
insurance.
Dikamar saya disambut seorang perempuan
paruh baya yang memperkenalkan diri sebagai ibunya. Teman saya sedang tidur dan
karena saya tidak mau mengganggu maka saya cukupkan berbincang-bincang dengan
ibunya. Ternyata...
Lebih mudah bagi saya untuk bertemu
langsung dengan teman saya dibanding bertemu dengan ibunya. Saat saya sakit
kemarin, pertanyaan anak saya seperti ini,
“Mama sakit apa...” sudah cukup membuat mata saya berkaca-kaca. Apalagi melihat
anak terbaring sakit, saya bisa merasakan betapa hancurnya hati seorang ibu.
Selama perbincangan saya tak hentinya
membayangkan wajah ibu saya. Ini meneguhkan keyakinan saya bahwa seorang anak
dalam kehidupannya selalu membutuhkan sosok ibu. Kasih sayang seorang ibu
memang luar biasa. Itu adalah sebuah anugrah yang diberikan Allah terhadap
seorang anak. Bagaimana dengan sosok ayah? Tiba-tiba terlihat wajah laki-laki
paruh baya menyembul berusaha melihat siapa yang datang.
Subhanallah... mereka berdua datang dari
jauh khusus menjaga anaknya. Bagi orang tua, anak adalah anak berapapun usia mereka.
Bila anda mempunyai orang tua yang masih lengkap bersyukurlah dengan selalu melantunkan
doa-doa baik dan bahagiakan mereka dengan apa yang anda bisa. Bagi yang orang
tuanya sudah meninggal, doa anda adalah wujud dari rasa syukur anda mempunyai
mereka dalam kehidupan anda. Maka doakanlah mereka semampu yang anda bisa. Saya
berdoa semoga teman saya diberi kesembuhan dan semoga kedua orangtuanya diberi
ketabahan dan kesabaran. Dengan terbata-bata saya pamit pada ibunya.
Catatan kedua diilhami pertemuan saya
dengan seorang ibu yang hidup sendiri.
Sewaktu saya tanya kenapa tidak ikut salah-satu
anaknya ( anaknya ada enam, tiga laki-laki, tiga perempuan. Semuanya ada
diluar kota). Dia mengungkapkan keengganannya karena menurutnya kehidupannya
seperti sekarang ini sudah cukup menyenangkan.
“Rumah sebesar ini ibu hanya tinggal sendiri
apa tidak takut kalau malam hari bu...?”
“Tidak..saya selalu baca surat yasin
sebelum tidur”
“ Bagaimana soal makan ? Apa ibu memasak
sendiri?”
“Kalau masalah makan gampang saja, saya
cukup beli di warung depan, semua ada disana”
“ Oh...”
Saya lihat berkeliling, tampak gambaran
sebuah rumah besar yang kurang terawat. Kamar mandi yang kotor, debu dimana-mana dan penampilan nyonya rumah yang sangat sederhana. Ditengah rumah tergantung foto
berukuran besar. Dengan kebanggaan khas seorang ibu, ibu tersebut menunjukkan
masing-masing anaknya.
Dihari yang sama (kebetulan lagi survey
rumah...:) saya bertemu juga dengan seorang bapak yang hidup sendiri.
Seperti ibu yang tadi, saya juga
terlibat pembicaraan dengan sang bapak.
“Pak , kalau rumah ini disewakan, bapak
akan tinggal dimana?”
“Kalau saya gampang saja. Tahun
kemarin saya tinggal disebuah desa di yogya, beternak ikan. Saat merapi meletus
saya balik kesini lagi”
“Kenapa tidak tinggal sama anak-anak
pak?”
“ Lebih enak tinggal dirumah sendiri,
juga saya tidak mau merepotkan anak-anak”
“ Bagaimana soal makan pak?”.
“Saya memasak sendiri...”
Dan ketika saya melongok dapurnya memang
terlihat ada aktivitas memasak. Berbeda dengan rumah ibu tadi yang kurang terawat, rumah bapak ini cukup terawat. Ketika saya menawar harganya, sang bapak ini menyatakan keberatannya. Katanya uang itusebagian akan dibagikan kepada anak-anaknya untuk mensuport kehidupannya.
Oh...mulianya hati sang bapak ini.
Oh...mulianya hati sang bapak ini.
Bagaimana sikap kita sebagai anak
terhadap keinginan orang tua yang berkeras hidup sendiri?
Dalam fase kehidupan,
bayi-anak-remaja-dewasa-orangtua-kembali ke bayi lagi.
Seorang teman pernah bercerita
kalau ayahnya seorang dokter mania. Seminggu sekali pasti touring ke dokter-dokter
padahal tidak sedang sakit hanya ada sedikit keluhan yang biasa dialami orang
usia lanjut. Yang menggelikan, disalah-satu tournya, seperti biasa sang dokter
menyarankan untuk banyak istirahat dan hanya perlu kontrol saja. Tetapi ayah
teman saya itu memaksa untuk rawat inap dengan alasan khawatir nanti keluhannya
bertambah parah. Tentu saja kondisi ini membuat dokter terheran-heran karena
biasanya pasien meski sakit minta untuk dirawat dirumah saja tapi ini malah sebaliknya,
sehat malah minta MRS, hhh....
Teman yang lain lagi bercerita, selain dokter
mania ayahnya juga tour mania. Hobinya pergi kemana saja, dari desa ke desa,
kota ke kota bahkan antar propinsi padahal ayahnya adalah penderita parkinson
yang otomatis menyulitkan kalau terlalu mobile begitu. Untuk mengontrol supaya tidak terlalu sering maka sopir dialihkan dengan pekerjaan lain di kantor dan anak-anak mereka secara bergantian membawa ayahnya tour, seminggu dua kali. Mereka pikir cara ini sudah cukup dan aman tetapi ternyata ayahnya berakal panjang....:) Sering secara diam-diam ayah mereka menelpon sopir panggilan dan janjian minta diantar ketempat-tempat yang terpencil, hanya bertiga, sopir, ayah mereka dan perawat. Mereka baru tahu setelah si sopir panggilan pagi-pagi sudah standby dan bilang mau pergi kedaerah mana gitu....Oh lala...:)
Orang tua kembali ke fase bayi lagi. Mereka tidak mudah dibujuk dan bila
keinginannya tidak dipenuhi mereka juga bisa ngambek...;)
Dalam kasus orang tua yang bersikeras memilih hidup sendiri, benar-benar sendiri tanpa pembantu seperti kedua contoh diatas, pendapat saya , i will say no. Mengapa?
Dalam kasus orang tua yang bersikeras memilih hidup sendiri, benar-benar sendiri tanpa pembantu seperti kedua contoh diatas, pendapat saya , i will say no. Mengapa?
Ada
banyak alasan untuk tidak setuju terutama yang menyangkut kesehatan dan
keamanan.
Apa yang kita makan menentukan berapa usia
kita. Apa yang saya tangkap, sepertinya terkesan mereka makan hanya untuk sekedar
kenyang. Selain itu, meski mereka masih terlihat kuat dan sehat, bagaimanapun penyakit
selalu mengintai termasuk serangan jantung bisa terjadi kapan saja. Sebagai
anak kita selalu mendoakan semoga mereka diberi usia panjang yang barokah. Memang
betul umur ditangan Tuhan. Tetapi bukankah kita ingin menemani atau menuntun
mereka mengucapkan kalimat-kalimat suci disaat-saat terakhir.
Alasan keamanan juga bukan masalah
sepele. Orang jahat berkeliaran dimana-mana. Kejahatan timbul karena faktor x dan y. Saya tidak berani membayangkan
jika faktor x dan y bertemu dimana orang tua kita tinggal sendirian. Semoga Allah menjauhkan kita dari kejahatan manusia dan kejahatan
syaitan.
Siapakah
yang paling bertanggung-jawab merawat orang tua? Anak sulung atau anak bungsu?
Anak laki-laki atau anak perempuan? Anak atau menantu?
Anak
tersayang atau anak tersukses?
Menurut beberapa adat, kewajiban terhadap orang tua jatuh ke anak laki-laki atau anak sulung. Tetapi dijaman yang tidak dibatasi dengan adat seperti sekarang ini, kewajiban menjaga orang tua merupakan kewajiban semua anak-anaknya. Contoh bagus dari kewajiban ini ada di film berjudul: Hanging Up yang dimainkan Meg Ryan.
Contoh lain di film berjudul” Father”
(sayang saya searching di google belum ketemu sinopsisnya karena data yang saya ingat minim sekali...:(
Menurut beberapa adat, kewajiban terhadap orang tua jatuh ke anak laki-laki atau anak sulung. Tetapi dijaman yang tidak dibatasi dengan adat seperti sekarang ini, kewajiban menjaga orang tua merupakan kewajiban semua anak-anaknya. Contoh bagus dari kewajiban ini ada di film berjudul: Hanging Up yang dimainkan Meg Ryan.
Kisahnya tentang
sebuah keluarga yang terpecah namun akhirnya dipersatukan kembali oleh sebuah
tragedi. (sumber: http://www.indosiar.com/sinopsis/hanging-up_1415.html)
Alkisah sebuah keluarga yang terdiri dari seorang ayah pemabuk, Lou
Mozell (Walter Matthau) dan tiga putrinya yaitu Georgia (Diane Keaton), Eve
(Meg Ryan) dan si bungsu Maddie (Lisa Kudrow).
Hanya
Eve yang tinggal bersama Lou untuk mengurusnya. Selain Eve yang merupakan putri
kesayangan ayahnya, sibuk menjalankan usaha penyelenggara pesta. Namun Eve
sangat stres mengurus Lou yang selain alkoholik, pun sangat sukar diatur dan
pun kesal karena kakak dan adiknya tidak banyak membantunya. Georgia, seorang
penerbit majalah sukses yang bernama sesuai dengan namanya, sangat egois dan
hanya peduli pada dirinya sendiri.
Sedangkan
Maddie yang merupakan bintang opera sabun televisi yang cukup sukses pun enggan
membantu langsung Eve dan Lou karena lebih mementingkan kariernya. Georgia dan
Maddie lebih suka mengurus Lou dari jarak jauh. Ketiga wanita bersaudara
ini memang sangat jarang bertemu satu sama lain dan hanya berhubungan melalui
telepon. Itupun buru-buru dan suka ditutup. Ketika sebuah tragedi tiba karena
Lou mengalami stroke sehingga umurnya tidak lama lagi, Georgia, Eve dan Maddie
pun harus bersatu untuk berdamai satu sama lain dan juga berdamai dengan ayah
mereka.
Yang
menarik adalah perbincangan antara Meg Ryan sebagai anak yang merawat ayahnya
dan Georgia sebagai anak pertama yang sukses kariernya di RS tempat ayah mereka
dirawat.
Awalnya Meg Ryan curhat betapa sulit
menjaga ayahnya. Untuk mengatasinya dia selalu berusaha mengenang saat-saat
indah bersama ayahnya ketika mereka masih kecil. Kemudian lanjut Georgia yang
curhat karena sedari dulu ayahnya kurang memperhatikannya seperti perhatiannya
pada adiknya (Meg Ryan).
“He didnt need me. He just need you”
kata Georgia pada Meg Ryan
“Maybe he didnt need you but I need you
to take care him” Jawaban yang sangat menyentuh karena Meg Ryan merasa
sendirian merawat ayahnya yang sakit sementara Georgia sudah merasa merawat
ayahnya dengan melunasi tagihan rumah sakit dan Maddie hanya sesekali datang
menjenguk seperti tamu yang sedang berkunjung.
Moral dari kisah ini adalah: kewajiban
terhadap orang tua bukan saja terletak pada salah satu anak dimana orang tua
kita tinggal disana. Semua anak wajib untuk turut serta terlibat dalam
mengayomi orang tuanya.
Dikisahkan seorang anak laki-laki (A)
yang merawat sendiri ayahnya (B) yang sedang sekarat karena menderita kanker
dan alzheimer (tanpa istri, hanya ditemani anak laki-lakinya (C) yang sesekali
berkunjung karena sekolah diluar kota). Ibunya yang juga sakit dirawat oleh
saudara perempuan.. Dikisahkan juga meski mereka saling menyintai tapi hubungan
ayah dan ibunya kerap diwarnai selisih pendapat mengenai hal-hal yang sepele
karena itu mereka memisahkan perawatannya. A tampak kesulitan merawat ayahnya
yang sulit diatur apalagi ia juga harus bekerja dan sedang bermasalah dengan C.
Tapi A pantang menyerah, dia tidak mau
mengalihkan perawatan ayahnya meski hal tersebut dapat dilakukannya.
Singkat cerita: sewaktu menunggu ayahnya
di RS, terjadilah dialog yang mengharukan antara ayah(B) dan anak (A)
“Saya tahu bahwa banyak kesalahan dalam
cara saya membesarkanmu. Tetapi melihat bagaimana kamu memperlakukan saya
sekarang ini, saya sadar telah melakukan
hal yang benar”
“I love you Dad” kata A seraya memeluk
dan tidur disamping ayahnya.
Dan ketika si anak (C) melihat bagaimana
ayahnya (A) sangat menyintainya kakeknya (B) dan memperlakukannya dengan baik,
segera si C sadar atas kekerasan hatinya begitu juga si (A) yang telah menyadari
kesalahannya. Maka terjalinlah kerjasama yang baik antara ayah (A) dan anak (C)
dalam merawat B.
Moral dari cerita ini adalah: disini
terlihat ada kerjasama yang baik antar saudara kandung dalam merawat kedua
orangtuanya yang sakit. Juga terlihat kecintaan seorang anak pada ayahnya
bahkan sang ibu yang merasa tidak sanggup merawat suaminya dapat merasakan bahwa anaknya bersungguh-sungguh merawat
ayahnya. Cucunya (C), oleh A juga dilibatkan untuk menyintai ayahnya (B). Ini
juga merupakan pelajaran moral yang sangat bagus.